Cerpen Ahmad Ijazi H (Republika, 18 Oktober 2015)
Jika kulempar sebuah pertanyaan padamu: Tokyo dan Edo? Adakah benang merahnya? Tokyo adalah ibu kota Nippon, Jepang. Sementara Edo, itu namaku—Edo Suherman, seorang mahasiswa bahasa dan sastra Jepang di salah satu universitas negeri ternama di Indonesia.
“Edo dan Tokyo itu sebenarnya sama. Dulunya, Tokyo itu adalah desa perikanan kecil yang diberi nama Edo. Dan menurutku, kau beruntung sekali memiliki nama itu.
Bersyukurlah!” kata Profesor Tokugawa saat pertama kali kami dipertemukan oleh Aizawa, wanita blasteran Indonesia-Jepang yang bekerja di Kedutaan Indonesia di Tokyo.
Angin sungguh mengusik, juga gerimis tipis yang bagai digerai dari mulut langit.
Dingin tetapi hening. Saat kubuka daun jendela minka—rumah tradisional Jepang kuno ini, nuansa sentimentil menggulma. Jejeran buku hampir melekat di setiap sisi biliknya. Sangat mirip sebuah perpustakaan. Tetapi tidak. Ini adalah “istana” Profesor Tokugawa, yang terpaksa menjadi pensiunan di usianya yang ke-52.
Padahal, dulu, untuk mencapai gelar itu, medan yang ia tempuh sungguh tak mudah.
Konon, sebagai seorang ilmuan arkeologi sekaligus kritikus di dunia perpolitikan dengan tingkat ambisius tak terkendali, ia memang tak pernah tabu menggunakan bahasa yang dianggap terlarang dalam mengungkap sebuah kasus, atau borok yang membelatungi kinerja aparatur di negaranya. Dan akhirnya, begitulah. Ia terempas saat usianya belum lagi renta.
“Kau orang Indonesia asli, bukan?” tebaknya saat pertama kali aku mengunjungi kediamannya di Shibuya <http:id.wikipedia.org/wiki/Shibuya>.
Aku mengangguk. Bagaimana dia tahu?
Katanya, logat negaraku masih sangat terasa saat aku berbahasa Jepang.
Sepertinya, dia memang selalu mencermati setiap pengunjung yang datang, lalu menyalin di memori otaknya, segala kebiasaan-kebiasaan unik tamunya yang berasal dari ratusan negara itu.
“Kau barusan makan sushi <http:id.wikipedia.org/wiki/Sushi>?”
Hei, aku memang mengunjungi restoran sushi yang letaknya tak jauh dari kediamannya ini. Tetapi, itu dua jam yang lalu. Masihkah ada aroma yang menempel di mulutku?
Aku saja yang menyantapnya tak mencium apa pun lagi, selain wangi lavender yang digunakan sebagai pengharum ruangan ini.
“Penciumanku memang tajam. Tetapi, tentu masih jauh jika dibanding polar bear
yang mampu membaui bangkai paus berjarak lebih dari 30 ribu meter.”
Aku tersenyum, membeo polar bear setelah ia mengucapkannya, sekali lagi. Dan detik itu juga, kuputuskan untuk menjulukinya polar bear. Lucu juga.
Gerimis di luar jendela semakin kisruh. Dan angin merontokkan daun-daun sakura.
Tanah basah disemai warna cerah, seperti karpet merah. Pemandangan itu membuatku sesaat tertegun sehingga kehadiran gadis kecil di antara kami seperti simsalabim, datang tiba-tiba bagai malaikat pencabut nyawa.
“Namanya Aiko.” Saat Profesor Tokugawa mengucapkannya, ingatanku langsung melayang pada sosok salah seorang chef asal Indonesia—chef Aiko.
“Usianya baru 8 tahun. Tetapi kecerdasan otaknya sungguh di atas rata-rata. Coba kau tanya sesuatu yang menurutmu cukup sulit padanya.”
“Aku boleh bertanya apa saja?”
Profesor Tokugawa mengangguk. “Apa pun, yang menurutmu sulit.”
Yang menurutmu sulit, aku membeo. Baiklah.
Aku memandang wajah polos gadis kecil di hadapanku. Sinar di bola matanya begitu teduh, tak sama kisruh gerimis di luar sana yang semakin gaduh mengetuk jendela kaca.
Tatapannya begitu menenangkan. “Kapan Thomas Alva Edison dilahirkan?” tanyaku.
“Thomas Alva Edison dilahirkan di Milan, Ohio, Amerika Serikat, 11 Februari 1847.” Ia menjawab dengan begitu lancar.
“Nama istrinya?”
“Maria Stilwell.”
“Tahun berapa mereka menikah?”
“1876.”
“Thomas Alva Edison meninggal dunia?”
“Tahun 1931.”
Aku melongo, sungguh. Gadis kecil ini seperti robot yang telah diinstalkan chip untuk merekam segalanya di otaknya.
Profesor Tokugawa mengeluarkan beberapa buku kecil dari saku baju gadis kecil itu. “Ini adalah smart dictionary yang dilengkapi gambar-gambar berwarna—yang karena size-nya mungil, bisa dengan sangat mudah dibawa ke mana-mana, Jelasnya sembari membetulkan posisi kacamatanya yang melorot. Menurutnya lagi, Aiko sudah berhasil menghafal lebih dari 100 kamus pintar yang berbeda dalam waktu kurang dari tiga tahun.
Duh, merinding bulu kudukku mendengarnya! Tadinya aku sangsi, tetapi akhirnya aku memahaminya. Budaya baca. Ya, budaya baca yang sangat membudaya di Jepang membuatnya menjadi sangat rasional.
Hujan tak lagi rusuh. Jendela kaca di terangi cahaya matahari merah. Waktu lalu dikebiri petang yang jelang. Senja menghampiri dengan gelap yang dibenderangi cahaya lampion beranda rumah. Suasana romantis kemudian menggulma.
Sayup-sayup kudengar kumandang azan dari salah satu bilik. Azan? Benarkah itu?
Apakah aku tidak salah dengar?
“Kau Muslim, bukan? Bilik yang paling depan itu mushala. Kau bisa melaksanakan shalat Maghrib di sana.” Profesor Tokugawa menjawab keherananku. Aku lalu mengekor di belakangnya menuju bilik yang ia maksud. Tampak dua orang lelaki berbeda usia; mengenakan baju koko dan kopiah putih, serta celana panjang di atas mata kaki.
“Kenalkan, ini Yusuf dan adiknya, Ilyas.” Profesor Tokugawa memperkenalkan.
Aku menyalami keduanya. “Edo,” ucapku, menarik senyum, seramah mungkin.
“Akibat bencana tsunami yang melanda Jepang beberapa waktu lalu, banyak anak- anak yang kehilangan orang tuanya, termasuk mereka berdua. Tanpa membeda-bedakan latar belakangnya, aku akhirnya memutuskan menjadikan minka ini sebagai panti asuhan untuk menampung mereka semua di sini.”
Mulia sekali! Desisku haru. Saat kami melaksanakan shalat, Profesor Tokugawa duduk di belakang memperhatikan kami. Katanya, ia sangat senang mendengar Yusuf membaca ayat suci saat mengimami adiknya. Suaranya mengalun indah dan menenangkan.
“Yusuf dan Ilyas ini juga anak cerdas yang sangat menggemari pelajaran matematika. Mereka punya metode hitung cepat ala Mesir kuno yang mereka pelajari dari almarhum ayah mereka yang seorang guru matematika. Aku sendiri mempelajari metode itu dari mereka, dan sunggguh sangat menakjubkan!
“Sepertinya aku harus membuktikannya,” tukasku, penasaran.
“Tentu. Coba kau beri mereka soal matematika yang sulit.”
Aku memandang Ilyas gemas. Anak kecil itu menatapku dengan tatapan polos, tetapi sangat menantang. “277 dikali 399 ditambah 655 dikurang 1.200 dibagi 18?” tanyaku, sembari menekan angka-angka di layar handphone-ku.
“Seratus sebelas ribu seratus sebelas, koma tiga tiga tiga…,” Ilyas menjawab bahkan sebelum aku memencet tanda sama dengan. Dan hasilnya, sungguh sangat tepat! Aku lalu beralih memandang Yusuf, kakaknya. Hanya memandang. Karena, aku sungguh ngeri membayangkan kecerdasan otaknya itu.
“Aku bukan disuruh untuk mengajar anak-anak secerdas mereka, bukan?” tanyaku, tampak bodoh sekali.
Profesor Tokugawa tersenyum, lalu menyodorkan sebuah buku kepadaku. “Selama dua bulan masa PPL-mu, kau cukup menerjemahkan buku ini saja. Ke dalam bahasa Jepang tentunya.”
Aku menerima buku itu. Judulnya, Saiban karya Oka Rusmini, yang memenangi Khatulistiwa Literary Award Indonesia pada 2014.
Dan, sejak hari itu, waktuku pun tersita untuk menerjemahkan buku puisi tipis itu.
Membosankan, sungguh. Tetapi, suasana minka ini tetap menyuguhkan surga.
Sampai di suatu malam yang dingin. Sayup-sayup telingaku mendengar isak tangis Profesor Tokugawa di dalam kamarnya yang remang. Dari celah shoji yang terkuak, bola mataku mendapati ia sedang memandang lekat dua buah bingkai foto dengan mata sembab. Tanpa diminta, aku menghampirinya.
“Malam ini, entah mengapa, kerinduanku begitu menggebu-gebu pada mereka.” Profesor Tokugawa lalu menjelaskan bahwa foto yang sedang ia pandangi itu adalah foto anak dan istrinya yang meninggal dunia akibat bencana tsunami beberapa tahun lalu.
“Dulu, setelah mereka tiada, aku hampir saja kehilangan semangat hidup. Tetapi kemudian, 15 anak yatim-piatu itu hadir dalam kehidupanku. Mereka hadir bagai malaikat- malaikat yang menumbuhkan semangat baru bagiku. Sungguh, aku tak akan pernah rela jika harus kehilangan kebahagiaan bersama mereka. Demi anak dan istriku di surga, aku bersumpah, aku tak akan pernah rela!”
Aku sungguh merinding mendengar kata-kata Profesor Tokugawa itu. Ada apa ini? Perasaan heran dan bingung melebur menjadi satu dalam benakku. Apalagi, saat ia tiba-tiba memelukku, tergugu, terisak-isak. Sungguh begitu iba.
Hingga esoknya, aku mendapati kamar Profesor Tokugawa kosong. Seluruh anak panti tak ada yang tahu ke mana rimbanya. Profesor Tokugawa benar-benar hilang.
Lenyap, bagai ada yang menenggelamkannya ke dalam perut bumi.
“Sesungguhnya, memang sudah sejak lama minka kuno ini menjadi sengketa, tersebab keberadaannya yang berada di tengah-tengah kota. Bangunannya yang lusuh dan tua dianggap merusak keindahan kota. Telah tiga kali surat peringatan eksekusi bangunan ini dikirim kemari, tetapi Profesor Tokugawa tak pernah memedulikannya. Pun 50 juta yen uang ganti rugi yang telah dibayarkan padanya, tak pernah ia sentuh.” Jelas Yusuf dua hari kemudian. Ia tampak dewasa meski usianya masih begitu belia, belum lagi genap 16 tahun. Malam ini, ia dan seluruh anak-anak yang lain akan dipindahkan ke panti asuhan yang baru.
Malam runtuh ke Subuh, lalu gerimis menyirami pagi. Sejumlah alat-alat berat berdatangan tanpa diundang, dan dengan gerakan seperti tangan-tangan monster merobohkan seluruh bangunan minka tua itu. Anak-anak panti berpelukan, menyaksikan segala kenangan mereka di situ dikubur dengan begitu luka.
Tanpa disangka-sangka, di balik reruntuhan bangunan itu, sosok Profesor Tokugawa yang beberapa hari ini sempat menghilang, ditemukan dalam sebuah bilik rahasia berdinding washitsu paling belakang. Keadaannya sungguh sangat memprihatinkan. Meski tubuhnya telah kaku, senyumnya tergambar dengan cukup jelas. Jasadnya didapati bersimpuh di antara kedua pusara anak dan istrinya yang ditaburi bunga sakura. (*)
Indonesia-Tokyo, 2015
Catatan:
Polar bear : beruang kutub
Nippon : nama lain Jepang
Minka : rumah tradisional Jepang
Sushi : makanan khas orang Jepang
Shoji : dinding penyekat yang bisa digeser dan bisa ditembus cahaya
Yen : mata uang Jepang
Washitsu : sama dengan shoji tetapi kedap cahaya
Ahmad Ijazi H, kelahiran Rengat Riau, 25 Agustus. Pernah menjadi pemenang 2 LMCR nasional PT Rohto Laboratories-Rayakultura 2009, nominator lomba menulis cerpen Kemenpora 2011, 10 besar menulis puisi Tulis Nusantara Kemenparekraf 2013, juara 1 lomba cerpen Festival Sastra UGM 2013, juara 1 lomba cerpen GBSI UPI 2014, dll. Saat ini menetap di Pekanbaru.
Leave a Reply