WAEAPO, 1969
.
Lembah lengang lengkung pelangi
Liuk sungai selendang bumi
Sunyi senyap pusat patuanan
Wajah dingin soa Kubalahin.
.
Bukit-bukit batu Batabual
Batas kekar pagar alam, tegak bersambung
Gunung-gemunung: Rakek, Watina dan Efilaheng
Tempat rumah-rumah baqa Alifuru
bertengger di lereng bukit dan biru lembah
Seperti sarang burung-burung petelur
Menolak digusah badai gunung.
.
Di sana orang-orang Pamali bekerja dan memuja
hijau hutan hujan, coklat savana kering
batang-batang kemilau kayu putih, pohon-pohon meranti hitam
(tempat sarang lebah bergayut serupa perut kerbau bunting
dibiarkan tanpa disadap pemburu madu dan manisan)
Hingga sayap senyap membentang
Bagai dihala garuda terbang
nun ke lembah Nurlatun.
.
Dari situ Raja Fedodo Wael turun
ke pantai, membawa keramat leluhur
Di tepian teluk cerlang, ia dirikan Patuanan Kayeli
Jauh sebelum Benteng Byrun berdiri dan dihantam banjir besar
Sehingga orang-orang kulit putih pergi
membangun Namlea di seberang
Tapi Patuanan Kayeli tetap tegak-berdiri
Meski tangan kolonial dengan lancing
Membaginya jadi delapan.
.
Lalu tiba masa itu, masa pusat patuanan sunyi senyap masih
Sunyi senyap juga di wajah pewaris tahta—
Bapa Raja Ishak Wael dan Ibu Ratu Nafsiah—
menerima kabar:
.
Telah datang kapal ADRI XV membawa orang-orang buangan
Merapat ke tepian teluk dan menggiring mereka masuk
melawan arus sungai bercecabang
berkayuh rakit dan perahu
ke dataran Waeapo yang lengang.
.
Maka sejak itu, orang-orang buangan membuka hutan hujan
lembah perawan. Mereka balik savana coklat
tanpa sertifikat. Mereka tebang sagu
dan kayu meranti hitam. Mereka sadap gula aren dan lebah madu
Mereka suling minyak kayu putih di Keteltimba
mereka tambang garam di Sanleko, mereka buka jalan ke Namlea
mereka cetak kebun dan sawah, mereka tanam padi dan bangun irigasi
dengan kanal dan saluran dari pematang lumpur,
batu, bambu dan terowongan batang sagu…
.
Semuanya mengalir ke bumi, semua mereka alirkan di bumi.
Hanya dengan perjanjian selembar surat sakti
dibubuhi cap negara dan tanda tangan seorang jaksa
serta cap Bapa Raja, beserta 55 ribu uang dan sebuah mesin perahu
Selebihnya perintah-perintah memecah kesenyapan
langit diam beku.
.
Dan ada yang melolong
Bergulingan di tanah kering. Yang lain hilang nafas
Di rawa-rawa sagu—dewa-dewa kematian menunggu
Siapa kan menolong? Tidak sesama kawan
yang sama tertawan. Tidak para hinalong
yang mendadak jadi orang asing
Bahkan tidak juga Bapa Raja dan Ibu Ratu
yang seolah diasingkan dari lembah kekalnya dulu.
.
O, Waeapo! Sekejap rintih sekejap padam
Bumi diam letih, langit gelisah menanti
Matahari menunjuk ’69—tanda waktu yang kekal.
.
/Buru-Yogya, 2018-2021
.
Catatan:
Waeapo: dataran savana luas di tengah Pulau Buru, dialiri sungai utama Way Apu, dan pada 1969-1979 menjadi tempat pembantaran tahanan politik (tapol) 65
Patuanan: pusat/sistem pemerintahan utama di Pulau Buru, semacam kesultanan atau kedatuan
Soa: kampung
Pamali: (agama) kepercayaan leluhur orang Buru
Hinalong: pembantu patuanan di sejumlah wilayah patuanan
.
PERTEMUAN
.
Pengalamanmu tragis, Pram, kata Rosihan.
Jangan dikatakan suatu tragedi, jawab Pram.
Bukan! Tragis, kataku.
.
Mereka bertemu di padang savana beribu-ribu km
dari ibukota—meski keduanya sama-sama padang nestapa
perburuan. Mereka bicara beberapa patah kata
Namun memuat beribu-ribu ton beban sejarah
Tanpa daya gravitasi
Sehingga makna tragis dan tragedy
Tergantung-gantung
tak ada ujung
Antara langit kelabu—kian mendung
dan murung bumi manusiamu.
.
/Buru-Yogya, 2018-2021
.
MATA
.
Setiap mata
berbakat jadi mata-mata
di lingkungan yang sah.
Masuk ke apotik
membeli kondom
agar istri tak lagi beranak
—sudah terlalu banyak
Semua mata memandang
seolah ia anak bajang
mau berpetualang
persis sama saat ia masuk ke pegadaian
membawa cincin kawin
Semua mata seolah berkata
betapa tega
merenggut hak milik
perempuan yang dicinta.
.
Ah, barangkali perasaannya saja
Sebagaimana matanya pun tajam
dirasakan orang lain
atau mungkin betapa dingin!
.
/2019-2001
.
.
Raudal Tanjung Banua lahir di Lansano, Sumatra Barat, 19 Januari 1975. Buku puisinya berjudul Gugusan Mata Ibu dan Api Bawah Tanah. Adapun buku cerpen mutakhirnya berjudul Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai serta Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan. Ia tinggal di Yogyakarta, mengelola Komunitas Rumah Lebah dan Akar Indonesia.
86 total views, 4 views today
Leave a Reply