Cerpen, Hidar Amaruddin, Suara Merdeka

Mengetuk Pintu

4.1
(9)

Cerpen Hidar Amaruddin (Suara Merdeka, 26 September 2021)

BADRI duduk melamun di depan pintu. Kakaknya, Marsinah, berulang-ulang memanggilnya untuk masuk ke dalam rumah, tapi ia tak mau. Dari pagi hingga menjelang maghrib Badri masih berada di tempat yang sama. Kakaknya hampir menyerah untuk membujuk adiknya agar mau makan dan istirahat.

“Dik, ayo kita masuk ke rumah.”

Badri hanya menggelengkan kepala. Ia tak bergeming sedikit pun.

“Kakak sudah buatin oseng-oseng mercon, makanan kesukaanmu.”

Badri tetap tak bergerak. Kali ini tangannya terkepal. Lalu Marsinah memeluknya dari belakang. Ia dekap erat Badri dan berkata, “Kamu kan sudah besar. Tahun ini duduk di kelas lima. Jadi harus bisa mengerti, kenapa Bapak dan Ibu sesekali pergi.”

“Tidak sesekali. Tapi sering!” Setelah seharian Badri diam membisu, baru kali ini ia bicara. Mulutnya bergetar, tubuhnya kaku, seakan-akan menahan tangis yang hendak meledak.

“Bapak dan Ibu kan bekerja, agar kita bisa sekolah.”

“Aku rela keluar dari sekolah, asalkan bisa bertemu dengan Bapak dan Ibu setiap hari.”

“Bapak kan cuma pergi tiga bulan ke Kalimantan. Ibu juga cuma dua tahun jadi TKW di Malaysia. Setelah mereka pulang, nanti kita minta mereka bekerja di tempat yang tak terlalu jauh.”

“Tapi ada banyak hal yang sudah terlewatkan. Ibu saja tidak tahu tahun ini aku sudah naik ke kelas lima.”

“Dimaafkan ya. Kakak janji akan sering menelepon Ibu, dan bercerita bagaimana keseharian kita di sini.”

“Bapak?”

“Bapak kerjanya kan di kebun sawit. Hanya memegang gawai jika malam hari. Itu pun beliau sering ketiduran sepulang kerja, saking capeknya.”

“Aku tidak punya siapa-siapa di sini.”

“Kan masih ada kakak.”

“Kakak juga sering kerja sepulang sekolah. Sampai rumah pun kalau tidak jam empat sore, bisa sampai Maghrib. Hari ini saja kakak libur.”

“Iya kakak janji akan mengurangi hari kerjanya. Sekarang kamu masuk ke rumah dulu ya. Langit sudah memerah, pertanda Maghrib menjelang. Kalau kata orang tua zaman dulu, gak ilok berdiri di depan pintu rumah saat candi ala. Nanti kamu bisa diculik setan loh.”

“Tak usah menakutiku. Aku juga pasti masuk rumah,” katanya. Akhirnya Badri menyerah dengan kekesalannya. Meski terlihat berani di depan kakaknya, jujur saja Badri merasa takut tak karuan. Akhir-akhir ini banyak sekali berita yang mengabarkan orang meninggal di kampung. Apalagi fenomena ketuk pintu tengah malam dan isu Lampor yang sering berseliweran. Untuk itulah ia bersikeras meminta orang tuanya untuk pulang. Kalau bisa, mencari pekerjaan yang dekat dari rumah. Anak-anak seusia Badri kini tak pernah tampak bermain atau berlarian di kampung. Orang tua mereka mewanti-wanti, agar tidak keluar rumah terlebih dahulu. Apabila kakaknya bekerja hingga sore, Badri akan menunggunya di kamar. Ia tak berani beranjak ke ruang tamu atau ruang keluarga. Siut angin sering membuat suasana terasa suwung sejenak. Saat makan malam nanti Badri akan memastikan bahwa kakaknya benar-benar akan mengurangi hari kerjanya.

Baca juga  Zar dan Agama Para Anjing

***

“Dimakan semua ya oseng merconnya.”

“Kalau bukan aku yang makan, siapa lagi? Kita kan cuma berdua di rumah.”

“Besuk kakak mau bilang ke Bu Sidik dan Bu Laras untuk tidak bekerja lagi menjadi buruh cuci di sana. Karena tempatnya juga berada di desa sebelah.”

“Tapi kakak masih kerja kan?”

“Tentu saja. Paling dua hari saja. Di rumahnya Bu Tejo, karena rumahnya tak jauh dari sini.”

“Syukurlah kalau kakak masih ingat aku. Pokoknya jangan pulang terlambat lagi!”

“Iya, Dik. Kakak janji.”

Tak banyak yang mereka lakukan untuk melewati malam yang panjang. Adik-kakak tersebut telah lama meninggalkan televisi sebagai hiburan. Marsinah sedang membuat perencanaan keuangan di kamar. Sedangkan Badri sedang menggambar di kamarnya. Kalau sudah begitu, pertemuan mereka hanya berlangsung sesekali, saat kebetulan sedang berpapasan ke kamar mandi. Selanjutnya mereka akan tidur. Marsinah selalu berpesan kepada Badri untuk tidak tidur larut malam. Bukan tanpa sebab, suasana mistis sedang merundung kampung. Pukul sepuluh malam, terdengar denting suara yang berasal dari petugas ronda yang memukul-mukul tiang listrik. Suara itu sebagai isyarat agar penduduk kampung untuk lekas beristirahat.

Karena terlalu banyak minum air putih, Badri berkali-kali pergi ke kamar mandi. Lama-lama ia kesal, karena saat mengantuk harus beranjak untuk menuntaskan buang air kecil. Sudah lewat pukul dua belas malam, rutinitasnya ke kamar mandi tak berhenti. Badri menggerutu dan berjanji kepada dirinya sendiri bahwa kali ini menjadi langkah teakhirnya untuk ke kamar mandi. Dengan berjalan sempoyongan karena kantuk yang tak terbendung, Badri masih harus dibuat menunggu di depan pintu kamar mandi yang tertutup. Ia mengira kakaknya sedang buang air besar, karena sudah lima belas menit ia menunggu sambil jongkok di depan pintu.

“Kak, cepat keluar. Aku bisa mengompol nanti”, ucap Badri sambil merengek.

Tak ada sahutan apa pun dari dalam. Guyuran air yang tadi sering terdengar, mendadak hening. Badri sudah tak kuasa menahan buang air kecil, maka ia menggedor-gedor pintu. Karena terlalu keras, pintu yang semula tertutup rapat pun terbuka. Lampu kamar mandi menyala. Semerbak harum melati menyengat penciuman Badri. Pintu kamar mandi hanya terbuka sejengkal. Badri memanggil dan meminta maaf secara lirih kepada kakaknya. Lagi-lagi tak terdengar jawaban. Badri memukul-mukul kecil pintu hingga pelahan-lahan terbuka sepenuhnya. Tak ada siapa-siapa. Namun wangi melati masih melekat pada seisi ruangan. Tak banyak berpikir, Badri lekas menuntaskan hajatnya untuk buang air kecil. Sebelum keluar dari kamar mandi, ia mengguyur kepalanya hingga basah kuyup. Malam ini lebih gerah daripada biasanya.

Baca juga  Kota Ini Memberiku Kesedihan Terbaik

Badri pun ingin lekas menuju kamar tidurnya. Kalau ia tak segera tidur, bisa-bisa esuknya ia akan bangun kesiangan dan terlambat masuk kelas. Tentu hal itu akan mengecewakan orang tuanya yang telah susah-payah bekerja di perantauan demi anaknya agar bisa sekolah. Kamar tidur Badri bersebelahan dengan ruang keluarga. Sedangkan antara ruang tamu dengan ruang keluarga tak berpintu. Sebenarnya penerangan rumah hanya mengandalkan lampu di ruang keluarga. Sehingga sudut-sudut ruangan terlihat remang-remang. Baru saja Badri membuka pintu kamarnya, terdengar suara orang mengetuk pintu rumah. Ia tercekat. Lalu memandang ke arah jam dinding: pukul satu malam.

Tok..tok..tok….

Tok..tok..tok….

Tok..tok..tok….

Badri yang masih kaget, hanya berdiri terpaku, tangannya sedari tadi masih memegang gagang pintu kamarnya. Suara ketukan masih terdengar, semakin lama kian mengeras. Membuat Marsinah ikut terbangun dan keluar dari kamar.

“Lah kenapa dirimu ada di situ, Dik?” sambil mengusap-usap mata, Marsinah heran melihat adiknya yang berdiri di depan pintu kamarnya. Otot dan sendi di seluruh tubuh Badri seperti mati rasa.

“Kak, ada orang mengetuk pintu tengah malam,” suara Badri terbata-bata. Napasnya terengah-engah. Matanya melotot dan berkaca-kaca. Ia tak menyangka ketakutan yang selama ini dipendam, akhirnya terjadi.

“Aku buka ya. Siapa tahu ada warga yang ingin memberi kabar penting.”

“Jangan, Kak! Apa kamu tak tahu isu lampor akhir-akhir ini?”

“Halah. Kamu anak kecil, mau saja dibohongi.”

Tak menggubris larangan dari Badri, Marsinah berjalan menuju pintu depan. Badri mengikutinya dari belakang, sambil memegang erat piyama kakaknya. Alangkah kagetnya mereka, ternyata orang yang mengetuk pintu tengah malam, tak lain adalah bapak mereka sendiri.

“Ya Allah, Pak. Aku kira siapa malam-malam ada yang mengetuk pintu.”

“Iya. Ceritanya besuk saja ya.”

“Bapak pasti kecapekan ya? Aku buatin teh hangat ya,” Marsinah merasa iba melihat bapaknya yang terlihat pucat. Ia sadar, pasti ada masalah yang disembunyikan, hingga membuat bapaknya pulang lebih awal dari jadwal yang ditentukan.

Baca juga  Perang Obor

“Ini tehnya, Pak.”

“Makasih. Lain kali kopi hitam ya.”

“Maaf, Pak. Kopinya habis.”

Sejak kepulangan bapaknya hingga mereka bertiga bercakap-cakap di ruang tamu, Badri tak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Katanya ingin Bapak dan Ibu pulang cepat. Ini Bapak pulang malah diam saja,” ejek Marsinah.

Badri tetap diam menunduk.

“Kalian tidur saja dulu. Bapak mau di sini sebentar.”

“Bapak juga lekas tidur ya. Kan sudah menempuh perjalanan lintas pulau, pasti capek banget,” sahut Marsinah, lalu beranjak dari ruang tamu dan mengantarkan Badri ke kamarnya. Tangan Badri masih menggenggam erat piyama Marsinah.

“Kamu kenapa?” Marsinah memutuskan untuk duduk di tempat tidur adiknya.

“Kak, itu bukan Bapak.”

“Husssttt … Kamu tak boleh berkata seperti itu. Baru juga Bapak pergi dua bulan, bisa-bisanya kamu lupa wajahnya. Sudah kelas lima juga, masih saja jadi penakut.”

“Kakak ingin tahu, kenapa dari tadi aku selalu menunduk?”

“Kamu kan penakut.”

“Bukan. Tapi orang yang kakak kira Bapak tadi, sebenarnya orang dengan wajah menyeramkan. Tubuhnya diikat kain kafan yang penuh dengan bercak darah. Baunya anyir. Matanya merah menyala, Kak,” kata Badri lalu menarik selimut untuk menutupi seluruh badannya. Marsinah lalu mengelus-elus kepala adiknya.

“Tidak mungkin, Dik. Mungkin kamu terlalu mempercayai mitos yang sedang digosipkan warga akhir-akhir ini. Toh kalau memang ada, kan tinggal berdoa, seperti yang diajarkan guru agamamu di sekolah,” sahut Marsinah mencoba menenangkan adiknya.

Tubuh Badri gemetar. Siut angin memasuki kamar Badri. Di tengah percakapan kakak-beradik tersebut, ternyata bapaknya sudah berdiri di depan pintu kamar Badri, mengamati mereka berdua yang sedang berbicara lirih. Marsinah memberikan isyarat agar bapaknya tidak masuk ke kamar terlebih dahulu.

Dalam suasana hening tersebut, tiba-tiba bapaknya berkata.

“Kalian sudah tahu ya? Hahahahahahahahaha……” ***

HidarAmaruddin, lahir di Kudus, 16 Desember 1995. Buku kumpulan cerpen pertama dosen FIP UNU Yogyakarta ini berjudul Hujan di Kota Lolippo (2020). Karyanya pernah dimuat di Suara Merdeka tiga tahun lalu.

Loading

Average rating 4.1 / 5. Vote count: 9

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!