Cerpen, Singgalang, Vira Fazirah

Sumando

5
(1)

DINGIN Subuh menggigil sampai ke tulang. Mungkin lebih dingin yang dirasakan dedaunan yang masih tersungkup embun. Tapi apa peduli Jafar. Baginya, dari segi apapun hidupnyalah yang paling malang.

Lihatlah, lelaki mana yang telah membuat perasapan dapur sepagi ini. Lelaki mana yang pada jam segini telah ke sana-kemari mencari pinjaman beras dan uang untuk sekadar membuatkan sarapan untuk dua anak kembarnya?

Ya, ia akan memasakkan telur untuk Sani dan Suni.

Kenapa telur? Memasaknya paling mudah, dan harganya paling murah. Tentu ia senang dengan dua fakta itu. Meski pada kenyataannya dua telur saja tak mampu ia beli.

Beruntung, ada Suma. Tetangga Jafar yang menyayangi anak-anak Jafar seperti cucunya sendiri. Mungkin tak sepenuhnya benar, karena kenyataannya Suma tak pernah punya cucu sendiri. Ia tak pernah merasakan punya anak, apalagi cucu sampai suaminya meninggal dunia. Ia memilih hidup menjanda hingga hari tuanya.

“Kami sudah berjanji untuk saling setia sampai mati,” ungkap Suma suatu hari ketika Jafar dan Lena, istri Jafar, datang bertandang ke rumah perempuan tua itu.

Sejak saat itu istri Jafar menyatakan kekagumannya pada sosok Suma yang setia. Ia jadi sering bertandang ke rumah Suma demi mendengarkan kisah cinta Suma. Hingga, suatu kali, secara tak langsung Lena meminta Jafar untuk melakukan hal yang sama jika takdir memintanya berpulang lebih dulu.

Permintaan istrinya itu bagi Jafar bukanlah suatu hal yang sulit ia kabulkan. Toh, ia merasa hidupnya tak buruk jika harus menjadi duda dan merawat kedua anak mereka hingga akhir hayat. Jafar juga tak mungkin bisa jatuh cinta lagi dengan wanita mana pun. Baginya, istrinya adalah cinta sejati yang tak akan mungkin ia duakan. Apalagi sampai berbagi hidup dengan wanita lain. Mungkin pemikiran Suma perlahan juga telah ikut merasuki Jafar. Atau mungkin karena seringnya istri Jafar menceritakan kisah cinta Suma sebelum mereka terlelap mesra? Entahlah.

Padi di sawah yang mulai berperut memang memekarkan harapan, tapi di saat bersamaan juga menjadi permulaan dari hari-hari yang sulit. Biasanya pada waktu ini persediaan beras dari panen sebelumnya telah mulai menipis dan orang-orang sudah mulai membeli beras. Harusnya begitu, tapi tahun ini tampaknya musim pelik telah lebih dulu datang. Bahkan telah datang saat kemarin padi masih berupa benih.

Ini disebabkan musim panen sebelumnya banyak yang gagal panen. Hujan yang turun ber kepanjangan selama beberapa minggu sebelum panen telah banyak menggerus hasil panen di kampung. Ada sawah yang disapu banjir, ada padi yang ketika panen banyak yang tidak berisi, dan juga ada padi yang belum sempat berperut daunnya membusuk dimakan hama.

Baca juga  Yang Berlayar dan Tak Kembali

Jafar yang biasanya mendapatkan belasan karung saat panen, musim panen waktu itu hanya memperoleh dua karung. Dua karung padi itu bukanlah pendapatan bersih. Sebab dari dua karung padi itu mesti dikeluarkan lagi sebanyak sepuluh gantang untuk direndam dan dijadikan benih pada musim sawah berikutnya.

Jika saja ia tak putuskan kerjaan karena wabah yang tak tahu kapan pamitnya itu, mungkin Jafar tak perlu mendatangi rumah perempuan tua sepagi ini. Walau istrinya sangat akrab dengan Suma, bukan berarti ia tak merasa segan untuk mengetuk rumah perempuan itu pagi-pagi demi mendapatkan pinjaman beras dan uang yang entah kapan bisa ia lunasi mengingat hutangnya di minggu sebelumnya pada Suma belum selesai ia bayar dengan tuntas.

“Jangan risau, istrimu anak juga bagiku. Apa kamu lupa Jafar bahwa ibuku dan ibu istrimu bersepupu? Itu artinya kau juga anakku,” kata Suma seolah menangkap raut segan di wajah Jafar.

Meski hidup sendiri dan usianya sudah bau tanah, Suma hidup berkecukupan. Uni dan Uda Suma tinggal bersama keluarga mereka di kota. Hanya Suma yang memilih tetap di kampung dan mewarisi warisan tanah dan rumah peninggalan ibunya. Siapa lagi yang akan mengelolah tanah pusako milik keluarganya jika bukan ia?

Uninya sudah hidup berkecukupan di kota dan tak punya minat sedikit pun terhadap kekayaan orang tua mereka di kampung. Dari semua harta warisan itulah Suma memperoleh kelapangan hidup.

Sawah dan ladang karet yang ia punya dikelola orang-orang kepercayaannya di kampung. Hasilnya nanti ia terima 30 persen untuk setiap lahan. Tentu dengan lahannya yang banyak, pendapatan itu lebih dari cukup menghidupi dirinya sendiri.

Cerita yang didengar oleh Jafar, konon katanya nenek dari ibu Suma dan Ibu mertua Jafar sangat rajin berladang sehing ga mampu membuka lahan yang banyak. Sebab itulah baik keluarga Suma maupun keluarga istri Jafar bisa memiliki sawah berpiring-piring dan tanah yang luas. Akan tetapi, karena saudara istri Jafar banyak dan semuanya perempuan, tanah-tanah itu pun dibagi-bagi. Sehingga istri Jafar tak memiliki tanah sebanyak dan seluas punya Suma.

Baca juga  Mereka Bilang Aneh

Belum lagi, keluarga istri Jafar yang terdiri dari delapan saudara perempuan yang semuanya hidup di kampung itu sering berkonflik masalah tanah. Sikap pengalah istri Jafar membuat istrinya punya lahan yang lebih sedikit dibanding saudaranya yang lain. Pernah beberapa kali Jafar ingin ikut campur atas kesewenang-wenangan saudara perempuan istrinya itu. Tapi, ia mengingat kedudukannya di sini hanyalah seorang sumando. Jelas hal itu tak pantas ia ikut campuri.

“Jika kau butuh pekerjaan, kau bisa mengolah salah satu lahanku, Jafar,” tawar Suma suatu hari.

Tawaran Suma tentu bukan tanpa alasan. Mungkin saja Suma telah mendengar desas-desus itu. Sejak kematian istri Jafar, perlahan tanah yang biasa dikelola Jafar sebagai jatah tanah istrinya itu diambil alih saudara-saudara istrinya. Saat ini hanya rumah yang sekarang ia tempati bersama kedua anaknya yang belum diambil alih dari tangan Jafar. Tapi belakangan nenek dari saudara kembar itu juga sudah semakin sering mengajak cucu kembarnya itu menginap di rumah mereka. Jafar paham betul situasi ini. Sebagai sumando tentu ia tak bisa selamanya menumpang hidup di atas tanah istrinya yang telah tiada. Hanya kedua anaknyalah harta yang ia miliki sekarang. Tapi apa ia bisa menghidupi kedua anaknya yang masih balita itu dengan layak?

Apa yang bisa diharapkan dari lelaki yatim piatu yang hidup di perantauan— kampung istrinya? Jafar hanya punya satu saudara. Mirna, saudara yang kini tinggal di Silawik bersama suaminya. Jafar juga tak mungkin menumpang hidup pada Mirna dan membawa anak kembarnya Sani dan Suni ke rumah kontrakan kakaknya itu.

***

Jafar kecil lahir dan besar di Silawik, suatu daerah yang lebih ‘kota’ dari kampung ini (mungkin sekitar 3 sampai 4 jam perjalanan bus dari kampung ini). Ayah dan ibu Jafar aslinya dari Medan, tapi sudah lama merantau ke Silawik. Ayahnya bekerja sebagai nelayan. Mereka sekeluarga hidup dengan mengontrak rumah sederhana di sana. Jafar hanya mampu bersekolah hingga SMP.

Setelah ayahnya meninggal kemudian disusul oleh ibunya, Jafar remaja mesti berpandai-pandai dengan kakaknya untuk bertahan hidup. Ia mulanya menawarkan diri jadi kernet angkot di kota. Hingga beberapa lama setelahnya, ia dipercayakan menjadi supir angkot.

Dari sanalah pertemuan tak terduga Jafar dan perempuan yang kemudian menjadi istrinya itu bermula. Istri Jafar yang waktu itu bersekolah SMA di kota sering menumpang di angkot Jafar.

Entah bagaimana kisah jelasnya, Jafar dan perempuan itu suatu ketika pulang bersama ke kampung ini dan menyatakan akan menikah. Tentu itu membuat kaget semua orang, terlebih keluarga perempuan. Lebih mengejutkan lagi, perempuan yang masih belum tamat SMA itu membuat pengakuan mengejutkan. Ia telah hamil dua bulan.

Baca juga  Semoga Tak Ada Hari Esok

Desas-desus tak mengenakkan langsung menyebar luas di kampung ini. Ada yang mengatakan, Jafar telah menggunakan ilmu hitam untuk memikat hati perempuan masih belia itu.

“Silawik kan terkenal dengan ilmu hitamnya”, ucap salah satu penggosip menguatkan asumsinya.

Ada juga yang mengatakan mungkin saja gadis itu benar-benar telah terpikat dengan wajah Jafar yang bisa dibilang rupawan meski cuma supir angkot, hingga gadis itu rela menyerahkan jiwa dan raganya.

“Tak heran ia bisa berperilaku menjijikkan seperti itu, kalian tak ingat dia anak siapa? Dia anak Mak Rodah. Bukankah buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya?” kata penggosip lain.

Entah mana yang benar, hanya Jafar dan istrinya yang tahu pasti bagaimana kisahnya. Tapi sepertinya mereka enggan buka mulut. Mereka memilih memekakkan telinga atas semua gosip itu. Toh, mereka akhirnya jadi juga menikah.

***

“Kau juga boleh kapan pun menginap di pondokku di ladang, Jafar. Jika seandainya kau tak tahu akan tinggal di mana nantinya,” sambung Suma.

Suma sepertinya sudah tahu semuanya. Bahkan ia juga sudah memperkirakan Jafar sebentar lagi akan diusir secara halus dari rumah mendiang istrinya.

Ia tahu niat Suma sangatlah baik. Tapi kebaikan Suma tentu tak akan mungkin selamanya bisa membantu dia. Apa nanti kata orang-orang kampung jika ia menumpang hidup pada seorang janda tua?

Sebagai seorang laki-laki tentu harga dirinya akan jatuh. Tapi saat ini bukan harga diri yang paling memusingkannya. Tentu lebih banyak yang lebih memusingkan kepalanya daripada itu.

Durian telah langkas, dan gubuk pun telah roboh. Saat istri telah tiada, sumando mau tak mau mesti pergi meninggalkan rumah istri. Begitulah adatnya.

Maka, ketika suatu hari Jafar ziarah ke makam istrinya, ia datang dengan sebuah tanya, “Lena istriku, apa kau akan marah jika aku menikah lagi demi mendapatkan sebuah tempat tinggal?” ***

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!