Cerpen Joni Liwu (Republika, 03 Oktober 2021)
“KELUAR! Keluar sekarang!” desak Densi. Vena yang belum berpakaian itu pun menjauh. Entah apa gerangan yang membuat Den si begitu marah pagi ini, sedangkan Vena harusnya sarapan dan ke sekolah.
Vena melirik jam dinding dari celah pintu belakang rumah pengampunya itu. Pukul lima lewat 50 menit, sekitar 30 menit lagi dia harus mengikuti apel pagi di sekolahnya. Kepada siapa ia harus memohon agar Densi tidak lagi mengusirnya.
Sejak semalam, Densi—kakak sepupunya itu—juga memarahi orang tua kandung. Vena memanggil kedua orang tua itu opa dan oma. Vena sangat mengenal kakak sepupunya tersebut. Ia jebolan fakultas sastra salah satu perguruan tinggi di tanah Jawa. Setelah menyelesaikan studinya, ia kembali ke kota ini bersama orang tuanya. Kakaknya yang sulung masih melanjutkan studi magisternya.
Sekarang pun Densi telah bekerja sebagai seorang guru pada salah satu SMP di kota ini. Vena yang sudah tiga tahun bersama opa dan oma telah dianggap sebagai adiknya sendiri. Apalagi, semenjak Densi dan kakaknya berkuliah di luar daerah, Vena menjadi satu-satunya anak yang selalu memperhatikan, membantu kedua orang tua Densi.
“Ini bajumu dan segera angkat kaki dari rumah ini!” Suara Densi yang menghardik, mengagetkan Vena. Tapi, setelah itu, ia pun menerima baju seragam hitam putihnya dan sebuah kantong plastik dari tangan.
Vena menatap haru pada Densi ketika menerima baju seragam hitam putih itu. Vena berharap, Densi mengurungkan keputusannya. Ternyata, sebaliknya. Densi masih marah. Sangat marah. Sepanjang hidupnya, apalagi sejak kecil, ia tak pernah dihardik seperti itu. “Apakah ini gerangan kiamat bagiku di rumah ini?” gumamnya.
Tapi, apa persoalan yang menggerogoti hati Densi sehingga ia begitu marah? Bagi Vena, itu bukan urusannya. Penting baginya, ia harus menyelesaikan pendidikannya di SMP yang tinggal sebulan lagi.
Tadi, setelah dimarahi, Vena menjauh dari kakaknya itu. Ia kini menuju ke dapur. Dapur itu berjarak beberapa meter dari rumah induknya.
Dibukanya kantong plastik sebelum mengenakan baju seragamnya. Di dalamnya terdapat beberapa potong pakaian yang dibelikan mamanya di kampung halaman. Ia ingat betul empat potong baju juga beberapa rok. Vena tidak selalu menggunakan baju-baju tersebut karena opa dan oma yang menjadi pengampunya telah membelikan beberapa potong baju dan celana untuk kesehariannya di rumah.
Di antara beberapa baju dan celana, pada paling bawah kantong plastik itu terdapat sebuah kain selendang. Kain itu tenunan ibu di kampung halaman. Ketika ibu mengantarnya ke kota ini, kain ini paling terkahir disimpan ibu.
“Ini… jaga baik-baik. Ibu tahu, kain ini sangat kecil, tidak cukup menyelimutimu, tetapi akan hangat terasa,” pesan ibunya sambil merapikan selendang tersebut dan disimpannya pada bagian paling atas tas pakaiannya. “Kamu harus patuh pada opa dan oma. Merekalah orang tuamu di kota nanti.”
Vena melihat mata ibu berkaca. Ia merindukan ibunya, tetapi juga opa dan oma sangat mendamba kehadirannya. Tidak ada yang bisa membantu, apalagi memperhatikan opa dan oma di kota. Karena itulah, ibunya juga merelakan Vena ke kota. Di kampung, ibu masih bersama kakak Vena.
Mata ibunya yang berkaca-kaca, satu per satu menetes. Lebih lagi, ketika ia memeluk Vena, putri keduanya itu. “Jika kamu merindukanku, singkapkan selendang ini dalam tidur malammu,” kata ibunya perlahan dan terbata-bata. “Jangan lupa doakan ibu,” lanjut ibu.
Vena tak sanggup membendung keharuan rasa. Keduanya menumpahkan kesedihan dalam tangis. Tangisan yang menguatkan, tangisan untuk masa depan Vena, tangisan yang sangat meneguhkan Vena agar bisa meraih impian.
Vena membuka keharuan rasa bersama ibunya tiga tahun silam. Dijamahnya selendang bermotif daerah tersebut perlahan. Ia agak menepi ke sudut dapur agar tak kelihatan oleh Densi, juga oleh opa dan omanya. Hatinya terpaut pada selendang itu.
Ia ingat kalau ibu menghendakinya untuk ia kenakan pada malam hari, tetapi saat ini ia sangat mengharapkan kehadiran ibu. Ia ingin ibu di sampingnya. Ia belum bisa berharap penuh pada opa dan omanya. Mereka kini bagai terdakwa. Siap menerima vonis dari seorang hakim yang bernama Densi. Batinnya tidak menentu, entah kepada siapa lagi harus ditumpahkan.
Di sudut kamar dapur, dekat tepi tungku perapian, ia menyendiri. Suasana rumah bagai kota mati. Opa dan oma pun terdiam saja, belum suatu pun yang dilakukan untuk meredam amarah anak kandung yang kini bak seorang hakim diktator. Ancaman Densi pada opa dan oma masih diingatnya, yakni kalau mereka tidak segera keluar dari rumah, ia akan membakar rumah ini. Rupanya, karena ancaman ini, ketiganya memilih diam seribu bahasa. “Biar waktu yang akan menyelesaikannnya,” bisik opa dan oma malam tadi ketika Densi marah membabi buta.
Vena membetulkan sebuah batu yang dijadikan tempat duduk dekat tungku perapian tersebut. Dipegangnya erat-erat kantong plastik merah. Perlahan-lahan, tangannya mengambil selendang tenunan ibunya. Dibukanya perlahan. Motif-motif selendang tenunan ibu, mirip motif selendang ayahnya.
“Mungkinkah ibu menyesuaikan agar aku pun selalu dekat dengan ayahanda?” gumamnya dalam hati. Tanpa sadar, ia telah menitikkan air mata. Satu-satu tetes itu membasahi pipi, terus mengalir hingga mem basahi selendang ibunya. Bagai menaut kan batin seorang ayah dan ibu.
Derai air mata tidak saja membasahi selendang ibunya, tetapi pada beberapa corak berwarna putih. Bening putih air mata nya menjadi bercak-bercak tak berbentuk. Pada selendang ibu, ada corak, tetapi berbercak. Selendang ibu, mempertemukan mereka di tungku perapian.
Matanya tak berkedip, tetapi sepanjang itu pula tangis lara batin Vena tak pernah henti. Ia tidak menutup tubuhnya dengan selendang ibu. Tapi, ia biarkan, agar air mata nya memasahi selendang ibu. Agar ia bisa menumpahkan kesedihan, kegalauan itu pada ibunya, melalui selendang itu. Ia menangis semakin menjadi kala batinnya ingin agar ayahnya menjadi pelindung saat ia bersedih. Tapi, kedua orang tuanya tidak di sini, di sampingnya.
Kesedihan itu pun berakhir setelah ditumpahkan kegalauannya itu pada selendang ibunya. Ia merasakan kehangatan batin. Bagai ibu memeluknya, bagai ayahan da mendekapnya agar tetap tabah walau derita bertubi.
“Ibu… di selendang ini, ada corak dan ada bercak. Di corakmu kubenamkan bercak ini sebagai janji wujudkan hasrat ibu. Kubenamkan hasrat dan cita pada bercak selendangmu. Corakmu telah mengantarku ke kota ini dan bercak pada selendang telah me neguhkanku.” Vena berhenti sejenak karena opa dan oma mendekatinya. Ia tersipu-sipu, tetapi kedua orang tua itu mengetahui kalau ia sangat sedih atas kelakuan Densi.
“Vena, kamu tidak ke sekolah?” Oma membelai rambut Vena.
“Hari ini saya izin, Oma,” sahut Vena sambil merapikan selendangnya dan menyimpannya kembali ke dalam katong plastik.
“Aku berjannji, besok aku ke sekolah,” lanjut Vena tegas tanpa menatap opa dan omanya.
***
Suara anjing yang menggonggong menyadarkan Vena jika ada yang hendak bertamu.
Ia berdiri hendak melangkah, tetapi di hadapannya telah berdiri seseorang yang telah menggores hati hingga pahit yang dirasakan.
“Aku minta maaf.”
Vena kaget, ternyata Densi telah memeluk pinggangnya. Mereka kini berhadapan muka. Ia tidak bisa berpaling. Vena hanya ter senyum, damai menyentuh batin. Kegalauan rasa terobati. Densi yang dibencinya semalam hingga pagi ini bukan seorang pendendam. Vena menyadari itu karena kakaknya ini adalah seorang ibu guru. Ia tentu menyadari kekurangannya.
“Iya kak,” jawab Vena lembut.
Dirapikan rambutnya, dibersihkan pula wajahnya yang lusuh. Ia menyimpan dengan rapi kantong plastik berisi selendang ibu yang telah menyiratkan makna bagi perjuangannya. Berjuang untuk menerjang pahit dan getirnya hidup. Mungkin melalui badai ini, ia dapat meneguk bahagia di hari esok. Dapat mewujudkan cita-cita hidup sebagai persembahan terindah bagi ibu yang telah menantikannya.
Bulan-bulan terakhir bersama opa dan oma menjadi waktu yang menautkan pedih mendalam baginya. Ia harus berpisah dengan kedua orang yang sangat dianggapnya sebagai orang tua itu. Ia lebih banyak mengalami suka duka hidup bersama opa dan omanya. Rasanya, ia tak sanggup berpisah dengan kedua orang tua tersebut. Tetapi, ia juga tidak ingin kehadirannya menjadi orang tidak disukai kakaknya.
“Bagaimana kalau suatu ketika, kakaknya masih memperlakukan kedua opa dan omanya?” batin Vena dalam hati.
Ia mulai mengemas pakaiannya dan beberapa barang bawaannya. Ia akan melepas kenangan selama tiga tahun di rumah yang membesarkannya, mendewasakannya. Di rumah itu pula ia mendapatkan cinta yang tulus sebagai seorang anak, walau ia hanya dititipkan ibunya. Ia semalaman tidak bisa menutup mata, sekadar melepas lelah setelah siangnya ia membantu omanya membersihkan halaman belakang rumah yang dipenuhi sampah.
Sebelum meninggalkan kamarnya, ia sekejap menatap keliling. Masih tergantung di dinding tembok jadwal ujian akhirnya. Di sampingnya, ia tempatkan foto kedua orang tua, opa dan oma. Kedua foto itu kemudian disimpannya dalam tas pakaiannya.
“Opa, oma, aku pamit.”
Empat kata itu hampir tak sanggup diucapkannya. Ia melihat oma yang sedang merapikan kayu bakar di tungku perapian. Sambil mengipas-ngipas, oma menatap lembut Vena yang kini sudah ada di depannya.
“Kamu hendak pergi?”
Vena memeluk oma. Tangis oma dan Vena pecah. Dinding-dinding dapur yang mulai lapuk itu menyaksikan tangis keduanya. Betapa kebersamaan selama tiga tahun telah menjadikan Vena bagai anak kandungnya. Tetapi, mungkin derai air mata itu akan mengantar kesuksesan Vena.
Oma merelakan kepergian Vena agar bisa membahagiakan ibunda yang sedang menanti. Vena melepaskan pelukan oma, menjinjing tas pakaiannya. Di depan rumah telah menanti sebuah motor ojek yang akan mengantarnya ke terminal. ***
.
.
Joni Liwu, S.Pd., lahir di Desa Hewa, Kecamatan Wulanggutang, Kabupaten Flores Timur, 26 Januari 1969. Menyelesaikan pendidikan tinggi pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Nusa Cendana (Undana), Kupang (1993). Kini mengajar di SMP Negeri 13 Kota Kupang. Sebelumnya mengajar di SMP Negeri 3 Rote Barat Daya (1995-2000). Antologi cerpennya, Tentang Buka Buku, diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTT pada 2018.
.
Bercak di Selendang Ibu. Bercak di Selendang Ibu. Bercak di Selendang Ibu.
Leave a Reply