Cerpen Joshua Ivan Winaldy Simanungkalit (Jawa Pos, 27 Desember 2015)
Kami tidak menghitung usianya karena takut kehilangannya.
***
Usia nol tahun. Sleman, 25 Desember 1965.
Kami tak pernah berpikir akan memiliki pohon Natal sendiri di rumah ini. Semua masih serba sederhana, pohon Natal ini sudah seperti harta yang paling berharga—sangat jarang orang-orang memilikinya.
Bukan karena mahal saja, tetapi mencarinya pun sulit sekali. Butuh sekitar tiga puluh kilometer untuk mencapai toko yang menjual barang-barang rohani dan pohon Natal ini. Alasan kami sederhana saja, kami ingin suasana Natal yang baru di rumah ini. Bukan tujuan kami memewahkan kehidupan serba sederhana kami (jujur kami bersembilan telah menabung), kami ingin menunjukan kebahagiaan yang lain lewat pohon Natal.
Bukankah kami akan senang mendapatkan rasa suka yang baru untuk Natal kali ini? Tak hanya seusai malam puncak Natal, tetapi setidaknya bisa merasakannya hingga akhir bulan Desember –kami akan memasangnya sepanjang bulan Desember.
Kami sudah sepakat untuk merancang hiasan-hiasannya bersama. Tak cukup melelahkan karena tinggi pohon Natal itu hanya seukuran pinggang orang dewasa. Dekorasi yang melelahkan adalah membuat gua Natal.
Sebenarnya cukup pohon Natal saja sudah sangat cantik diletakkan di sudut ruang tamu itu. Tapi, hiasan yang lain tak ada salahnya bukan? Kami mengumpulkan beberapa kardus, kertas semen, dan kertas koran bekas untuk disulap menjadi sebuah gua.
Tak lupa kami meletakkan patung bayi Yesus, Bunda Maria, dan Santo Yosep di dalamnya. Untuk gembala-gembala dan hewan-hewan ternak kami tak membelinya karena sudah di luar target anggaran kami. Di belakang gua itulah berdiri kokoh sang pohon natal. Gua dan pohon Natal itu tak terlalu memakan ruang. Cukup kecil, sekitar seukuran satu meter kali satu meter. Kami memandangnya setelah selesai, bangga juga rasanya. Bukan hanya karena keelokannya tetapi juga kebersamaan kami.
Seusai malam Natal pun kami masih berkumpul, menikmati makan malam bersama di rumah. Ada beberapa tetangga yang mengucapkan selamat Natal meski tak seiman, lantas saja kami mengajak mereka makan bersama. Kami senang keminoritasan kami menjadi sarana untuk berbagi dengan mereka.
Meski tragedi pembantaian di berbagai daerah masih kami rasakan begitu mencekam, kami masih tetap bertahan dan bergandengan tangan bersama: jika kami terbunuh, kami akan mati dengan tenang. Pohon Natal pertama kami, sungguh berkesan. Sayangnya, benarkah? Aku tak tahu pasti.
***
Usia tiga belas tahun. Sleman, 25 Desember 1978.
Kami masih turut berduka dengan peristiwa jatuhnya pesawat DC-8 Icelandic Loftleider di Sri Lanka yang mengangkut sekitar dua ratusan jemaah haji. Entah mengapa kami merasakan duka mendalam. Tak hanya itu, gerakan mahasiswa yang lalu sungguh sukses memberikan dampak suasana hati kami begitu was-was dan tegang.
Rasa-rasanya kami menikmati Natal selama tiga belas tahun dengan konfrontasi hati, pikiran, dan suasana sekitar kami. Kapan kedamaian akan membawa kita, terutama bangsa ini? Tak dipungkiri, kami memang bukan keluarga berbasis angkatan militer atau bersenjata. Tetapi kami selalu merasakan juga apa yang negara ini rasakan. Apakah terlalu naif?
Kami rasa tidak, banyak sekali orang-orang di sekitar kami berasal dari angkatan militer, bersenjata, dan negarawan. Sunguh-sungguh pahlawan! Natal ini serasa untuk mereka, untuk mendamaikan jiwa-jiwa yang telah berkorban. Kami pula, kami ingin Natal dan pohon Natal kami yang berusia tiga belas tahun ini mampu membawa kami menuju arti sebuah keluarga. Kami dewasa, kami tumbuh dan berkembang, kami siap menghadapi tantangan apa pun itu.
Tetapi benarkah? Aku masih mencurigai si sulung dan si bungsu yang telah dewasa. Waktu memihak keluarga dan pohon natalnya untuk sukses, berhasil, dan kaya, melimpah harta singkatnya. Yakinkan kalian?
***
Usia 23 tahun. Solo, 25 Desember 1988.
Kami memutuskan untuk merayakan Natal tahun ini di berbeda tempat: ada yang sebagian di Sleman dan bagian lainnya menyebar rata, baik di Jakarta, Salatiga, Makassar, dan Solo. Kami merasa baik-baik saja, kami tak terlalu memusingkan hal yang sederhana, Natal tetaplah Natal.
Sayangnya, kehadiran di Sleman tampak berbeda. Pohon Natal itu telah dipindahkan ke rumah anaknya yang ketiga dengan alasan anak-anaknya yang masih kecil sangat menginginkan pohon Natal berwarna putih salju itu.
Alasan lainnya, sudah cukup tua untuk umur sebuah pohon Natal. Pantaslah diwariskan ke anggota yang lainnya. Kami sebenarnya tak tahu kemana arah pembicaraan kami mengenai Natal. Kami tak pernah menikmati Natal. Mereka mengunjungi satu sama lain, mencoba berpartisipasi untuk menyelamatkan Natal. Atau bersandiwara memeriahkannya.
“Masih ingat kan? Kita sangat butuh,” kata si bungsu.
“Masih,” kata anak keenam dan si sulung hampir bersamaan.
“Tapi aku tak begitu yakin.”
“Yakinlah, Mas, tak apa! Lakukan. Cepat saja. Lalu kita ambil, pergi!”
Percakapan itu membawa pada memoriku.
***
Usia delapan belas tahun. Salatiga, 25 Desember 1983.
“Bakar saja! Buat apa?” Ia membentak.
“Apa yang kau lakukan, Mas? Ia warisan!” anak kedua tampak gusar.
“Kamu bodoh atau tuli? Kamu cuma diberi pohon Natal!” si bungsu setuju.
“Apa yang kalian harapkan?”
Sayangnya sudah beberapa bagian pohon Natal itu tergerus dengan api yang membara. Meleleh, seperti tangisan. Namun Natal memilihnya hidup dan bertahan.
***
Usia 25 tahun. Solo, 25 Desember 1990.
Pohon Natal itu masih kokoh menikmati Natalnya (meski sejatinya sudah sangat reyot dan rapuh). Anak ketiga dan keempat menggagalkan mereka. Anak kelima memilih pergi tanpa berpamitan dan tak pernah ada kabar darinya kemudian. Aku ragu, apakah itu artinya bersama?
***
Usia 27 tahun. Jakarta, 25 Desember 1992.
Pohon natal itu menemani si sulung. Ia tak menyangka akan memeliharanya jika bukan karena desakan istri dan anak-anaknya. Katanya sangat bersejarah. Ia sangat tak peduli.
***
Usia 30 tahun. Makassar, 25 Desember 1995.
Kami merasakan Natal yang berbeda. Anak keempat memilih untuk memelihara pohon natal itu. Ancaman si sulung ingin memusnahkannya membuatnya bersusah payah datang ke Jakarta hanya untuk mengambil pohon natal tua itu. Tak begitu berharga secara material, tapi berkesan. Aku tahu itu.
***
Usia 28 tahun. Jakarta, 25 Desember 1993.
Ibu meninggal di usia 73 tahun.
***
Usia 31 tahun. Sleman, 25 Desember 1996.
Ayah mewariskan segala warisan kepada anak-anaknya. Semua secara rata, tak ada sepeser pun yang terlewatkan, berlebih, atau ke kurangan. Tentu warisan anak kelimanya yang hilang akan tetap tersimpan. Cucu-cucunya semakin banyak dan tumbuh dewasa. Ayah sakit keras dan akan menggunakan seluruh sisa harta yang dimilikinya untuk kesehatannya.
***
Tak lagi menghitung usia. Hari Raya Natal.
Setiap orang tua mengetahui keinginan dan kebutuhan anak-anaknya. Tak perlu bersusah payah mencari jalan lain atau bahkan berencana membunuh. Ayah meninggal dunia. Bukan karena kesehatannya yang memburuk. Tetapi karena menggunakan seluruh hartanya untuk mengobati kelainan jantung cucunya dari si sulung, terapi kelumpuhan anak keenam setelah mengalami kecelakaan, dan pengobatan kanker tulang yang di derita si bungsu yang sama seperti diderita oleh ibunya. Ayah hanya mewariskan harta terakhir, yaitu pohon Natal tua untuk anak kelimanya agar kembali, usianya takkan mati bersamanya.
Aku tahu keluarga ini istimewa. Badai boleh mencabik setiap inci jiwa. Tapi mereka kembali pada hari yang cerah, menjaga kedamaian dan diriku hingga Natal 25 Desember 2015. (*)
Selamat Hari Raya Natal!
Leave a Reply