Cerpen, Monaris Pasaribu, Waspada

Sanksi Adat

3
(2)

SEPASANG kekasih tampak berdiskusi membahas hubungan mereka. Pembahasan ini cukup sensitif, jadi mereka berdiskusi dengan penuh hati-hati. Namun, sifat keras kepala kekasihnya, Dimas pun murka. Sebetulnya dia mempunyai keputusan yang sama, tidak mau memutus hubungan yang sudah mereka jalani selama tujuh tahun. Namun, suatu hal dari pasangan itu menolak hubungan mereka ke jenjang yang selanjutnya.

“Kamu tahu jelas hukum adat dari budaya kita,” ucap Dimas.

Arlita terus memberontak dan meyakinkan Dimas. Akhirnya, dia luluh dengan rayuan kekasihnya dan akan mengakui hubungan terlarang itu kepada orang tua masing-masing. Seperti dejavu, hubungan mereka ditolak mentah-mentah untuk kedua kalinya.

“Bukan hanya marga kalian yang melarang, agama juga.”

Kalimat itulah yang keluar dari mulut kedua orang tua mereka. Saat ini, Dimas sedang menenangkan Arlita yang terus menangis.

Tiga bulan kemudian, acara pernikahan dilangsungkan. Pernikahan itu dilaksanakan dengan seadanya, tidak ada orangtua bahkan seseorang yang mampu meresmikan pernikahan mereka. Hanya beberapa teman diundang dan paling tidak menjadi saksi dari pernikahan sepasang pengantin itu.

“Pernikahan seperti ini resmi gak sih?” tanya salah satu tamu undangan.

Gak tau deh, gak jelas,” jawab tamu lainnya.

Pernikahan itu tidak ada acara khusus. Berlangsung layaknya merayakan ulang tahun, mendekor tempat dan menyiapkan makanan. Tentu saja pernikahan itu terjadi karena rasa cinta dan larangan dari kedua orang tua pengantin.

Waktu terus berjalan, tiba-tiba saja bumantara membasahi bumi bersama dengan angin kencang yang merusak dekorasi acara yang berlangsung di outdoor. Para tamu undangan panik mencari tempat teduh bahkan beberapa dari mereka nekat pulang. Tidak hanya itu, mereka semua menjerit histeris saat langit mendadak terang akibat kilat dan suara gemuruh yang keras. Setelah menunggu kurang lebih satu setengah jam, hujan pun reda dan acara hendak dilanjutkan. Namun, satu persatu tamu undangan melangkah meninggalkan tempat acara.

Dimas melihat raut wajah Arlita yang sama sedih seperti dirinya, tetapi dia menyingkirkan ego dan mengelus pundak kekasihnya itu untuk menenangkan. Acara berakhir seadanya dan sekarang kedua pengantin itu sedang mengistirahatkan diri. Namun, tiba-tiba saja Arlita menangis dan terus mengucapkan kalimat maaf.

“Ar, ini sudah keputusan kita bersama,” ucap Dimas.

“Kedua orang tua kita tidak ada yang datang bahkan acara juga hancur, Dim,” balas Arlita.

Baca juga  Cerita Asmarandana

Itulah risiko dari perbuatan yang mereka lakukan. Seminggu telah berlalu, pagi itu Arlita menjalankan tugas layaknya seorang istri. Dia menyiapkan sarapan untuk suaminya yang akan pergi bekerja dan tidak lupa menyiapkan bekal untuk menghemat keuangan. Dimas keluar dari kamar dan menuju dapur, melihat sarapan yang sudah disiapkan Arlita dia pun mengecup kening istrinya itu sebagai ucapan terima kasih.

“Nanti aku ada job,” kata Arlita.

Dimas terdiam sejenak dan menghela napas. Dia tahu betul pekerjaan apa yang dilakukan Arlita selama ini. Bahkan usia pekerjaan yang dilakukan Arlita lebih lama daripada hubungan mereka. Arlita seorang model, walaupun menjadi model bukan pekerjaan yang buruk, untuk status mereka yang sekarang entah mengapa Dimas merasa keberatan.

“Ar, berhenti saja ya,” mohon Dimas.

“Ha? Maksudmu apa, Dim? Kamu ‘kan tahu aku suka jadi model,” balas Arlita.

Selama tujuh tahun bersama menyuruh Arlita meninggalkan pekerjaannya adalah kesalahan besar. Begitu Dimas memohon, Arlita langsung meninggalkannya di meja makan sendirian. Masih seminggu sudah ada permasalahan di rumah tangga mereka, Dimas pergi bekerja dengan perasaan yang buruk.

Arlita memikirkan permohonan suaminya itu sambil menangis. Mencari alasan tersendiri mengapa Dimas menyuruhnya berhenti. Tidak mendapat jawaban apapun dalam dirinya, Arlita membersihkan diri dan segera pergi ke tempat pemotretan.

Permasalahan itu sudah dua bulan yang lalu dan selama itu juga Arlita tidak mau berbicara dengan Dimas. Suaminya itu sudah minta maaf berulang kali, tetapi Arlita mengabaikan dan akhirnya Dimas menyerah. Meskipun begitu, Arlita tidak mengabaikan tugasnya menyiapkan segala keperluan suaminya. Pagi itu, mereka sarapan bersama, tetapi Arlita mempunyai masalahnya sendiri. Berulang kali menuju kamar mandi, isi perutnya ingin memuntahkan sesuatu, tetapi saat tiba di tempat dia tidak merasakan apa-apa. Dimas tidak peduli lagi dengan sifat egois istrinya itu, dia juga khawatir melihat keadaan Arlita.

Dimas membawa Arlita ke rumah sakit. Bukan berita buruk yang mereka dapat melainkan kebahagiaan. Arlita positif hamil dan secara tidak langsung mereka berbaikan. Semenjak Arlita hamil, Dimas semakin posesif dan dia benci sifat itu. Memasuki usia kandungan kelima bulan, mereka pergi ke rumah sakit untuk melihat perkembangan calon anak mereka. Dokter menjelaskan dengan memberi kabar buruk, posisi calon anak yang ada di kandungan Arlita tidak benar. Itu disebabkan karena Arlita yang sering lelah dan stress.

Baca juga  Virgin

“Dengan posisi seperti itu calon bayi bisa cacat,” ucap dokter.

Sampai di rumah pertengkaran besar terjadi, Dimas memarahi Arlita. Selama ini Arlita mengabaikan ucapan Dimas, Arlita tidak boleh mengerjakan hal apapun termasuk memaksa dirinya berhenti menjadi model untuk kedua kalinya. Bahkan Dimas pernah menjemput Arlita pulang saat dia sedang melakukan pemotretan, membuat Arlita malu. Menurutnya sifat Dimas yang sekarang sangat berlebihan.

“Makanya Arlita kamu dengar omongan aku!” Dimas membentak Arlita.

“Dim, kamu berlebihan. Aku benci,” balas Arlita.

Arlita yang sedang memijat kepalanya tersontak kaget saat tiba-tiba saja Dimas menarik tangan Arlita dan membawanya masuk ke mobil. Arlita tidak menolak, dia tidak mau bertengkar lagi dan hanya diam duduk di samping Dimas yang sedang menyetir. Sampai di tujuan, Arlita membulatkan matanya melihat tempat yang mereka datangi.

“Dim, kamu gila!”

Dimas tidak peduli, setelah memakirkan mobil dia berniat membukakan pintu untuk istrinya, tetapi Arlita sudah lari lebih dulu. Dimas mengejar sambil berteriak memanggil Arlita, namun Arlita menulikan telinganya. Arlita tahu Dimas tidak mau anaknya terlahir cacat, tetapi tidak dengan cara buruk seperti ini. Tenaga yang dipunya Arlita tidak sebanding dengan Dimas terlebih lagi perut Arlita yang mulai membesar.

“Aku tidak mau berurusan dengan dukun, Dim,” ucap Arlita sambil menangis.

“Aku mau anak kita terlahir sehat, tolong mengerti.”

Arlita menahan dirinya dan dia kalah menolak lagi. Terpaksa dia mengikuti perintah yang dikatakan dukun tersebut, tentunya dengan paksaan Dimas. Entah obat dan ramuan apa yang dicampur Dimas untuknya. Arlita hanya disuruh meminum. Racikan itu rutin dilakukan Dimas dan dua bulan kemudian mereka pergi ke dokter kandungan seperti yang diperintahkan dukun tersebut. Dokter menjelaskan bahwa kandungan Arlita terlihat semakin lemah dan posisi calon anak mereka semakin rumit. Tidak ada harapan dan calon bayi harus segera diangkat, itu kalimat penjelasan terakhir dari dokter.

“Saya bersedia,” kata Arlita.

Ucapan Arlita mendapat tatapan tajam dari suaminya. Dimas tetap mau mempertahankan calon anak mereka dengan mengatakan pergi ke dukun lain. Dokter yang mendengar cukup kaget bahwa mereka pergi ke dukun. Setiap hari kondisi Arlita semakin menurun bahkan jadwal pekerjaannya pun tidak teratur. Arlita menangis di dalam kamar mandi, berulang kali dia memuntahkan isi perutnya dan diisi lagi dengan racikan yang dibuat Dimas.

Baca juga  Kuda

“Dim, aku lelah,” gumam Arlita.

Suara ketukan mengganggu kegiatan menangis Arlita, sudah pasti Dimas yang mengetuk pintu tersebut. Saat mau berdiri, Arlita merasa perih di bagian bawah perutnya dan berusaha berdiri membuka pintu karena suara ketukan semakin kuat. Namun apa daya, Arlita malah pingsan.

***

Saat ini operasi sedang berjalan, anak mereka yang berumur kurang dari sembilan bulan telah diangkat. Jika tidak melakukan operasi, Arlita dan anak mereka akan kehilangan nyawa. Dimas melihat anaknya yang berada di dalam tabung dengan berbagai jenis selang dan alat medis. Anak mereka terlahir cacat. Air mata berhasil keluar dari izin si pemilik, bukan hal ini yang diinginkan Dimas.

Tiga minggu dirawat di rumah sakit membuat Arlita menjadi pendiam, tidak dengan Dimas. Mereka pulang, sedangkan si buah hati masih di rumah sakit yang ikut memperjuangkan nyawa. Dimas terus menyalahkan Arlita yang tidak pernah menuruti perintahnya, sifat egois dan terus bekerja. Arlita tidak menerima tuduhan yang keluar dari mulut Dimas karena dia ikut memperjuangkan anak mereka, malam itu perang mulut terjadi.

“Di sini akulah yang bertarung nyawa mengikuti semua kelakuan bodohmu!” murka Arlita.

Emosi Dimas kalut membuat dirinya menampar pipi kanan Arlita dan untuk pertama kalinya selama tujuh tahun. Bukan hanya adu mulut, tetapi Dimas melakukan kekerasan kepada Arlita. Dimas menjambak rambut Arlita, memukul, dan terus menampar. Bekas jahitan di perut Arlita mengeluarkan darah. Dia menahan sakit dengan menjatuhkan air mata seketika ucapan dokter teringat kembali. Arlita tidak bisa mengandung lagi, rahimnya diangkat.

“Aku menyesal mempertahankan hubungan kita,” ucap Arlita.

Mereka pacaran selama tujuh tahun dan memutuskan menikah dengan mengabaikan hukum budaya. Menikah dengan semarga dan agama yang berbeda, tidak ada yang meresmikan pernikahan, kekerasan dalam rumah tangga termasuk anak mereka yang terlahir cacat. Pernikahan mereka tidak jelas dan kurang dari dua tahun hubungan mereka kandas. Dimas dan Arlita bercerai. ***

Langit Kompak, 09 Juni 2021

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!