LUPA. Manusia dasarnya makhluk yang suka melupa. Sudah tahu hati manusia gampang berubah tapi tetap saja menaruh harapan. Awalnya berawal dari tatapan. Lama-lama menjadi kenangan yang tak terlupakan. Siang dan malam selalu terbayang wajahnya yang rupawan. Mau makan dan minum pun selalu terbayang senyumnya yang menawan. Bucin kalau sudah dimabuk cinta, kisah Romeo dan Juliet pun kalah.
***
“Besok, mulai PPKM guys. Kalian tidak ada rencana mau ngedate gitu malam ini? Ingat loh, besok jalan sudah banyak yang disekat,” seru Ratih sembari memainkan ponsel.
Kertas yang mulanya mulus, rapi tanpa coretan perlahan mulai menampakkan perubahan bentuk. Pasalnya perkataan Ratih selalu membuatku geram. Sudah cuaca mendung, dibuat pula hati tersinggung. Kaum LDR hanya bisa tersenyum pahit di saat pasangan lain mulai mengajak temu sebelum jarak memisahkan. Semenjak keberadaan corona, tak hanya jalan yang disekat.
Hubungan yang dari dulunya dekat pun rentan membangun sekat. Untung saja aku orangnya nekat. Pernah menjanjikan akan selalu setia, selamanya mencintai sampai Tuhan memisahkan. Dua tahun yang lalu, aku memberanikan diri mengatakan untuk tetap menunggunya sampai kapan pun. Aku berjanji akan selalu berada di sisinya. Itulah janjiku dengan seorang pria tampan yang sampai hari ini selalu kutunggu kehadiraanya untuk melamarku.
Cuaca mendung benar-benar mendukungku untuk menuliskan sebuah puisi cinta untuknya. Meskipun beberapa kertas sudah menjadi imbas kekesalanku, aku tak peduli. Puisi ini harus selesai karena melalui puisi ini bisa menjadi pembuka obrolan pertamaku dengannya setelah sekian lama kami tak bertemu. Sebisa mungkin aku menuliskannya dengan indah.
Aku selalu percaya kalau hati manusia itu mudah tersentuh dengan kata-kata indahnya si puisi. Kali ini kuberi judul puisinya kasih aku merindu. Jika tanpa gangguan, dua bait puisi bisa selesai dalam waktu lima menit. Tapi sepertinya, aku harus lebih berhati-hati saat menulis ketika ada dua wanita perusuh ini di sini. Ratih dan Tyas, dua wanita perusuh saat aku menulis.
***
“Oh pujaanku,” ejek Ratih saat menarik secarik kertas berisi tulisanku.
“Resek ih. Sana pulang. Ganggu orang kerja mulu,” balasku kesal.
Belum lagi sempat kuselesaikan bait terakhir, mood langsung ambyar. Alhasil tulisan tak terselaikan meskipun ide menulis sudah berkeliaran memenuhi isi kepala. Segera kusudahi pekerjaanku karena menulis dengan gangguan itu sama saja merusak isi tulisan. Mau dipaksakan dengan jurus jitu ala Jackie Chan pun mood sudah rusak tak karuan.
Untuk mendinginkan pikiran sekaligus meredakan kekesalanku, kuambil segelas teh hangat dan ubi rebus. Sepertinya memakan makanan hangat begini, bisa mengobati hatiku yang lelah menanti sebuah kabar. Semoga selesai kusantap semua makanan ini, datang suatu keajaiban. Ya keajaiban yang mendatangkan kabar darinya. Aku benar-benar lelah menahan rindu. Mungkin celengan rindu ini sudah penuh. Kapan ya dia membukannya untukku?
“Sel, beri aku saran mengenai desain undangan ini,” tandas Tyas mencoba membuyarkan lamunanku.
“Hei Sella.” Tyas menoyor kepalaku dan menepuk pundakku.
“Oh ini,” jawabku bingung seperti orang yang tak mengerti topik obrolan. Segera kuraih beberapa desain undangan pernikahan yang diberi Tyas. Kucoba untuk memberi kritik dan saran padanya agar cepat kedua wanita ini pergi.
Sungguh aku benar-benar terganggu dengan obrolan mere-ka kali ini. Apalagi Tyas si Mentri Keuangan dan Ratih si admin Lambe Turah. Kedua wanita ini hobinya sama-sama menggosip. Apalagi semenjak kepergian Ramond ke Bekasi, aku lah yang menjadi sasaran empuk bahan sindiran mereka. Mulai dari menyindir hubunganku dengan Ramond, gayaku berpakaian hingga pekerjaanku yang sebagai penulis puisi di media. Yang anehnya kami betah berteman bertahun-tahun lamanya. Biarlah ngomong blak-blakkan daripada berteman dengan si bermuka dua.
***
Desain undangannya sungguh menggangu mataku. Harusnya tak perlu menambahkan foto calon mempelai pengantinnya. Buat apa coba? Toh di undangan juga tertulis dengan sangat jelas nama pengantinnya. Sudah posenya terkesan lebay, diletakkan pula di depan cover undangan hingga menutupi tanggal akadnya. Harusnya desain undangan tidak boleh terkesan berlebihan, lebih baik desain yang sederhana-sederhana saja.
Lagi pula jika calon pengantin ini tetap memaksa memakai desain ini juga, tidak merugikanku. Kalau aku sih ogah. Walaupun calon mertua memaksa. Pasalnya untuk desain undangan merogoh kocek yang lumayan besar tetapi pada akhirnya undangan menjadi benda yang mudah dibuang-buang. Aku sampai teringat desain undangannya Santi, teman kuliahku. Mewah-mewah didesain undangannya, ala-ala desain pernikahan artis luar negeri. Eh, keluar dari gedung pernikahan dijadikan mainan oleh anak-anak sampai-sampai foto mereka terkoyak.
Tentu saja tak ada yang bisa mendengar ocehanku ini karena memang aku sengaja bersuara lewat hati. Susah menasehati si Tyas. Alasannya pasti dibilangnya aku kuno tak tahu perkembangan zaman. Sulit menerima masukan orang lain menjadi keburukannya. Ditambah sifatnya yang super-super irit. Pantas saja suaminya sendiri memanggilnya Mentri Keuangan. Kalaupun kupaksa untuk menyuarakan isi hatiku juga tetap sia-sia. Karena permintaan pengantinnya juga pasti harus pasang foto. Dan, memang lebih baik energiku kusimpan agar lebih mudah otakku dan jemariku menuliskan puisi indah untuk Ramond.
“Sudah bagus. Lagian sudah permintaan dari pemensan kan?” Sindirku.
“Iya sih,” balas Tyas.
Hampir setiap bulan Tyas selalu datang kesini membawakan desain undangan. Padahal aku spesialisnya pembuat kata-kata indah bukan desain grafis. Harus kuberitahu dengan cara apa lagi agar Tyas berhenti menunjukkan undangan-undangan ini? Sumpah undangan-undangan ini semua membuat hatiku sakit. Pasalnya Ramond, lelaki pujaanku belum pernah menjanjikan hubungan ini akan berlanjut ke jenjang pernikahan.
Apa kurangnya aku? Segala upaya kulakukan untuk mengikat hatinya. Sampai-sampai sebelum kepergiannya ke Bekasi untuk merantau, aku beri dia uang dua juta untuknya sebagai modal. Ramond memang tak pernah memintanya dariku. Ini inisiatifku saja. Aku terlalu serakah dengan cinta. Uang ke[1]luar tidak masalah yang penting hubungan bisa awet sampai ke pernikahan.
Mempunyai undangan pernikahan yang cantik, berkelas memang dambaan setiap pasangan. Tentu pasangan mapan yang mau menikah, tidak akan menyia-nyiakan undangan yang hanya dicetak seumur hidup itu menjadi jelek. Sebisa mungkin selagi calon suami dapatnya yang pengusaha, undangan akan dicetak secantik mungkin. Tak terkecuali aku dengan Ramond nantinya.
Biarlah bersakit-sakit dahulu asal dikemudian hari aku bisa senang bersamanya. Mempunyai teman yang pekerjaanya membuat desain undangan pernikahan, membuatku sampai diam-diam mendatangi tokonya. Sebisa mungkin Tyas tidak terlibat dalam masalah ini agar mulutnya tak bisa mengomentariku. Ini rahasia yang harus benar-benar dijaga dari kedua wanita itu. Merencanakan desain undangan dari sekarang tidak ada salahnya. Semua keinginan itu butuh perencanaan. Ya termasuk soal pernikahan impianku dengan Ramond.
***
“Sel buat satu puisi paling indah untuk calon mempelai. Harus yang paling indah ya,” titah Tyas tiba-tiba memecah lamunanku.
“Apa?” jawabku terkejut.
“Ini permintaan salah satu pemesan. Mengenai honor tulisan aman. Oh ya satu lagi, jangan sertakan namamu ya Sel. Soalnya pemesan undangan ini maunya, nama si pengantin pria yang sebagai pembuat puisi,” sambung Tyas menjelaskan hingga membuatku tercengang.
Benar-benar di luar nalarku. Apa ada hari ini profesi pembuat puisi di undangan pernikahan yang namanya anonim? Alias nama si pembuat tidak diketahui orang. Ini sama saja menipu terselubung. Buat apa coba pria satu ini melakukan kerjaan tipu begini? Mau cari muka di depan mertua? Ah sudah telat juga karena toh sudah mau menikah atau pria satu ini mau membuat si wanita cinta mati lewat puisi gitu? Jika iya, seperti apa sih wanita yang mau dinikahinya? Kali ini aku benar-benar penasaran dengan pemesan undangan si Tyas.
“Honor lima ratus lebih. Kalau puisinya bagus, kemungkinan dapat bonus Sel,” ujar Tyas mencoba mempengaruhiku sambil mengeluarkan uang merah-merah dari dompetnya.
Lima ratus ribu untuk satu puisi? Kali ini aku tak perlu berpikir keras atau sampai sholat istikharah. Tawaran Tyas langsung kusetujui. Aku tak keberatan jika puisiku itu nantinya diganti nama penulisnya dengan orang lain. Selama masih bisa menguntungkan, kenapa tidak? Mau itu dikira puisi buatan Supardjo, Kasim, atau bahkan dikira seperti puisi penyair terkenal Chairil Anwar, aku benar-benah bodoh amat. Aku akan melakukannya meskipun menuliskannya hatiku sedikit terlukai.
“Oke kapan deadline? Dan siapa nama pemesannya?“ Tanyaku cepat.
“Soal deadline paling lama dua hari ya Sella. Duh namanya siapa? Kok aku lupa. Nanti deh aku pulang ke rumah untuk lihat nama pemesannya dulu. Karena tadi siang itu suamiku yang menerima pesanannya,” ucap Tyas.
Tak lama Tyas menerima panggilan telepon dari suaminya, kedua wanita itu pun akhirnya pulang. Dan sekarang aku benar-benar lega. Akhirnya aku bisa mengkhayal dengan sangat tenang. Segera kulanjut tulisan yang belum selesai tadi. Pucuk dicinta ulam pun tiba-tiba. Selesai menyelesaikan tulisan, Ramond akhirnya membalas pesanku. Setiap menerima pesan darinya, aku selalu tersenyum terlebih dahulu, sebelum aku membalas pesannya. Berjodoh dengannya adalah permohonanku di setiap sujudku.
“Aku sibuk nanti kita bicara,” kata Ramond lewat pesan singkatnya.
Kucoba memakluminya karena kutahu mencari uang itu tidaklah mudah. Mungkin Ramond benar-benar sibuk. Kualihkan pikiranku agar hati tak terlalu kecewa dengan memulai membuat puisi pesanan Tyas. Bait demi bait akhirnya selesai. Tyas pun akhirnya meneleponku.
“Sella, namanya Ramond.”
“Ramond? Ramond siapa?” Jawabku dengan perasaan sudah kacau. Seperti ada sesak yang menekan hatiku.
“Ramond Aditya Armana. Oh ya pengantinnya sekarang itu sedang di Bekasi, kemungkinan lusa mereka kembali datang ke tokoku.”
Seketika kumatikan langsung ponselku. Aku benar-benar tak ingin mendengar namanya lagi. Aku merasa ada setumpuk duri tertancap di hatiku. Kulamiaskan kemarahanku pada kertas yang berisikan puisi pernikahan tadi. Kuremas kertas itu hingga kukoyak. Malam ini diriku seakan-akan terbenam dalam lautan kesedihan. Menangis sendirian karena dihadiahi pengkhianatan membuat hatiku hancur berkeping-keping. ***
Leave a Reply