Cerpen Sigit Widiantoro (Republika, 26 September 2021)
“MIRIP kamu. Plek-jiplek!” Deretan kata itu begitu mengganggu seperti lalat yang berpesta di atas goresan luka. Meski orang-orang berucap sembari bercanda, Badrun paham apa yang mereka maksud. Grusa-grusu, emosional, lekas naik darah, malas berpikir panjang. Lalu, bagaimana kalau orang berwatak sama itu bertemu dan dihadapkan kepada masalah yang sama?
Badrun menatap foto di dinding yang beranjak pudar catnya. Seorang lelaki yang baru menapaki usia 19 tahun ada di bidikan matanya. Seto, ia beri nama, sulung, laki-laki satu-satunya dari tiga anaknya yang ia gadang-gadang dapat membantu peran dirinya sebagai kepala keluarga. Namun, Seto punya jalan sendiri ketika stempel pramuniaga toko swalayan menempel di dadanya.
“Aku mau nikah,” cetus Seto, datar.
Badrun kaget. Mata mereka berpandangan tajam seakan dua jagoan yang siap-siap menumpahkan darah dari tubuhnya. Badrun paham, Seto punya gandengan yang susah dipisahkan layaknya lokomotif dan gerbongnya. Namun, Badrun tak menduga ia memutuskan menikah begitu cepat. Langit yang berpendar indah di sore itu tiba-tiba serasa kabut.
Badrun diam, berusaha mengerti, mulanya. Namun, sadar ia tak kuasa. Darahnya perlahan naik, merangsek ke ubun-ubun. Permintaan itu tidak hanya mengejutkan, juga mengerikan.
“Pernikahanmu bisa jadi bencana!” Badrun keras.
“Aku menikah justru menghindari bencana!” Seto lebih keras.
“Bagaimana kalau gagal?”
“Belum dicoba sudah dibilang gagal.”
“Tak ada uji coba dalam pernikahan!”
Seto kecewa, lebih-lebih Badrun. Seto pergi dengan hentakan tangan di pintu yang mengguncang rumah. Badrun tidak mau kalah. Ia hantam pintu itu keras-keras. Tangan Badrun direndam lebam. Dadanya lebih lebam lagi. Badrun tidak lagi ingat, berapa kali Seto telah membuat tangan dan dadanya lebam.
Laila, istri Badrun, bertindak layaknya wasit sepak bola. Ia berusaha adil dengan peluitnya. Sayang, Badrun merasa tidak menemukan keadilan pada laku lampah Laila. Badrun malah seperti menemukan pembelaan tak bertepi.
“Seto tidak main-main, Pak,” ujar Laila khawatir.
“Bapak harus pikir itu.”
Badrun tidak suka perkataan Laila. Ia tatap mata istrinya tanpa berkedip, seperti menghakimi dan seolah mengancam. Laila sadar, tatapan mata Badrun seumpama keris yang hendak keluar dari warangkanya. Sekali terhunus, keris itu tidak akan balik sebelum membawa luka, tapi Laila nekat.
“Bapak harus dengar ucapan saya dulu.”
Badrun menarik napas. Ia membuka rekaman hidup Seto dalam benak. Laki-laki keras, laki-laki yang tak mudah ditaklukkan. Sejak kecil segala permintaan harus dituruti, marah apabila ditolak. Sekali tak dipenuhi, ia mengurung diri dalam kamar, berjam-jam. Entah apa yang dilakukan. Ia keluar dari kamar jika permintaannya telah dipenuhi.
Kamar berubah jadi kuburan kekhawatiran. Badrun pernah garang menantang. Ia sengaja ingin menaklukkan. Dibiarkannya Seto di kamar tanpa makan minum dan dibiarkannya Seto tanpa sapa. Hingga malam, hingga larut. Namun, bukan Badrun yang bersorak dan bukan Badrun yang girang, melainkan Seto yang mengibarkan panji kemenangan.
Esoknya, Seto sudah tidak ada lagi di kamar. Seto kabur dengan pesan pendek di ponsel Badrun: Saya pergi. Bapak tidak usah mencari. Badrun kelabakan, Laila menangis tiada henti. Jadilah, Badrun bolak-balik lapor ke kantor polisi. Badrun mengakui, Seto mengunggulinya dan ia pantas menang. Seto seperti memahami segala titik lemah Badrun.
“Apa yang ingin kamu ucapkan?” tanya Badrun kepada Laila.
“Biarkan Seto menikah. Kalau tak dipenuhi, ia bisa nekat,” terang Laila.
Mendengar kata nekat, Badrun tercenung. Bayangan buruk seketika memukul pikirannya. Bagaimana kalau Seto kabur? Bagaimana jika Seto malah menghamili kekasihnya? Bagaimana bila Seto minum racun serangga? Badrun tidak yakin mampu mengatasi segala. Otak dan hatinya terlalu lemah dimakan rayap bernama beban hidup.
“Menikah gampang. Duitnya yang sulit,” Badrun bertekuk lutut, akhirnya.
“Kita minta tolong Pak Jatmiko,” saran Laila
***
Badrun masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat setelah pulang dari rumah Jatmiko. Orang-orang di rumah sadar, pintu yang tertutup adalah pertanda Badrun tak mau diganggu dan malas ditanya. Badrun ingin istirahat.
Di kamar, Badrun tak bisa memejamkan kedua matanya. Ada hewan mungil yang berdiam, entah hewan apa. Badrun mengucek-ngucek, tetapi hewan mungil yang entah hewan apa itu malah seperti melekat kuat. Hewan mungil itu bak mengejek Badrun untuk mengenyahkan. Membuka bibir tipisnya, hewan mungil itu tertawa-tawa, sinis.
Badrun terganggu. Ia letih dengan roda hidup. Rumah mengontrak, makan susah, dan biaya sekolah anak-anak menunggak. Tiba-tiba saja ia harus berhadapan dengan perkara Seto yang seperti hewan mungil tadi. Badrun jadi ingin berteriak keras. Untung, Laila mengingatkan nama Jatmiko, anggota Dewan dari sebuah parpol yang telah mempekerjakannya sebagai buruh di toko bangunan miliknya.
Jujur, kali ini tawaran Jatmiko sedikit mengganggu. Badrun merasa ganjil. Apa kata orang jika mereka tahu bahwa di balik pernikahan Seto ada Jatmiko. Semua pasti mencibir. Namun, bagaimana lagi, tangan Jatmiko memang berarti baginya. Apa Jatmiko mau menjebak? Apa Jatmiko hendak menipu? Apa Jatmiko ingin tertawa di atas penderitaannya? Ah, Badrun tidak berpikir sejauh itu.
Namun, Badrun ragu. Apakah maksud sebenarnya Jatmiko ingin mengurus semua tetek-bengek pernikahan Seto? Anak, jelas bukan. Saudara, pasti tidak. Kerabat, tentu jauh. Badrun makin bingung memahami itu, meski perkara pernikahan Seto selesai dengan jaminan mulut Jatmiko.
“Tak usah dipikir, yang penting semua senang,” kata Jatmiko tersenyum.
“Saya senang, tapi apa senangnya Bapak?” tanya Badrun.
“Aku senang karena menolong kamu.”
“Hanya itu?”
“Kamu mencurigai kebaikanku?”
“Maaf. Tidak, Pak.”
Badrun tak kuasa menolak. Apalagi, bukan tabiatnya untuk terlibat dalam perkara tolak-menolak. Badrun tak terlatih dalam hal-ihwal seperti itu. Namun, benar apa yang pernah dikatakan Laila, bahwa segala hidup diri dan keluarganya memang terletak di mulut Jatmiko. Sekali Jatmiko bertitah, nasib Badrun pasti berubah.
Dan, hari itu, Seto bak raja, sedangkan istri bak permaisuri. Meski acap tegang, mereka tak kuasa menyembunyikan kegembiraan. Dalam busana pengantin warna keemasan, keduanya terus mengembangkan senyum. Banyak orang menyalami, banyak orang mendoakan. Acara hiburan musik menjadikan pernikahan terlihat meriah dan gemerlap.
Saat pesta usai, di malam hari, Badrun pulang ke rumah. Tubuhnya letih. Ia berbaring di tempat tidur. Matanya melihat langit-langit kamar. Ada yang bocor, banyak yang terkelupas. Wajar, ini rumah kontrakan murah. Terdengar langkah Laila masuk. Ia berbaring di sisi. Diam, hening.
“Banyak tamu yang tidak kukenal. Seto juga bilang, tak kenal. Siapa tamu-tamu itu, Pak?” tanya Laila lirih, penasaran.
“Aku tak tahu,” jawab Badrun, seperti keluh.
“Kok tak tahu?”
Badrun diam, membisu. Mulutnya malas membuka. Ada beban menindih, ada tali melilit. Akhirnya Badrun bicara. Saat pertama bicara, nadanya berat, selanjutnya suara Badrun mengalir lancar.
“Pernikahan Seto adalah pestanya Pak Jatmiko. Pak Jatmiko yang membiayai dan mengatur semuanya. Dari sewa gedung, menu makanan, isi acara, hiburan musik sampai tamu yang datang.”
“Lho kok gitu?”
“Saya menurut dan memang hanya bisa menurut. Saya tak ikut campur dan tidak layak ikut campur. Pak Jatmiko dalang dan hanya dalanglah yang berhak mengatur pertunjukan.”
Laila tersedak. Ia paham sekarang, tapi di lubuk hatinya yang paling dalam ia tak hendak menyalahkan anaknya, suaminya, lebih-lebih Jatmiko. Bantuan Jatmiko yang telah membuat pernikahan Seto meriah sudah sangat menyenangkan hatinya. Laila tak peduli apabila dirinya hanya sekadar wayang.
“Wayang juga boleh senang, ya Pak,” kata Laila sembari terkantuk-kantuk.
Ada getir di lidah. Getir yang tak kuasa Badrun bayangkan kapan bisa dibuang. Badrun melirik. Laila telah tertidur. Badrun juga mengantuk. Tapi, sebelum tidur ia ingin berdoa, semoga esok tak ada orang yang menyerahkan tagihan kepadanya akibat Jatmiko tekor menggelar pernikahan Seto. ***
.
.
Taman Pagelaran, Bogor 08/2021
Sigit Widiantoro lahir di Banjarnegara, mukim di Bogor. Belajar Sejarah di UNY dan Komunikasi di UI. Cerpennya dimuat di berbagai media.
.
Pernikahan Bayangan. Pernikahan Bayangan. Pernikahan Bayangan. Pernikahan Bayangan. Pernikahan Bayangan. Pernikahan Bayangan.
Leave a Reply