Irwan Kelana

Merpati-Merpati Makkah

0
(0)

Cerpen Irwan Kelana (Republika, 20 September 2015)

Merpati-Merpati Makkah ilustrasi Daan Yahya

Merpati-Merpati Makkah ilustrasi Daan Yahya

Akhirnya, aku tiba juga di kota yang kurindukan ini. Makkah, kota kelahiran Rasulullah Muhammad SAW, lokasi Masjid al-Haram berada.

Kemarin pagi aku dan 29 wartawan Indonesia dari berbagai media tiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Dari Jeddah, kami naik bus ke Madinah yang berjarak sekitar 450 kilometer selama kurang lebih enam jam. Shalat di Masjid Nabawi dan mengunjungi beberapa tempat di Kota Nabi tersebut.

Bakda Isya kami melanjutkan perjalanan ke Makkah dengan bus. Sebelumnya, kami mampir di Bir Ali untuk mengambil miqat dan mengenakan pakaian ihram. Perjalanan sepanjang sekitar 490 km itu kami tempuh dalam waktu sekitar enam jam.

Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari ketika bus tersebut tiba di kantor Daerah Kerja (Daker) Makkah Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi. Dari jarak belasan, bahkan lebih 20 kilometer, Abraj Al- Bait Tower, gedung tertinggi di Kota Makkah tampak megah seakan mengucapkan selamat datang. Sebuah jam raksasa yang bertengger di puncaknya makin menegaskan keberadaan Menara Abraj Al-Bait sebagai landmark dan ikon Kota Makkah.

Dari berbagai literatur yang aku baca sebelum berangkat ke Tanah Suci, di dalam Menara Abraj Al-Bait terdapat beberapa hotel bintang lima, seperti Fairmonth, Raffles, Retaz, Movenpick, SwissBell, dan Grand Zam-Zam. Terdapat mal di lantai dasar dan food court di lantai tiga yang antara lain menjual makanan Indonesia, seperti bakso dan lain-lain. Tower yang buka 24 ini sangat strategis karena berdiri persis di depan pintu Masjidil Haram.

Kami hanya sebentar di kantor Daker, menyimpan koper. Setelah itu, tiga minibus sudah siap mengantar kami ke Masjid al-Haram untuk melakukan tawaf qudum dan umrah wajib.

Mendekati terminal bus Bab Ali, menara-menara Masjidil Haram sudah kelihatan.
Diterpa cahaya lampu gemerlapan, menara-menara tersebut bagaikan potongan surga yang diturunkan ke bumi.

Makin lama, cahaya tersebut makin benderang dan wajah Masjidil Haram dengan Ka’bah di dalamnya makin tampak jelas. Tanpa terasa bibir ini berucap, “Subhanallah.” Air mataku meleleh.

Tak sabar rasanya aku menunggu mobil ini parkir di Terminal Bab Ali yang berjarak sekitar 100 meter dari Masjidil Haram. Ingin rasanya aku berlari dan segera memutari kiblat miliaran umat Islam sedunia itu sambil melantunkan kalimat talbiah. “Labbaikallaahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Innalhamda wanni’ mata laka walmulk laa syariikalak.”

***

Rasa syukur tak henti-hentinya aku panjatkan sejak masih di Tanah Air. Di usiaku yang menginjak 31 tahun, Allah izinkan dan panggil aku menghadap-Nya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Memang bukan haji atas biaya sendiri, melainkan haji abidin atau atas biaya dinas.

Atas izin Allah, aku terpilih menjadi salah satu dari 30 orang wartawan peliput haji yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH) di bawah koordinasi Kementerian Agama. Sebagai peliput haji, kami datang sebelum kelompok terbang (kloter) pertama jamaah haji Indonesia tiba di Tanah Suci, Arab Saudi. Dan, kami baru akan pulang pada saat jamaah kloter terakhir sudah kembali ke Tanah Air.

Insya Allah, kami akan berada di Tanah Suci selama 75 hari atau hampir dua kali lipat lamanya prosesi ibadah haji jamaah reguler yang mencapai 40 hari dan tiga kali lipat pelaksanaan ibadah haji jamaah haji plus yang mencapai 25 hari.

Baca juga  Kabut Tak Pernah Berdusta

Namun, berbeda dengan teman-teman peliput haji lainnya, aku datang ke Tanah Suci ini juga membawa misi lain: Setelah prosesi ibadah haji selesai, aku akan menikah!

Ya, di Kota Makkah yang diberkahi, di Masjidil Haram yang dimuliakan, lebih khusus lagi, di depan Ka’bah yang sakral ini aku akan mengikat janji suci dengan seorang gadis salehah bernama Kuntum Khaira Ummatin.

Takdir mempertemukan aku dengan gadis desa yang sederhana, namun manis dan cantik itu saat meliput Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dan Musabaqah Hifzhil Qur’an (MHQ) yang diadakan oleh Kementerian Agama bekerja sama dengan Pemerintah Arab Saudi di Jakarta, beberapa bulan lalu.

Gadis yang baru saja menyelesaikan kuliah S-1 di Sekolah Ekonomi dan Bisnis Islam (SEBI) Parung, Bogor, Jawa Barat, itu berhasil meraih juara pertama lomba menghafal Alquran. Setelah mewawancarainya, aku tak heran kalau dia memenangkan lomba menghafal Alquran tersebut. Dia bersekolah di madrasah ibtidaiyah di desa kelahirannya di Surakarta. Kemudian, melanjutkan tsanawiyah dan aliyah di Pondok Pesantren Gontor Putri (Mantingan). Lulus aliyah, dia hafal 20 juz Alquran. Selepas mengabdi selama setahun, Kuntum mendapatkan beasiswa dari SEBI yang diperuntukkan bagi para penghafal Alquran dengan target lulus kuliah harus hafal 30 juz.

Di balik sosoknya yang sederhana, gadis ini menyimpan pesona yang luar biasa. Sorot matanya lembut keibuan dibalut kerendahan hati dan kesantunan—dua hal yang sudah jarang dijumpai pada gadis-gadis modern zaman sekarang. Dan, ketika ia melantunkan ayat-ayat Alquran, suaranya begitu bening dan mengalir ke setiap sudut hati.

Ya, Tuhan, apakah aku jatuh cinta pada kesan pertama? Sudah lama aku tak merasakan perasaan indah seperti ini. Sudah bertahun-tahun lalu, sejak aku beberapa kali ditolak oleh calon reporter (carep). Mungkin, ada banyak alasan mereka menolak cintaku. Tapi, yang aku yakini—boleh jadi aku terlalu sensitif dan sentimental—mereka mungkin menolak aku karena tak siap dibonceng sepeda motor bebek butut manakala sudah menjadi istriku nanti.

Salah seorang carep menolakku dengan cara yang halus, tapi sungguh menyakitkan.
Dia bilang belum memikirkan soal cinta, tapi keesokan harinya dia dijemput seorang pemuda ganteng yang mengendarai Honda Jazz keluaran terbaru berwarna merah!

Kini, usiaku sudah kepala tiga. Sudah waktunya aku mempunyai tempat berlabuh dari kepenatan kerja dan kerasnya perjuangan hidup. Sudah waktunya aku memberikan menantu dan cucu untuk ibuku yang tinggal di kampung.

Namun, pada zaman sekarang, mencari wanita yang siap dijadikan istri dan mau diajak hidup susah dan senang bersama-sama ternyata sangat sulit.

“Mas Fadil, kalau Anda ingin tahu apakah seorang wanita baik untuk dijadikan istri, tanya saja apa mahar yang diinginkannya,” begitu nasihat Ustaz Salim, seorang dai kondang, saat aku meminta nasihatnya, beberapa bulan lalu.

“Kalau mahar yang dimintanya sederhana dan mudah, itulah tanda bahwa dia adalah wanita yang sangat layak dijadikan istri.”

***

Saat aku dalam perjalanan pulang meli put MTQ dan MHQ itu, aku lihat Kuntum berjalan sendirian menuju halte busway. Aku sengaja menyejajarinya dengan sepeda motor bututku.

“Kuntum, maafkan saya. Saya ingin menanyakan satu pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi. Terserah Kuntum mau jawab atau tidak.”

Ia terdiam. “Ada apa, Mas?” tanyanya lembut.

“Jangan marah ya. Kalau Kuntum menikah, apa mahar yang Kuntum inginkan?” akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulutku.

Baca juga  Hari Tua

Tiba-tiba, Kuntum tersenyum teramat manis. “Saya punya dua impian untuk pernikahan saya, Mas. Pertama, saya selalu memimpikan mahar berupa hafalan surah Yasin dari calon suami saya. Kedua, saya memimpikan ijab qabul di depan Ka’bah.”

Sebuah jawaban yang tidak pernah aku bayangkan. Inilah tipe menantu dambaan ibuku! Teriakku dalam hati.

Aku menemui Dr Oni Sahroni, direktur Cyber-C SEBI dan juga dosen SEBI. Kepada doktor lulusan Al-Azhar University Kairo, Mesir, itu aku sampaikan bahwa aku ingin meminang Kuntum kalau dia masih belum punya calon suami.

“Terus terang, Ustaz. Saya belum hafal surah Yaasin. Namun, saya akan berusaha menghafalnya dengan metode Ustaz Yusuf Mansur, satu hari satu ayat (one day one ayat),”
kataku.

“Alhamdulillah, saya sangat mendukung niat baik Mas Fadil,” kata pakar ekonomi syariah yang sangat rendah hati itu. “Setahu saya, Kuntum belum punya calon.”

Tanpa sadar, aku berucap, “Alhamdulillah.”

Oni tersenyum. “Memang sudah seharusnya kita melakukan perbaikan keturunan, Mas. Maksud saya, bukan menikah dengan lelaki yang ganteng atau wanita yang cantik, tapi menikahlah dengan laki-laki atau perempuan yang hafal Alquran. Insya Allah, keturunan kita akan lebih baik,” tuturnya.

***

Singkat cerita, aku dipertemukan dengan Kuntum dan dia menyatakan bersedia menjadi istriku. Aku mengajak orang tuaku mengunjungi orang tua Kuntum untuk menyatakan lamaran.

Sebagai juara pertama lomba menghafal Alquran, Kuntum mendapatkan hadiah berupa undangan beribadah haji dari Pemerintah Arab Saudi. Ketika Kuntum menyampaikan niatnya kepada Dubes Arab Saudi di Jakarta bahwa dia ingin sekali menikah di Masjid al-Haram—dan karenanya harus ada wali yang mendampinginya—Pemerintah Arab Saudi memberikan hadiah berupa undangan haji untuk ayah dan ibunya sekaligus.

Kuntum dijadwalkan tiba di Makkah, Jumat, 11 September 2015. Dia termasuk jamaah haji gelombang kedua. Dari Halim Perdanakusuma, Jakarta, dia dan rombongan akan mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, kemudian langsung ke Makkah.

Pukul 09.00 dia mengabarkan sudah tiba di Jeddah dan pukul 14.00 tiba di Masjid al-Haram. Kemudian, ia melakukan tawaf qudum dan umrah wajib. Pada pukul 16.00 dia mengatakan menunggu Maghrib sambil berzikir di Masjidil Haram.

Hatiku sangat berbunga-bunga setiap kali menerima SMS-nya. Akhirnya, wanita yang kucintai dan akan kunikahi selepas menunaikan ibadah haji datang juga ke Tanah Suci. Tak sabar rasanya aku untuk melihat wajah lembut dan senyum manisnya itu. Matanya yang teduh selalu mampu mendamaikan batinku.

Aku sejak pagi mendampingi Menag yang merupakan amirul haj melakukan kunjungan ke beberapa tempat di Kota Makkah dalam rangka mengecek segala hal terkait persiapan puncak ibadah haji di Arafah-Muzdalifah-Mina (Armina). “Insya Allah, saya shalat Maghrib di Masjidil Haram. Kita ketemu di depan Hotel Grand Zam-Zam,” ujarku membalas SMS calon ibu anak-anakku.

***

Cuaca Makkah tidak bersahabat. Sore itu, badai debu disertai tiupan angin kencang melanda kota kelahiran Rasul. Tak lama kemudian, hujan es mengguyur Makkah. Badai dan hujan itu menyebabkan satu dari 15 crane raksasa yang mengelilingi Masjidil Haram—untuk proyek perluasan dan renovasi—ambruk menimpa ratusan jamaah yang berada di bawahnya.

Belakangan, aku ketahui jatuhnya crane raksasa yang dipegang kontraktor Bin Ladin Group pada pukul 17.23 waktu Arab Saudi (WAS) itu menewaskan 107 orang dan menyebabkan 238 jamaah terluka. Dari kalangan jamaah Indonesia, 11 jamaah meninggal dunia dan 29 korban luka.

Baca juga  Menunggu Tamu

Aku berkali-kali menghubungi HP Kuntum, namun tidak diangkat. Perasaanku tidak enak. Firasatku mengatakan, ada sesuatu yang terjadi pada calon istriku.

Beberapa jam setelah mencari informasi ke sana kemari, barulah aku tahu bahwa Kuntum termasuk korban yang terluka. Ia dirawat di RS Al Noor yang berlokasi di Aziziah Janubiyah.

Aku dan Ratna, salah seorang wartawan peliput haji, bergegas ke sana. Ternyata, Menteri Agama pun datang ke sana. Kehadiran pejabat Pemerintah Indonesia itu memungkinkan kami langsung masuk ke ruang UGD.

Aku langsung mencari Kuntum. Kepalanya diperban, namun darah menembus perban tersebut. Dia tampak sangat lemah.

Aku memburunya dan bersimpuh di sampingnya. “Kuntum!” suaraku tercekat di tenggorokan.

Matanya membuka perlahan. “Mas… Fadil.”

“Kamu akan sembuh, Kuntum. Kita akan menikah setelah prosesi ibadah haji selesai.”

Ia mencoba tersenyum.

“Apakah Mas Fadil sudah hafal Surah Yasin?”

Tanpa sadar, aku mengangguk. “Insya Allah, Kuntum.”

“Maukah Mas Fadil membacakannya untuk Kuntum?”

“Ya, Kuntum.”

“Saya ingin tayamum.”

Ratna membantu Kuntum tayamum. Kemudian, menggenggam tangannya.

Sementara, aku membacakan surah ke-36 dalam Alquran itu. “Yaa Siin. Walqur ‘aanil hakiim. Innaka laminal mursaliin. ‘Alaa shiraatim mustaqiim. Tanziilal azizirrahiim ….”

Aku berhenti sejenak. Kutatap wajah Kuntum. Ia tampak tersenyum bahagia. Aku melanjutkan, “Litundzira qaumam maaundzira abaauhum fahum ghafiluun.”

Berkali-kali aku berhenti sejenak untuk menatap wajah Kuntum. Wajahnya begitu tenang seperti orang yang sedang tidur.

Ketika aku sampai pada ayat, Alyauma nakhtimu ‘alaa afwaahihim watukallimunaa aidiihim wa tasyhadu arjulujum bimaa kaanu yaksibun (ayat 65), genggaman tangannya melemah. Wajahnya kian bercahaya, senyumnya makin mengembang di bibirnya dan lamat-lamat kudengar kalimat terakhir meluncur dari bibirnya, “Lailaha illallah, Muhammadur Rasulullah.”

***

Pukul 06.00. Langit Makkah masih temaram. Hanya semburat jingga menyembul di sebelah timur.

Aku keluar dari Masjidil Haram seusai qiyamullail, subuh berjamaah, dan tadarus Alquran. Demi mengejar saf pertama, barisan di belakang Imam Misyari Rasyid, tadi malam aku datang ke Masjidil Haram pukul 02.00.

Sepanjang jalan, aku terus mengulang-ulang bacaan surah Yasin. Setiap kali kubaca satu ayat, aku seperti merasakan Kuntum mengiringi bacaanku.

Aku selalu terngiang-ngiang ucapannya, “Surah Yasin mengajarkan kita tentang kehidupan dan kematian. Dan, pada akhirnya manusia akan sampai pada suatu hari ketika mulut dikunci, hanya tangan yang berbicara, dan kaki menjadi saksi atas segala yang kita perbuat selama hidup di dunia.”

Tanpa terasa, langkah kakiku membawaku ke Terminal Syib Amir, sekitar 200 meter dari Masjid al-Haram. Di sinilah setiap pagi ratusan bahkan ribuan merpati berkumpul dan beterbangan. Namun, pagi ini tempat itu sepi. Kemana gerangan merpati-merpati Makkah itu?

Tanpa sengaja, mataku menatap ke atas, ke arah kabel-kabel listrik yang menjuntai memanjang sepanjang jalan. Kulihat sepasang merpati hinggap di sana. Namun, tiba-tiba keduanya terbang menjauh hingga membentuk bayangan kecil dan akhirnya hilang sama sekali. Seperti nasib cintaku yang kandas di Kota Suci ini. (*)

 

 

Jakarta-(Makkah), Agustus-September 2015.

Irwan Kelana adalah cerpenis, novelis, dan juga wartawan. Saat ini, bekerja di
Harian Republika.

 

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!