SI KRITIKUS kenamaan itu bersetia dengan layar laptop yang menyala bagai bola lampu dan kadang-kadang mengantuk.
Tidak ada pekerjaan lain, selain membaca dan mengkritik. Lalu mengkritik dan kemudian mengkritik. Ia merasa dilahirkan untuk itu.
Ia merasa dilahirkan untuk melakukan tugas suci itu: menyelamatkan sastra dari tumpukan sampah busuk. Sampah-sampah dari karya penulis pemula yang hancur dan lebur hingga berantakan bagai bumbu banyak garam—atau bahkan tak dapat membedakan mana gula mana garam. Begitulah rutinitas si kritikus. Maka, demi urusan itu, ia rela terjaga semalaman suntuk dan bangun kesiangan.
Ketika si kritikus berhasil mengkritik suatu karya sastra—misalnya cerpen—maka ia mendapatkan poin dan kedudukan yang lebih tinggi daripada cerpenis yang karyanya telah ia kritik. Kedudukan yang lebih tinggi itu diakui oleh cerpenis dan kritikus lain. Serta, apabila belum mendapatkan celah untuk mengkritik karya sastra milik sastrawan lain, ia akan senantiasa mencarinya. Hingga ketemu dan berakhir dengan semburan caci makian.
“Ompol bayi. Ini ompol bayi.” Begitulah cacian yang kerap dilayangkan oleh si kritikus.
Saban hari, si kritikus membaca dan membaca, lalu (tentu saja) mengkritik. Kalkulasinya sederhana: apabila si sastrawan produktif menulis, ia harus lebih produktif mengkritik. Pun ia tak pernah melewatkan satu karya luput dari kritikannya. Bila ditanya mengapa demikian, ia akan menjawab, “Itu demi kedudukan.”—di luar tugasnya yang katanya menyelamatkan sastra itu sendiri.
Selain mengkritik, si kritikus juga rajin membaca karya-karya terjemahan serta teori kritik. Menurutnya, membaca seperti menegak jus buah. Ia butuh nutrisi dan asupan teori yang banyak. Beberapa sastrawan mancanegara yang karya-karyanya sering ia baca seperti Ernest Hemingway, Gabriel García Márquez, John Steinbeck, Kawabata, dan Anton Chekhov. Untuk urusan itu, si kritikus merasa harus mengatur waktu. Jadi, boleh dibilang bahwa hari-hari si kritikus cukup sibuk. Bahkan kadang-kadang ia lupa punya anak untuk dibiayai dan punya istri untuk digauli.
Apabila ditanya: sejak kapan ia mulai mengkritik, si kritikus akan terdiam lama. Ia tidak memikirkan jawabannya. Menjawab atau tidak, itu urusannya. Toh, kalau tidak menjawab, ia tidak akan mendapat musibah atau hukuman. Si kritikus terdiam cukup lama karena teringat kejadian sepuluh tahun silam.
Sebagai seorang kritikus kenamaan yang sering menyampahkan karya-karya sastrawan lain, tentu ia lebih dulu merasakan kegetiran itu. Sepuluh tahun yang lalu adalah benih kegetiran yang kini telah berbuah.
Dulu, sebelum menjadi kritikus, Subagio (nama lahir si kritikus) sering diabaikan oleh sastrawan-sastrawan tersohor ketika bertemu di suatu kesempatan. Subagio berjumpa dengan mereka di acara workshop penulisan di Jogjakarta. Setelah acara itu selesai, Subagio menyempatkan waktu duduk bersama kumpulan petinggi dan penjaga gawang sastra. Hidup-mati sastra ada di tangan mereka dan Subagio menjadi bagian terkecil yang amat sangat kecil di antara mereka.
Subagio sering diabaikan. Dianggap angin, dikira makhluk astral yang (tentu) tidak berwujud di mata mereka. Berkali-kali Subagio mengajak bicara sebagian dari mereka, namun tak sekalipun salah seorang dari mereka menyahutnya. Bahkan, ketika Subagio memberikan karya sastranya, berupa cerpen, dengan harapan mendapat komentar atau kritikan, sastrawan-sastrawan tersohor itu justru menjadikan lembaran kertas tersebut sebagai asbak, penguburan puntung rokok. Belasan puntung rokok mengoyak kata-kata yang tergores di atas kertas itu dan kadang-kadang membakarnya.
“Pak, ini cerpen saya.” Begitu kata Subagio dengan nada terkulai.
“Oh, maaf. Saya tidak tahu.”
Tentu Subagio sedih dan marah. Api di dalam dadanya berkecamuk. Hatinya kecil, nyalinya menciut. Ia jadi pesimistis dalam menulis. Selepas kejadian itu, ia tak pernah lagi menulis barang huruf pun. Ia merasa tidak berbakat menulis dan tidak layak menjadi sastrawan. Subagio hanya layak menjadi anak jalanan, memulung sampah, dan kalau punya modal, ia bakal berjualan koran di persimpangan lampu merah.
Ratusan kali Subagio mengirim karya-karyanya ke media, tapi tak satu pun media memuatnya. Ia geram dan marah. Lantas menginginkan sesuatu yang instan. Ia sempat berpikir untuk meneror si redaktur salah satu media.
Subagio membayangkan menemui redaktur di kediamannya. Kemudian, mencekik batang lehernya sembari berucap, “Katakanlah, berapa harga satu tulisan!”
“Yang jelas, lebih mahal dari harga dirimu!”
***
Anehnya, seminggu sejak ia membayangkan hal itu, salah satu karyanya berhasil tembus ke majalah besar. Seketika itu, namanya mulai meluncur ke angkasa layaknya sebuah roket. Tidak sedikit orang yang mengenal dan tiba-tiba mengaguminya. Ia mulai dielu-elukan bagaikan selebritis. Bahkan, para kritikus tersohor—yang sepuluh tahun silam pernah mencacinya—kini berebut temu dengannya. Takdir berputar laksana sebuah roda.
Subagio dibanjiri undangan. Dari komunitas biji timun sampai yang ternama, pernah mengundangnya sebagai pemateri.
Tentu saja Subagio senang. Undangan demi undangan yang begitu banyaknya berarti makin banyak pula pundi-pundi uangnya. Ia tidak perlu memikirkan mau makan apa hari ini, mau minum apa esok hari, dan mau ke mana esok lusa. Tinggal memakai kemeja terbaik, sepatu paling kinclong, serta mempersiapkan motivasi-motivasi. Subagio tak ubahnya seorang pengusaha yang menginspirasi kaum sebangsa semut rangrang.
Bahkan, karena keseringan diundang itu, dua tahun kemudian Subagio bisa membeli satu mobil dan membangun sebuah rumah. Orang-orang yang bertamu di rumahnya dibikin takjub dengan bangunan yang menyerupai istana. Ratusan buku mengisi tiap-tiap sudut. Beberapa bingkai kesuksesan Subagio terpajang pada sebentang tembok.
“Apakah Tuhan telah membangun surga di sini?”
“Sungguh, betapa ini menyerupai sebuah istana dalam kepala anakku!”
Begitulah beragam decak kagum para tamu. Dan, ketika ditanya, sejak kapan ia dapat memiliki semua itu, Subagio dengan menyeringai menjawab, “Sejak masterpiece cerpenku tembus di media besar!”
Tetapi. Ya, tetapi. Sejak mendaulatkan diri sebagai kritikus, Subagio jarang mencipta karya sastra lagi. Hidupnya lebih sibuk mengkritik karya sastrawan lain. Ia tak pernah jemu dengan pekerjaannya itu. Kebanyakan kritikus mengkritik demi menjaga martabat sastra, tapi tidak dengan Subagio. Sebenarnya, hal itu ia lakukan untuk menutupi karya-karyanya yang lebih buruk ketimbang sampah.
Ada yang luput dari bidikan kamera dan wawancara reporter di acara sastra, bahwa Subagio sebenarnya tidak benar-benar menulis cerpen yang tayang di media besar itu. Karya sastra mahadahsyat yang pernah diciptakannya sebenarnya tak lain ialah saduran. Si kritikus kenamaan bernama Subagio, hanyalah menyadur cerpen milik Gabriel García Márquez. Untuk mengelabui si redaktur, Subagio tinggal mengubah beberapa susunan kata dan nama-nama tokoh. Ia berbuat begitu karena impitan ekonomi.
Untuk menutupi keburukan karyanya itu, Subagio mengkritik karya sastra orang lain, sebagaimana lalat terbang membawa tahi. Bahwa dirinya tidak lebih busuk daripada tahi. Subagio memang memahami teori penulisan dan kritik. Tetapi, bukankah seseorang yang memahami teori belum tentu bisa mempraktikannya?
Di akhir hidupnya, Subagio lupa tentang alur kehidupan: bahwa orang-orang yang sering mendapat kritik akan tumbuh jauh lebih baik. Memang tidak semua, tapi itu cukup untuk mengungguli si kritikus kenamaan bernama Subagio. Mereka yang pernah dikritik akan berbalik mengkritik—seperti kisah hidup Subagio sepuluh tahun silam—dan tentu saja karya-karya mereka berkembang sangat pesat. Penikmat sastra sampai berdecak kagum dan tidak percaya bahwa ada karya sebagus itu di dunia. Begitu bagus, melebihi secuil kebohongan yang pernah ditulis oleh Subagio di sebuah media besar. ***
HENDY PRATAMA. Lahir 3 November 1995 di Madiun. Bergiat di komunitas sastra Langit Malam dan FPM IAIN Ponorogo.
Leave a Reply