Cerpen Ikrom Rifa’i (Suara Merdeka, 03 Oktober 2021)
TIGA hari sudah penyakit asma Ki Parkin kumat. Dadanya terasa begitu sesak. Setiap kali ia menarik dan mengembuskan napas, sebuah bunyi seperti siulan itu terdengar. Menurut dokter yang dahulu pernah merawatnya, bunyi itu dikenal dengan istilah “mengi”.
Tiska terheran-heran begitu mengetahui ada bunyi siulan dari tarikan napas kakeknya itu. Ditempelkannya daun telinganya ke dada Ki Parkin yang tengah terbaring di atas ranjang.
“Wah, hebat. Napas Kakek bisa bersiul. Aku bersiul pakai mulut saja belum bisa, Kakek sudah pakai napas.”
“Tentu. Kakek memang hebat. Ayo, mau bunyi siulan yang seperti apa?”
Tiska tentu tidak paham bahwa di balik bunyi siulan yang nyaring bak alunan suara harmonika itu, ada rasa sakit yang harus dikorbankan. Rasa sakit yang tentunya tidak bisa ditangkap nalar bocah lima tahunan macam dirinya. Yang Tiska ketahui, napas kakek bisa bersiul dan menurutnya itu menakjubkan.
“Tapi jangan paksa Kakek untuk bersiul seperti burung murai batu peliharaan bapakmu itu. Tentu kakek tidak bisa.”
Obrolan kakek dan cucunya itu akhirnya terjeda ketika Panji, tanpa permisi dan mengucap salam, masuk ke kamar dengan tergesa.
“Taksinya sudah datang, Pak. Ayo siap-siap, kita ke rumah sakit sekarang!”
“Apa?! Kau mau bawa Bapak ke rumah sakit? Kau mau menjadikan Bapak korban selanjutnya, hah?”
Hanya dalam hitungan detik, suasana kamar berubah menjadi tegang. Ki Parkin yang sebelumnya terbaring, kini beranjak dari tidurnya sambil terbatuk dan memegang dadanya. Tatapan matanya tajam seperti mata ayam jago di gelanggang sabung yang siap menerjang lawan. Sedangkan Tiska, hanya terdiam melihat bapak dan kekeknya bersitegang.
“Kau pikir semua penyakit bisa diselesaikan di rumah sakit? Apa kau lupa, tiga tahun silam kakakmu meregang nyawa di rumah sakit setelah menjalani operasi yang ngawur itu? Habis banyak duit tapi hasilnya? Tetap mati juga.”
Hardikan itu membuat Panji terdiam. Ia tak bisa menyangkal. Untuk perkara kakaknya yang meregang nyawa akibat kekhilafan dokter di meja operasi, ia juga sakit hati. Tapi perkara penyakit bapaknya yang tengah kumat, tentu itu adalah persoalan lain.
Bagi Panji, kumatnya asma sang bapak kali ini tidak seperti biasanya. Jauh lebih parah. Batuknya tidak bisa mengeluarkan dahak, wajahnya tampak pucat, dan suhu badannya meningkat. Lebih parah lagi, bunyi siulan yang keluar dari napasnya terdengar lebih nyaring. Bagi Panji, ini bukan lagi sebatas peringatan kecil biasa, melainkan sudah seperti alarm tanda bahaya yang harus diatasi segera. Dan rumah sakit adalah jalan satu-satunya.
“Bahkan istri dan anak keduamu sendiri juga tak luput jadi korban malapraktik saat operasi caesar setahun yang lalu. Dan sekarang, kau paksa Bapak untuk ke rumah sakit? Tak sudi!” sambung Ki Parkin dengan tegas.
“Nasib manusia tidak bisa disamakan begitu, Pak. Kita hanya bisa ikhtiar.”
“Ikhtiar? Kau pikir jamu yang Bapak minum saban pagi itu bukan ikhtiar, hah?”
Panji tahu persis bahwa yang sedang ia hadapi adalah orang dengan riwayat keras kepala yang amat kronis. Seperti yang sudah-sudah, usahanya kali ini hanya membuahkan penolakan. Penolakan yang bahkan lebih keras dari biasanya.
“Sebelum kamu jadi sarjana keperawatan, atau bahkan sebelum kamu lahir, penyakit ini sudah menemani Bapak. Jadi, kalaupun Bapak harus meninggal lantaran penyakit ini, apa salahnya?”
Suasana hening sesaat. Amarah yang memuncak agaknya membuat dada Ki Parkin semakin sesak. Sedang Panji hanya bisa bergeming, seperti kehabisan cara untuk membujuk lelaki tua itu.
***
Di kepala Ki Parkin, rancangan kematiannya memang telah terkonsep secara matang. Keadaan yang makin parah, dada yang makin sesak hingga bunyi siulan napas yang lebih nyaring dari kumat-kumat biasanya, membuat ia mesti berdamai dengan firasatnya, “Ah, barangkali memang telah tiba saatnya.” Namun, jikalau benar kumatnya kali ini akan membawanya pada kematian, setidak-tidaknya ia menginginkan beberapa hal.
Pertama, ia tak mau menjalani sakratulmaut di tengah cekaman infus dan pengapnya ruang rawat inap. Ia hanya ingin mengakhiri hidupnya di kamar ini, kamar yang juga menjadi saksi bisu berpulangnya Ni Warsinah, mendiang istrinya, setelah lebih dari setengah dekade bergulat dengan stroke.
“Kalaupun aku harus mati lantaran penyakit ini, aku hanya ingin mati di sini, di kamar ini. Tak sudi aku mati di rumah sakit dan dimakamkan secara tidak wajar sebagaimana yang ada di siaran-siaran televisi itu!” tegas Ki Parkin seperti sebuah wasiat.
Kedua, ia tak ingin mengembuskan napas terakhirnya di sisi dokter ataupun suster rumah sakit. Akan lebih baik baginya jika mengembuskan napas terakhir di sisi anak dan cucunya. Setidak-tidaknya ia bisa menghibur Tiska dengan siulan napas terakhirnya, sebelum tak ada siulan lagi yang bisa ia dengar selain siulan murai batu peliharaan bapaknya.
Dan yang ketiga, ini yang tidak bisa ditawar, ia hanya ingin dimakamkan di sisi Ni Warsinah di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Majasih. Jauh-jauh hari ia bahkan telah memesan sepetak tempat khusus di sebelah makam mendiang istrinya.
“Tolong siapkan juga batu nisan beserta epitafnya secantik mungkin!” perintah Ki Parkin kepada pembuat batu nisan beberapa waktu yang lalu lewat sambungan telepon.
Namun Ki Parkin sepertinya lupa akan satu hal. Bahwa sebaik apa pun ia merancang kematiannya, ia tak mungkin bisa menentang kuasa dari sang Maha Perancang Kematian yang sesungguhnya. Rancangan kematiannya yang telah terkonsep sedemikian rupa itu, bisa dengan mudah digagalkan, semudah membalikkan telapak tangan.
Ki Parkin baru menyadari itu pada sebuah pagi yang kelabu. Ketika ia dengan amat jelas melihat jasadnya digotong oleh kawanan orang yang menurut Ki Parkin lebih mirip seperti astronaut. Dengan wearpack tebal berwarna putih, kawanan orang itu mengeluarkan jasadnya dari sebuah ruang yang diketahui oleh Ki Parkin sebagai ruang isolasi. Sebuah ruang yang amat dibencinya.
Sungguh, Ki Parkin tak sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Satu-satunya yang ia ingat adalah tiga hari yang lalu. Ia masih bercengkerama sembari memainkan siulan napasnya bersama Tiska. Hingga tak lama berselang, napasnya mendadak menjadi sangat sesak, seperti tak ada satu oksigen pun yang sudi masuk ke paru-parunya. Setelah itu hanya gelap dan tak ada lagi yang bisa ia ingat.
Ki Parkin makin tak mengerti perkara apa yang sebenarnya menimpanya, ketika ia mendapati jasadnya dimasukkan ke sebuah peti dan dibawa oleh mobil dengan suara sirene yang amat memekakkan telinga. Ki Parkin hanya bisa menerka; mungkinkah mereka adalah kawanan malaikat pencabut nyawa? Tapi sungguh aneh. Sebab sebagaimana yang diceritakan oleh Kyai Tohari, malaikat pencabut nyawa adalah Israil. Mana mungkin Israil mengenakan pakaian wearpack putih macam astronaut begitu.
Dan Ki Parkin benar-benar kebingungan, ketika mobil yang membawa jasadnya sampai di sebuah tempat pemakaman. Bukan pemakaman Majasih, tempat di mana mendiang istrinya dikebumikan, melainkan sebuah tempat pemakaman yang sangat asing dan tak dikenalinya.
Ki Parkin masih terus menerka; jika benar ini adalah kematiannya, sungguh ini adalah kematian yang sama sekali tak terkonsep sebelumnya. Ia tak melihat para pelayat datang untuk menghantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir. Ia juga tak melihat Kayim Idris memanjatkan doa. Ia juga tak mendengar Pak RT menyiarkan kematiannya melalui pengeras suara di masjid.
“Kematian macam apa ini?” begitulah gumam Ki Parkin, ketika tak berselang lama kawanan orang berbaju wearpack putih itu mengambil jasadnya dari dalam mobil dan memasukkannya ke sebuah liang dengan penuh sembrono. Ini adalah prosesi pemakaman paling edan yang pernah dilihat Ki Parkin. Bagaimana tidak, ia melihat jasadnya diperlakukan layaknya bangkai binatang. Tak ada azan yang dikumandangkan, juga tak ada doa-doa yang dipanjatkan.
“Kurang ajar. Siapa yang meracang konsep kematian sebegitu ngawur ini?” teriak Ki Parkin yang tak didengar oleh siapa pun. Ia tak kuasa membendung isaknya, ketika tanpa disadarinya, Panji, anak lelaki satu-satunya, terlihat berada di antara kawanan orang berbaju wearpack putih itu. Ia juga mengenakan pakaian yang sama dengan kawanan orang itu.
Dengan terisak-isak, Ki Parkin terus memandang ke arah lelaki yang dahulu pernah ditimang dan dininabobokan itu. Ia juga mendengar seperti ada suara jerit tangis yang amat kencang di kejauhan sana. Mangkinkah itu suara Tiska yang hendak mendengarkan siulan napas terakhirnya? Ataukah suara Tiska yang tak merelakan kepergiannya? Entah. ***
.
.
Purbalingga, 2021
—Ikrom Rifa’i lahir di Purbalingga, 25 Juli 2000. Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang. Bergiat di Komunitas Teater & Sastra Perwira (Katasapa) Purbalingga.
.
Ki Parkin dan Konsep Kematiannya. Ki Parkin dan Konsep Kematiannya. Ki Parkin dan Konsep Kematiannya.
Leave a Reply