Cerpen, Kompas, Raudal Tanjung Banua

Toko Wong

4.2
(6)

Cerpen Raudal Tanjung Banua (Kompas, 03 Oktober 2021)

BANGUNAN itu masih tegak seperti sejak pertama aku melihatnya. Tugur di seruas jalan kota kabupaten ujung pulau. Ia tak hendak menyurukkan wajah buramnya. Jalan itu sendiri terkesan ditinggalkan dari yang semula jadi pusat geliat kota, kini ibarat sungai di sebelahnya: pudar—bersama pudarnya cerita tentang buaya-buaya yang menggelepar.

Hanya saja usia tak bisa ditipu. Retak dinding mencuatkan tembok seperti tulang belikat di dada penyakitan. Lumut, jamur, dan pakis tumbuh di bekas rembesan air hujan, lembab sepanjang musim persis bekas luka tak kunjung mengering. Ada 10 rumah toko semacam itu, ukuran rata-rata sama, sekitar 7 meter x 8 meter dan tinggi 8-9 meter. Masing-masing berdiri terpisah sehingga ada sedikit ruang kosong di kiri-kanannya.

Gaya bangunan hampir sama. Berlantai dua, pagar kayu di serambi atas—seperti serambi rumah panggung—dan bersama pintu dan jendela semua dicat dengan tegas; merah, biru, coklat, dan hijau tua. Meski pemiliknya berbeda, seleranya hampir sama sebab mereka adalah orang-orang Tionghoa entah generasi keberapa.

Nama beberapa toko masih tertulis di plang yang miring, di antaranya terbaca: Toko Ibu, Toko Obat Segar Waras, Toko Klontong Hong Djien, Toko Busana Luna, dan Toko Wong. Sebagian tidak bernama atau tak lagi menyisakan papan nama. Namun masih ditempati dan ada aktivitas kehidupan, termasuk menjalani fungsi sebagai toko umumnya, tentu tak seramai masa jaya.

Ada bangunan beralih jadi bengkel sepeda motor dan onderdil, toko sepeda dan mainan anak, dan sebuah kafe yang menawarkan kopi robusta spesial dan roti kenari. Jika pun tak berjualan, bangunan masih terlihat rutin dikunjungi oleh pemilik atau keluarga pemilik yang entah sudah tinggal di bagian mana pulau ini. Atau mungkin penunggu yang dibayar untuk sekadar tugas pemeliharaan. Tak terbuka kemungkinan disewakan atau berpindah kepemilikan. Sebab setidaknya ada dua toko menerakan nama khas warga setempat: Toko Pancing Ahmad Mu’at dan Laundry Komang Kulik.

Hanya satu toko yang tetap seperti dulu: pintu dan jendelanya tutup abadi. Tiada kesan pernah disentuh sejak tutup lebih 50 tahun lalu. Debu dan sawang, cat mengelupas, rembesan air hujan dibakar sinar matahari, mencipta gambar-peta acakadut pada dinding; genteng pecah, risplang atap miring dan terkulai, semua dibiarkan tak disentuh tangan.

Namun dalam nasib merana, namanya masih terbaca sebab diterakan langsung secara timbul di dinding depan atas pintu: Toko Wong. Tak jelas dulu berjualan apa, dan tak tahu kenapa jatuh sebagai titik kegelapan kota. Bagaimanapun nama Wong mengingatkanku pada makna orang atau manusia. Nama dan makna yang tetap bertahan meski di sekitarnya hancur pelan-pelan.

***

AKU bukan kelahiran kota kecil ujung pulau ini, hanya ibu anak-anakku berasal dari sini sehingga mau tidak mau kepulanganku juga menapak kota ini. Setiap pulang dari tempat di mana kami tinggal menetap—di kota lain pulau—aku akan menjumpai Toko Wong dalam kondisi tak berubah. Apa pun warna langit di atasnya.

Baca juga  Suara-Suara

Aku suka keliling kota tiap kali ikut pulang, menyusuri kawasan di sepanjang kedua sisi sungai yang sudah menjadi kota tua itu. Bangunan Tionghoa yang tadi disebutkan menyerupai semacam pecinaan kecil bagiku. Di seberangnya terdapat kampung diaspora dengan rumah-rumah kayu bertiang tinggi, rumah panggung—meski jumlahnya kian susut, berganti rumah beton. Sebuah masjid tua bermenara serupa mercu, mencuat dari rimbunan bambu. Menara itu selalu mendentangkan bandul jam—pun di jam larut—membuat suara khas di udara. Dan tentu suara azan tiap masuk lima-waktu. Ke luar dari situ, kita akan bertemu rumah-rumah dengan sanggah, asap dupa dan bunga-bunga jepun di halaman. Juga pura besar dengan kidung dan mantra; terus ke utara ada gereja dan wihara, dan begitulah kota kecil itu tumbuh dengan segala keragamannya.

Jika tidak bersepeda, aku jalan kaki, dan sesekali naik dokar sebagai bentuk klangenan pada angkutan tradisional yang makin langka di kota ini. Selain melewati “pecinaan mini”, aku lewat di depan Puri Raja—yang keturunannya, seorang gubernur bersahaja, hilang diculik dalam huru-hara ‘65. Tapi, kata kusir dokar, Puri itu masih dijaga, dan aku melihatnya di antara sulur beringin rimbun menjulur seperti sulur-sulur sejarah, kusut tak terbaca.

Tetap saja yang tegak tak berjaga itu adalah Toko Wong. Sunyi-sepi, sendiri.

Banyak cerita beredar tentang Toko Wong sehubungan huru-hara politik ‘65. Di sanalah dulu tempat pembantaian orang-orang yang dianggap anggota partai terlarang. Ada yang bilang semua dilakukan menggunakan pistol sebab ada banyak selongsong peluru ditemukan serta bekas lobang di dinding. Tapi lebih banyak lagi menggunakan senjata tajam atau kombinasi keduanya. Konon pada masa itu, di dalam bangunan itu darah menggenang semata kaki membuat algojonya terpaksa harus memakai sepatu bot.

Untuk berapa lama di teras samping terdapat berpasang-pasang sepatu bot bekas pakai, bercampur dengan sepatu tentara yang sengaja ditinggalkan; sebagian dirobek-robek anjing dan diseret di jalanan, sebagian hancur bersama cuaca dan waktu. Tapi sebagian masih menumpuk di situ meski tak jelas lagi pasangannya. Tak tertutup pula kemungkinan sebagian sepatu itu adalah juga milik korban sebab banyak di antara mereka kaum bersepatu, jika tidak anggota polisi atau militer—yang dituduh berkhianat—sebagian buruh pabrik atau pemecah es batangan, atau milik peladang perambah lalang. Entahlah.

Karena yang dibantarkan ke sana bukan hitungan jari, namun berpuluh-puluh jika bukan ratusan orang, maka tak cukup satu-dua algojo. Ada yang bilang algojonya delapan, ada yang bilang setengah lusin. Tapi ada juga mengatakan hanya tiga orang, itu pun hanya seorang yang benar-benar mengayun pedang dan dua lagi hanya membantu—saking kuatnya sang algojo itu. Bisa jadi. Namun mendengar cerita sepatu bot yang tertinggal berpasang-pasang, jelas mereka berkelompok, persetan berapa orang mengayun pedang dan berapa orang bertugas lain-lain. Mengikat tangan, menutup mata, atau menyeret korban kembali ke pintu untuk dijemput lagi oleh truk-truk menderu, sambil menurunkan calon korban yang baru. Tahun ‘70-an pernah dilakukan penggalian empat sumur di halaman belakang. Tiga sumur berisi kerangka jenazah. Hanya satu sumur yang tidak, mungkin karena airnya digunakan untuk mencuci tangan yang berlumuran darah.

Baca juga  Sepak Cinta, Gila Bola

Masih menurut cerita yang kudengar, semula kota kecil ini relatif tenang. Namun provokasi dimulai dari sebuah kampung di selatan. Seorang polisi pendukung partai tertentu mengadakan rapat darurat dengan warga. Mungkin antisipasi hal tak diinginkan pasca-pecahnya huru-hara di Ibu Kota yang menelan korban sembilan jenderal—belum pernah terjadi di dunia ada jenderal gugur sekaligus sebanyak itu. Sedang seorang jenderal Sekutu saja yang tewas di Surabaya langsung membuat pasukan itu gelap mata, membabi buta. Nah, rapat darurat merasa terganggu atas kehadiran sejumlah orang tak diundang. Mereka ingin memata-matai atau berhasrat membubarkan pertemuan. Si polisi melepas tembakan. Dua sipil dan seorang tentara tewas dan segera memicu serangan balasan.

Serangan itu membabat habis penghuni kampung, dan aku mengingatnya dari sebuah pameran seni rupa di kota tempatku tinggal. Waktu itu sekelompok perupa muda berpameran “(Me-) Masak & Sejarah”; mereka geletakkan singkong besar-besar dalam galeri dan diklaim digali dari tanah bekas kuburan massal di kampung ujung pulau tersebut. Tak ada warga yang mau makan umbian getas itu, kecuali mengambil pucuknya buat sayuran, tulis kurator di katalog.

Penduduk kampung yang umumnya anggota partai kiri-merah itulah yang sebagian diangkut ke kota, ke Toko Wong, terutama dedengkotnya. Itu bersamaan dengan kedatangan rombongan tentara dari pulau seberang. Mereka telah mendekati para milisi rakyat, di antaranya organisasi pemuda dan keagamaan. Cukup mudah menggerakkan mereka yang selama ini memang sudah muntap oleh dendam. Masing-masing punya jago yang paling depan, dan oleh militer, segera “diangkat” jadi algojo.  (Kelak banyak mengaku dipaksa menghabisi saudara sendiri). Para algojo ini ditempatkan di titik yang tersebar di kota dan kampung, dan terbesar tetap saja Toko Wong!

***

DALAM suatu kesempatan pulang, pada suatu pagi, aku mendorong kereta bayi membawa anakku yang belum genap dua tahun berjalan keliling kota. Dimulai dari kawasan timur sungai yang dimasa lalu merupakan tempat orang-orang mengaji, dengan makam-makam keramat para aulia yang tak putus diziarahi hingga kini, aku lalu menyeberangi jembatan yang dinamai panglima perang Bugis, menuju ke barat.

Kawasan barat sungai sejak dulu diplot sebagai pusat perniagaan, dekat bekas pelabuhan yang dihidupi para diaspora Bugis, Makassar, Banjar, Pontianak bahkan Trengganu. Mereka mendapat kompensasi tanah dari raja di kedua sisi sungai. Tentu atas hubungan baik mereka sebagai pasukan perang yang mengamankan puri dari musuh. Maklum mereka bukan sekadar pelaut atau pedagang, tapi banyak dari kalangan bangsawan yang menolak kolonial.

Datuk istriku tahu banyak sejarah kota ini karena leluhurnya ikut sejak awal membangun kota bersama keluarga Puri dan Raja. Termasuk peristiwa ’65 yang bagai limbubu menyapu kota. Itu bahkan ia alami sendiri. Sayang ia meninggal sepuluh tahun lalu—jauh sebelum aku menyadari betapa penting cerita dan kesaksiannya. Terlambat. Tapi aku ingat hari kematiannya. Hari ia diantar sanak-kerabat dan orang seisi kota. Begitu panjang barisan takziyah, keranda sudah sampai di kompleks makam sejauh 3 kilometer dari rumah duka, ujung para pelayat masih ada di halaman rumah almarhum.

Baca juga  Tempoyak Pedas untuk Dewa Dapur

Datuk dikenal sebagai dermawan. Adalah biasa pengurus masjid mengarahkan orang yang menginap di masjid ke rumah Datuk. Pedagang keliling biasa menumpang tinggal sehari-dua. Lazim orang telantar di jalan disarankan oleh tetangga ke rumah panggungnya untuk diurus kemudian.

Karena itu tak heran, banyak pula orang datang setelah beberapa minggu Datuk dimakamkan. Mereka rombongan dari kampung-kampung luar kota, atau istilah setempat “orang kebon” dan sebagian datang dari kampung muara dan pantai. Mereka menyatakan rasa turut berdukacita. Lebih dari itu, menyampaikan terima kasih terakhir sebab pada masa lalu Datuk menyelamatkan mereka dari perburuan para milisi. Itu dimungkinkan karena selain sebagai tokoh masyarakat, Datuk dikenal juga jago silat. Datuk bahkan pernah ikut berburu buaya yang memangsa korban di tepian sungai.

Aku berhenti agak serong di depan Toko Wong. Posisi itu membuatku dapat melihat bagian belakangnya yang berpagar tinggi. Tampak daun pisang compang-camping dicakar angin santer, entah siapa penanamnya tapi pasti codot dan burung liar yang berpesta memanennya. Sesuatu yang menekan-mendesak dalam diri, membuatku kali ini memutuskan mendekat ke belakang. Dari pintu berlubang, kulihat sepasang sepatu bot menganga ke langit terbuka.

Aku bergidik ngeri: terbayang mulut buaya yang dulu banyak terdapat di sungai membelah kota. Terakhir dimusnahkan secara besar-besaran oleh para pawang bersenjata sebab makin sering memangsa korban di tepian. Singup. Ah, itu caraku mengalihkan rasa takut sebenarnya! Sebab jelas aku lebih ngeri lagi membayangkan tangan pemilik sepatu itu mengayun pedang. Sehingga, seperti cerita buaya menggelepar dengan darah memerahkan air sungai, begitu pula kubayangkan cairan kental menggenangi lantai.

Angin pagi berembus dari laut. Tiba-tiba aku menggigil. Aneh, aku teringat sepatu yang mirip, tergeletak di sudut kamar Datuk. Sebilah kelewang masih tergantung di dinding. Belum sempat aku berpikir lanjut, anakku mulai menangis. Kudorong kereta bayi di jalan yang seolah beku dalam dingin pagi. Kutinggalkan wajah buram Toko Wong. ****

.

.

/Kota Ujung Pulau, April-September 2021

Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, 19 Januari 1975. Buku cerpen terbarunya, Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan.

Sugijo Dwiarso lahir di Magelang, 19 Mei 1968. Setidaknya sudah 16 kali dia ikut pameran seni rupa sejak 2003. Beberapa di antaranya Passion: Etno-Identity, Yayasan Seni Rupa Indonesia, Beijing & Shanghai, China (2003); Allgorical Bodies, A Art Space, Taipei, Taiwan (2008); dan Yogya Annual Art #5: Hybridity, Sangkring Art Space, Yogyakarta, Indonesia (2020).

.
.

Loading

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. David Rawson

    Cerita pendek Raudul Tanjung Banua berjudul “Toko Wong” yang diterbitkan berdekatan dengan peristiwa G30S menghadapkan si pembaca dengan masalah pengetahuan sejarah yang sangat kurang lengkap dan masih tertutup. Toko Wong menjadi simbol kesunyian dan kelam tentang sejarah pembantaian massal itu. Toko itu suatu bangungan yang dulu dipakai sebagai tempat eksekusi untuk anggota ‘partai terlarang’. Bangunan ini masih memuat banyak rahasia yang belum terbongkar seperti siapa algojo dan berapa orang yang dibunuh serta identitas pelaku dan korbannya. Disebut juga ada beberapa tempat lain yang juga dipakai sebagai tempat eksekusi di kota kecil yang sama tetapi belum diselidiki. Bangunan Toko Wong sendiri bagian dari sederetan sepuluh rumah toko yang disebut ‘pecinanan mini’ namun muncul misteri pertama, di mana pemilik Tionghoa sekarang sepertinya menjadi orang yang hilang juga. Si Narator selain menceritakan pengamatan diri sendiri juga memakai sumber pengetahuan lokal tentang misalnya, jumlah algojo namun para sumber ini tidak sependapat, jumlahnya tidak bisa dipastikan. Jumlah korban dan identitasnya juga tidak bisa dipastikan. Si Narator melihat tumpukan sepatu korban dan algojo di veranda gedung itu. Dia mengira sepatu korban adalah milik rakyat kecil saja seperti buruh pabrik. Bentuk sepatu tentara berbeda dari sepatu rakyat kecil. Dibayangkannya ada satu algojo (tersurat orang dari ormas keagaamaan dan pemuda) yang bekerja dengan dua tentara. Dua tentara memegang korban sambil algojo memenggal kepala korbannya dengan sebilah pedang. Si narator juga mendapat informasi bahwa empat sumur di pelataran belakang pernah digali dan terdapat banyak kerangka yang menegaskan rumah ini dipakai sebagai tempat eksekusi. Memang kejadian ini mirip dengan peristiwa mayat para jenderal yang dibuang di sebuah sumur. Tersurat oleh narator, aksi pembantaian massal itu didorong oleh kemarahan tentara yang berlimpah-limpah. Di keluarga si Narator sendiri disebut ada datuk isterinya yang menjadi saksi sejarah namun dinilai oleh rakyat kecil dia justru pelindungnya terhadap ancaman dari para milisi. Rakyat kecil ini lebih dulu mencari suaka di masjid tetapi justru dikeluarkan dan dikirim kepada si datuk itu. Namun sepertinya Narator menjadi ragu ragu tentang kebenaran cerita peran si datuk karena dia memiliki sepatu yang mirip dengan sepatu yang terdapat di Toko Wong dan lagipula memiliki kelawar. Namun si Narator tak bisa bertanya pada si Datuk karena dia sudah meninggal dunia.

    • Hery

      Saya kira ini cerita fiksi yang terasa nyata, ternyata ini benar benar kisah nyata? Membahas peristiwa 65, begitu banyak nyawa melayang di seluruh Indonesia, berdasarkan cerita orang tua, banyak para anggota partai terlarang Tewas dan dibuang di sebuah sungai, menariknya ada yang selamat dan tinggal di perkampungan, menghapus jejak

Leave a Reply

error: Content is protected !!