Cerpen, Lampung Post, M Chadhiq

THR Terakhir

THR Terakhir - Cerpen M Chadhiq

THR Terakhir ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post

5
(2)

Cerpen M Chadhiq (Lampung Post, 03 Oktober 2021)

SORE itu udara sejuk. Angin semilir mampu menenteramkan suasana. Ramadan menjelang berakhir. Munawir duduk santai di teras rumah. Sambil sesekali melihat pesan wa grup. Ajakan untuk iktikaf di masjid bersama kawan-kawannya terus berdatangan. Memang sampai saat ini belum sempat dilakukan.

Padahal ia sadar 10 hari terakhir Ramadan adalah waktu yang sangat dianjurkan untuk iktikaf. Menambah pahala ibadah sekaligus upaya memohon ampunan dari segala dosa.

“Ayolah…tidak harus sampai pagi, cukup satu atau dua jam saja. Setelah itu boleh pulang kok,” ajak Hibban kawannya yang tinggal 100 meter dari rumahnya. “Santai saja, baca Qur’an, atau ngobrol tentang kehidupan, yang penting muatannya positif,” ajaknya. Munawir hanya ngasih jempol dalam balasan WA-nya.

Malam itu Munawir mencoba memenuhi ajakan kawannya. Iktikaf di masjid. Hanya 300 meter dari rumahnya. Tidak ada bekal yang dibawa, hanya kitab suci Al-Qur’an dan air minum sekadarnya. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Sudah ada Hibban di pojok sedang salat, sementara Habib dan Parjo masih sibuk membaca Al-Qur’an. Setelah mengambil wudu, Munawir langsung salat, tidak jauh dari Hibban, di belakangnya.

Dua rakaat ia lakukan. Bacaan surat pendek yang ia mampu. Masih terasa biasa saja. Seperti belum menyentuh, belum timbul rasa khusyuk. Belum bisa mikraj. Belum mampu menyentuh langit. “Ah, mungkin perlu lebih lama,” gumamnya.

Ia ingin khusyuk. Dua rakaat lagi ia lakukan, mencoba lebih pelan dengan bacaan lebih lama. Tetap tak berubah. Justru pekerjaan kantor jelas terbayang. Berkelebat pula bayangan istri dan anak muncul. Ia menghela napas panjang seusai salam.

“Inilah fungsi iktikaf, mendekatkan diri kepada Allah, mengoreksi kesalahan dan memohon ampunan dosa dengan memperbanyak ibadah, sesuai dengan kemampuan kita,” kata Hibban mengawali pembicaraan, setelah 4 orang ini selesai salat dan membaca Al-Qur’an. Yah untuk istirahat sebentar dari aktivitas ibadah pribadi.

“Betul, bahkan dengan begini kita saling mengingatkan bila ada yang salah dan lupa, sekaligus memberi semangat kawan kita untuk rajin ibadah,” timpal Ahmad sambil mengambil air minum dan kue bolu yang dibawa Hibban.

“Memang semangat ibadah kadang perlu dorongan dan kebersamaan,” kata Parjo sambil bersandar di tembok. “Perlu melepaskan diri dari seluruh pikiran duniawi, lama-lama nanti bisa khusyuk sendiri,” lanjutnya. Munawir hanya mengangguk sambil minum air yang ia bawa.

Mereka tidak lama bercengkerama, lalu dilanjutkan ibadah pribadi, ada yang salat, ada pula yang membaca Al-Qur’an. Namun Munawir tidak bertahan lama, jam 12 malam ia pamit untuk pulang. Sebab, kantuk sudah tidak tertahankan lagi. Maklum siangnya pekerjaan kantor cukup menguras tanaga dan pikiran.

Munawir adalah salah satu pejabat eselon IV di sekretariat daerah kabupaten, kasubbag di salah satu bagian. Termasuk pegawai yang rajin, bahkan dianggap cukup cepat mendapat jabatan. Tidak bisa dimungkiri sebab cara kerja, dedikasi, dan penampilannya memenuhi standar sebagai seorang pejabat. Pintar, tidak sombong, dan mampu menempatkan diri. Bisa jadi pada sisi lain membuat iri kawan-kawannya. Apalagi ada yang pangkatnya lebih senior, namun belum mendapat posisi jabatan.

Baca juga  Nelayan itu Masih Melaut

“Wir, tolong semua kegiatan kemarin disiapkan laporannya, sebab sudah mau liburan Idulfitri.” perintah Pak Kepala Bagian, “Jangan lupa SPJ-nya dilengkapi jangan ada yang selip. Tertibkan administrasi,” tambahnya.

“Siap, Pak!” kata Munawir sigap dengan sedikit membungkuk. Pak Kabag hanya memberi acungan jempol sambil tersenyum. Pak Kabag menyadari kalau Munawir sudah menyatakan siap, artinya memang benar-benar siap. Administrasi dan laporan selalu rapi, makanya Pak Kabag juga senang.

Munawir menyadari kalau sudah perintah seperti ini artinya dia harus koordinasi dengan staf dan bendahara untuk membuat dua laporan, yakni laporan kegiatan dan laporan keuangan. Untuk yang terakhir ini Munawir sangat hati-hati dan cenderung sungkan, maka ia menyerahkan sepenuhnya perhitungan keuangan dengan bendahara untuk dilaporkan langsung dengan kepala bagian.

Menjelang akhir Ramadan, pasar makin ramai. Lapak-lapak dadakan bermunculan, terutama kue untuk Lebaran berderet sepanjang jalan. Tak ketinggalan pakaian untuk Lebaran. Pembeli hilir mudik sibuk dengan kepentingan masing-masing. Mereka berburu keinginan untuk merayakan Lebaran. Memburu kue dan pakaian untuk menghiasi ruang tamu dan keluarga. Rasanya kurang pantas kalau di hari raya perabotan masih seperti tahun kemarin. Inilah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Budaya sudah seperti kewajiban. Lebaran menjadi ajang mengubah gaya dan mode.

Munawir tenang-tenang saja, bahkan cenderung selalu tersenyum. Sebab siang tadi, selepas salat zuhur di kantor, ia dipanggil Kabag di ruangannya. “Wir, ini untuk kamu, untuk membahagiakan keluargamu di hari raya ini,” katanya sambil menyodorkan amplop agak tebal.

“Apa ini Pak?” tanya Munawir agak rikuh dan canggung.

“Sudahlah, yang lain juga sudah kebagian kok, tadi sebelum zuhur,” kata Kabag meneruskan.

Dengan sedikit malu ia menerima amplop itu, sambil tersenyum. “Terima kasih Pak,” katanya.

“Wow tebal juga,” gumam dalam hati. “Sekali lagi terima kasih Pak.” Katanya sambil menutup pintu ruangan Kabag. Di luar ruangan para staf juga tersenyum, tanda juga sudah mendapatkan amplop yang sama, mungkin jumlahnya berbeda-beda, Munawir tidak tahu.

“Ma, ini tadi di kantor dikasih Pak Kabag, hemat ya untuk kebutuhan kita,” kata Munawir pada istrinya ketika pulang dari kantor.

“Wah…berapa ini, Pa?” tanya istrinya sambil matanya berbinar-binar. Ciri khas seorang wanita bila menerima uang. Kadang tidak peduli dari mana sumbernya. Sambil menghitung dan tersenyum “Wow, lima juta, alhamdulillah,” teriaknya sambil berjingkrak.

Maka meluncurlah susunan rencana untuk kebutuhan Lebaran keluarga. Kue-kue, pakaian anak-anak, pakaian bapak ibu dan mertuanya. Disusun rapi sesuai dengan anggaran. Berharap mereka ikut bahagia di hari raya ini, sebagai bentuk bakti anak kepada orang tua. Terbayang raut bahagia, terbayang indah seragam Lebarannya, terbayang meriahnya sebuah pesta kemenangan Lebaran. Terbayang rasa bangga, dirinya menjadi sumber kebahagiaan.

Takbir tahlil dan tahmid berkumandang dari seluruh masjid sejak magrib. Tanda bahwa esok hari Lebaran. Bunyi mercon dan kembang api bersahut-sahutan. Anak-anak hilir mudik di jalan. Bahkan suara motor bising juga menghiasi malam itu. Mereka merayakan Lebaran dengan gayanya sendiri.

Munawir tersenyum saja melihat tingkah mereka. Sebab, ia merasa telah sempurna menyiapkan Lebaran. Semua persediaan tidak ada yang terlewatkan. Yah, amplop menjelang hari raya yang sering disebut THR telah ia terima, dan telah dibelanjakan tuntas dan lengkap.

Baca juga  Sepatu itu Ada dalam Hatiku

Malam itu Munawir menikmati dengan keluarga. Di rumah saja. Sebab, mau ke mana lagi. Semua sudah ready tak tersisa. Sampai satu per satu anggota keluarga pamit mundur, tidur. Termasuk istrinya. Ia sendiri, entah mengapa belum ngantuk. Hanya memainkan ponsel-nya melihat film.

“Pa, sudah malam ini lo, jam 23.00, tidurlah, entar esok kesiangan salat idnya,” pinta istrinya.

“Ya sebentar lagi belum ngantuk,” jawabnya.

Jam 24.00 dilewati, Munawir belum juga ngantuk. Bergeletakan di depan TV, mencoba menjemput kantuk. Belum berhasil. Kembali memainkan ponsel. Mengintip pesan WA, ucapan Lebaran. Jam dinding berdentang satu kali. Justru hatinya tiba-tiba gundah. Pikirannya mulai melayang. Ada yang terasa hilang. Kini ia pindah ke kamar, di samping istrinya. Bergolek ke kanan dan ke kiri, tidak nyaman. Dan justru menjelang jam 02.00 kantuk tiba-tiba menyerang, tak tertahankan. Matanya kini terpejam erat, sangat erat. Kepalanya makin berat dan berat sekali, seperti ada yang memaksa untuk terpejam dan terlelap. Napasnya teratur pelan, dan senyap. Sayup-sayup ia mendengar raungan sirine ambulans. Mendekati rumahnya, semakin dekat. Aneh. Berhenti tepat di depan rumahnya.

Para perawat dengan cekatan membawa istrinya yang mengeluh sakit perut. Petugas sangat profesional, secepat kilat membawa ke mobil dan langsung bergerak menuju rumah sakit. Munawir hanya bisa bengong dan pasrah, sebab mulutnya serasa terkunci. Ia hanya manut ketika diminta ikut. Tak ada bekal yang dibawa, sebab seperti terkena sihir. Tak berdaya.

“Ini harus segara dioperasi,” Kata dokter setelah memeriksa, “Perutnya makin membesar dan berbahaya,” tambahnya. Munawir hanya mengangguk bengong. Tim medis dengan cekatan melakukan persiapan operasi. Segala peralatan medis disiapkan. Perawat dan dokter seperti berburu dengan waktu. Segala macam alat dipasangkan di tubuh pasien. Suara gemerincing peralatan tak terhindarkan. Munawir membisu di pojok ruangan melihat proses operasi. Perawat dan dokter tak memedulikannya. Ia heran kok ia diizinkan berada dalam ruangan, melihat jelas proses operasi. Ini pasti di luar prosedur, tapi ia tak mampu berbuat.

Dan…keanehan terjadi. Darahnya tidak berwarna merah, tapi hitam. Benar-benar hitam. Bau busuk menyengat, sangat mengganggu. Dari dalam perutnya ditemukan benda aneh, sangat aneh. Ada staples, penggaris, cutter, bahkan ada baut.

“Ini pasti terkena santet atau teluh,” kata dokter yang penampilannya seperti dukun. Dokter lain hanya diam.

“Iya, pasti kena santet, ada yang tidak suka dengan pasien ini, atau bisa jadi justru tidak suka dengan suaminya, tapi karena suaminya taat beragama, jadinya nimpa istrinya,” kata dokter lain.

Munawir bingung, kok analisis dokter justru menyimpang dari ilmu kedokteran. Tapi ia tak bisa apa-apa, hanya terpaku tak mampu bicara. Entah mengapa mulutnya terkunci. Ingin meronta, tapi seperti terbelenggu.

Dan kini ia terduduk lemas di pintu ruang operasi. Berurai air mata melihat istrinya tergolek dengan napas tersengal. Ia mulai menerka siapa yang menyantet. Pikirannya mulai menyisir rekan kerja atau tetangga yang iri. Ia terus berburu pelaku. Menganalisis setiap gerak dan tingkah, ucapan dan komentar, bahkan menyusuri status dalam medsos, tapi tidak menemukan yang mencurigakan. Hingga lelah mencari.

Baca juga  Badut Sugul

Sekelebat muncul sosok yang ia kenal. Guru mengaji di kampungnya ketika kecil. Abah Yazid panggilannya. Menghampiri begitu saja. Ia tak mengerti dari mana datangnya. Padahal sudah wafat lima tahun lalu.

“Anakku,” katanya sambil berdiri di samping Munawir,” ketahuilah, apa yang menimpa istrimu adalah perbuatanmu sendiri. Staples, cutter, penggaris, baut yang berada dalam perutmu adalah wujud dari kegiatan anggaran yang sempurna kamu SPJ-kan tapi tidak sempurna kamu belanjakan. Dan kamu nikmati untuk keluargamu. Padahal bukan hakmu. Sedangkan darah hitam dan bau busuk adalah segala perilaku diammu ketika ada penyimpangan dalam pengelolaan anggaran kegiatan,” tambahnya sambil memegangi tongkat. Ujung jubahnya berkibar, halus, laksana air.

“Bertobatlah anakku, sebab siksa akan dimulai dari yang paling kamu cintai,” jelasnya sambil melambai pergi, bagai melayang, tanpa menunggu sapaan lebih dari Munawir. Bahkan, sentuhan tangan saja tak ada kesempatan.

Munawir gemetaran sangat hebat. Napasnya memacu, dadanya naik turun, darahnya menggelegak. Sambil melompat ia berteriak “ASTAGFIRULLAH!!!” tersentak kaget.

Istrinya terbangun. Ia melihat suaminya wajahnya tegang. Napasnya tersengal.

“Ada apa, Mas?” tanyanya sangat heran. “Mimpi apa?”

Munawir diam. Matanya memutar menganalisis. Ini di rumah, bukan ruang operasi rumah sakit. Ia melihat istrinya dari ujung kepala hingga kaki. Ia melihat perutnya. Biasa saja. Tak ada apa-apa. Tak ada darah, tak ada bekas operasi.

“Untung hanya mimpi,” katanya dalam hati. Menghela napas panjang, sangat panjang. “Enggak, tidak ada apa-apa,” jawabnya menenangkan istri.

“Oalah, ya sudah tidur lagi saja.” Hanya itu jawaban istri, memicingkan mata, masih ngantuk dan kembali tidur.

Jam menunjukkan 03.00. Munawir ke kamar mandi. Masih gemetaran. Mencuci muka dan berwudu. Salat tahajud yang ia lakukan. Sendirian. Karena ia yang paling bertanggung jawab. Rakaatnya pendek, tapi doanya panjang sekali. Tertunduk lesu, sesekali menggelengkan kepala. Ia membayangkan bapak ibunya, istri dan anaknya mengenakan pakaian baru, pemberiannya. Tapi sekelebat ada api di ujung kainnya. Ia membayangkan kue nastar yang ia beli, tersusun rapi, tapi ada bara di setiap isinya. Aneka minuman yang disiapkan untuk menyambut tamu, berwarna-warni, harum baunya. Tapi getir yang ia rasakan. Ada duri di setiap tegukannya. Yang tak bisa ditelan atau dimuntahkan. Ia sadar dari mana benda-benda itu berasal. Bukan haknya.

Ia menarik napas panjang, mengeluarkan dengan pelan-pelan. Sambil berkata “bismillahirrohmanirrohim,” ia berniat memulai yang baru, untuk menjemput berkah setiap langkah. Berburu rida Allah. Teringat sebuah syair:

Apalah arti harta duniawi

Bila didapat melanggar aturan ilahi

Nikmat sesaat akhirnya masuk bui

Kawan kerabat meninggalkan pergi

Di akhirat ancaman api neraka sudah menanti

Lantas ke mana akan lari? ***

.
THR Terakhir. THR Terakhir. THR Terakhir. THR Terakhir. THR Terakhir. THR Terakhir. THR Terakhir.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!