Cerpen, Ilma, Singgalang

Sengsara Membawa Petaka

Sengsara Membawa Petaka - Cerpen Ilma

Sengsara Membawa Petaka ilustrasi Singgalang

0
(0)

Cerpen Ilma (Singgalang, 03 Oktober 2021)

KALA matahari berangsur tenggelam, kupandangi langit yang kian kelabu. Cahaya remang-remang mulai menghiasi malam seakan menghantui pikiran. Entah kenapa banyak teka-teki yang bermunculan. Jawaban abstrak kemudian menggelantung tersembunyi.

Waktu tidak terasa berlalu dengan cepat, padahal banyak mimpi yang belum terwujud. Seorang laki-laki tengah duduk di sebuah kursi kayu tua. Dengan santainya, dia menyeruput secangkir kopi, ditemani ubi kayu rebus yang masih panas. Sesekali ia menghela napas panjang, sambil memandangi jam yang menggantung di dinding. “Hai mpus, sore ini berlalu seperti biasa, tidak ada yang spesial.” Dia berbicara dengan seekor kucing yang dipanggil dengan sebutan mpus.

Matanya terlihat lelah, pandangannya kosong meratapi daun-daun yang berguguran di luar jendela. Entah ia sadar atau tidak, ia telah menghabiskan sepanjang waktu di kursi tua tersebut. Tidak melakukan kegiatan sejak pagi buta sampai matahari tenggelam di ufuk barat.

Kenangan kelam di masa lalu kian terlintas dalam benaknya. Kala itu, dia masih berumur tujuh tahun. “Nak, tolong bantu ibu mengolah ladang,” ujar seorang ibu paruh baya pada anaknya.

Dia memiliki seorang suami, lima orang anak, dan mereka sekeluarga tinggal di sebuah gubuk yang terletak di atas bukit. Pemandangan berupa danau terhampar dengan indah kala memandang dari atas bukit tersebut. Keheningan malam selalu membuat suasana damai. Namun, beberapa anak laki-laki dari keluarga tersebut, tampak lelah dengan beban yang ia pikul saat mengolah ladang.

“Dik, sebentar lagi kita akan makan, bersabarlah sedikit lagi.” Anak laki-laki itu berkata kepada adiknya yang tengah ia gendong. Keringat bercucuran dari kepala hingga kakinya, membasahi baju yang baru sekali pakai. Matahari sangat terik siang itu, ia harus menanam tanaman cengkeh di ladang milik keluarganya. Dari pagi hingga petang, keluarga tersebut menghabiskan waktu di ladang, mereka membagi tugas untuk mengelola tiap ladang yang ada.

“Tuhan mengapa begitu sulit sekali hari-hari yang kulalui, tidak ada secercah cahaya kebenaran yang menghampiri. Setiap hari aku sibuk di ladang, padahal anak seusiaku biasanya pergi bermain kelereng di lapangan. Mengapa uang menjadi sumber masalah?” Ia berteriak memandangi langit, padahal cita-citanya sangat indah, yaitu bermain bersama teman sebayanya di lapangan.

Baca juga  Maling Juga Manusia

Pada saat itu, kehidupan manusia memang sulit, mereka yang tinggal di perbukitan, harus menuruni lembah untuk mendapatkan akses air bersih. Pemerintah sibuk dengan reformasi, namun tidak mempedulikan nasib rakyatnya. Mereka berlomba-lomba memperkaya keluarganya, berbagai media pun dibungkam agar tidak mengekspos keburukan rezim saat itu.

“Nak, kamu harus menjadi anak yang berbakti kepada keluarga, kamu satu-satunya anak laki-laki pertama keluarga kita yang akan menuntut ilmu di sekolah,” perkataan lembut seorang ibu selalu membius pikiran anaknya.

“Ibu kenapa adik laki-lakiku yang lain tidak pergi sekolah?” Pertanyaan itu selalu menjadi teka-teki dalam benaknya, ia merupakan anak sulung, ia memiliki satu orang adik laki-laki, dan tiga orang adik perempuan.

“Biarkan mereka fokus bekerja di ladang, sepertinya, adik laki-lakimu menikmati pekerjaannya saat menggarap tanaman cengkeh. Untuk apa mereka sekolah, buang-buang uang saja. Tapi, apabila sudah besar adik perempuanmu akan ibu pertimbangkan perihal pendidikannya.” Ibu tersebut memberikan senyuman penuh arti kepada anak sulungnya.

Dari balik pintu, terlihat anak-anak kecil nan polos dengan raut wajah yang tertekan. Mereka tenggelam ke dalam kenangan masa depan yang semakin suram. Tidak ada gunanya mereka mendambakan masa depan yang cerah. Gubuk ini memenjarakan impian mereka untuk terbang tinggi, tidak ada yang dapat menolong.

“Mengapa ibu hanya memanjakan kakak laki-laki kita? Padahal kita selalu bekerja keras di ladang, dan membiayai kebutuhan ekonomi keluarga kita,” ujar seorang anak perempuan. Suaranya menunjukkan keputusasaan. Ia menghela napas panjang, dan berharap tidak pernah dilahirkan dalam keadaan seperti itu.

Pagi yang cerah kala itu, seorang anak laki-laki menatap langit kembali. Ia paling sabar di antara saudara lainnya. Ia selalu menggendong adik perempuannya yang paling bungsu. Saat menanami tumbuhan cengkeh, pikirannya melayang jauh. Angin sepoi-sepoi mengantarkan pikirannya ke tempat yang jauh, dan sangat indah. Terbayang sebuah impian dalam benaknya, ia memiliki sebuah rumah yang nyaman. Rumah tersebut membawa kebahagian baginya dan saudara lainnya. Mereka hidup berkecukupan, dan tidak lagi kelaparan seperti saat ini.

Lamunannya kemudian terhenti, saat adik perempuan lainnya membawakan makan siang. “Kakak, makan dulu,” sambil tersenyum adiknya memberikan sepiring nasi penuh dengan lauk yang banyak.

Baca juga  Bapak Rekonstruksi

“Kenapa kamu memberikan kakak makanan sebanyak ini? Nanti, ibu bisa marah karena makanan kita habis.” Ia memarahi adiknya sambil menyantap menu makan siangnya.

Hari ini pun seperti hari biasanya, tidak ada sesuatu yang istimewa terjadi. Adik bungsunya pulang dengan saudara perempuannya yang lain. Padahal mereka masih kecil-kecil, namun harus terbiasa dengan kemiskinan yang melanda hidup keluarga kami. Ibu yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anaknya, malah menjadikan kami sebagai budaknya, bahkan suami yang menjadi teman hidupnya, tidak pernah dihargai, dan diperlakukan layaknya seorang budak. Kami hanya menyaksikan ayah kelelahan, sebagai laki-laki dewasa, ia hanya memperlihatkan gairah dan keuletannya saat bekerja, padahal tulang-tulangnya sudah keropos oleh usia. Istrinya yang serakah tidak memperhatikan dia dan anak-anaknya. Uang menjadi teman yang berharga bagi istrinya.

Kehidupan kami semakin pilu saat mendengar kabar bahwa adik perempuan paling bungsu mengalami kecelakaan. Pagi menjelang siang, ia bermain dengan saudara perempuannya yang lain. Tidak seperti biasanya, hari ini mereka harus mengumpulkan kayu bakar. Dengan membawa sejumlah sabit, seorang kakak perempuan menggendong adiknya. Jalanan yang terjal, menyulitkan perjalanan mereka. Matahari kian terik, dan membakar kulit gadis-gadis cantik nan polos tersebut. Tanpa disengaja, sabit yang dibawa oleh kakak perempuan mengenai perut adiknya yang bungsu, alangkah terkejutnya sang kakak melihat bajunya bersimbah darah saat menggendong adiknya. Mereka berdua menangis melihat adiknya meringis kesakitan. Saat seorang petani lewat, mereka meminta tolong untuk membawa adiknya ke gubuk kecil mereka.

Entah mengapa cuaca siang ini begitu terik, tidak ada angin yang bertiup sejak pagi. Burung elang berkicau dengan lantang mencari mangsanya. Perutnya yang keroncongan menandai tiba waktunya untuk makan. Melihat pemandangan binatang karnivora tersebut di langit, membuatnya gusar, karena ayam-ayamnya tengah berkeliaran di luar kandang demi mencari makanan. Pandangannya teralihkan oleh petani yang tengah lewat, “Hai, adik bungsumu tengah sekarat karena terkena sabit, segeralah pulang.”

Setengah tidak percaya dengan ucapan petani tersebut, namun ia sadar bahwa dari tadi ketiga adiknya belum saja sampai ke tempatnya. Biasanya mereka selalu bermain di ladangnya setelah memungut kayu bakar. Sesampainya di rumah, keluarga kecilnya telah berkumpul untuk melepas sang adik bungsu. Mereka semua menangis, melihat seorang anak perempuan kecil tengah menghadapi sakaratul maut. Dia tidak percaya bahwa akan ditinggalkan oleh adik kesayangannya. Selama ini, adik bungsu tersebut selalu menghiburnya saat ia lelah dengan semua kehidupan pahit yang mereka lalui selama ini. Hatinya hancur berkeping-keping, seharusnya dialah yang pergi duluan menggantikan adiknya. Kekejaman dunia ini tidak pernah hilang, namun bertubi-tubi datang kepada anak-anak kecil miskin seperti mereka.

Baca juga  Kisah yang Seharusnya Manis

Sudah seminggu lebih dia ditinggalkan oleh adik bungsunya. Kini hanya kicauan burung yang menemani setiap aktivitasnya. Hanya senyuman kecut yang dapat ia perlihatkan kepada dunia. Semuanya kian hambar, dan tidak lagi istimewa. Apakah semua ini kutukan?

Kutukan atas keserakahan sang ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan. Siapa yang tidak mengetahui ibunya, dia terkenal karena keserakahannya, memungut pajak yang besar kepada para petani yang meminjam tanahnya untuk ditanami padi.

Bahkan para petani yang gagal panen tidak pernah dikasihani dan diberi keringanan. Namun, semua harta kekayaannya tersebut selalu ditumpuk, dan ditukarkan dengan emas sebagai jaminan hari tua. Bahkan dia tidak tahu bagaimana nasib anak, dan suaminya bekerja keras dari pagi hingga pagi menjelang. Sangat tidak manusiawi sekali sikap dan perilakunya. Lebih tepatnya, dia menjadi manusia terkikir yang pernah ada di dunia ini. Dia melupakan kodratnya sebagai manusia.

Aku merasakan beban yang mendalam. Sesekali terdengar suara gaduh yang memanggil dari arah cahaya remang-remang. Suara itu mengisyaratkan agar diri ini pergi sejauh mungkin dari kegelapan yang selalu menghantui.

Kesedihan tidak dapat lagi menyelimuti hatinya, yang terasa saat ini hanyalah kekosongan. Keluarga tidak pernah memberikan rasa aman, dan nyaman. Apa arti keluarga bagiku?

Pertanyaan yang sangat ambigu, dan belum pernah ada jawabannya. Bunyi suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan panjang. Kenangan masa lampau sungguh meresahkan hidupnya. Dia segera pergi dari kursi tua itu, dan kembali melakukan kegiatannya seperti biasa. ***

.

.

Batusangkar, 2021

.
Sengsara Membawa Petaka. Sengsara Membawa Petaka. Sengsara Membawa Petaka. Sengsara Membawa Petaka.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!