Cerpen Reni Asih Widiyastuti (Pontianak Post, 03 Oktober 2021)
SESEKALI kopi itu terserap dari mulutku. Melewati tenggorokan di setiap kepahitan hidup masuk ke dalam lambung pencernaan. Dalam benak, ada beberapa hal yang membuat pagi ini terasa nikmat. Bukan karena mendung yang datang, melainkan hadirmu dalam gelas kopi membawa terang.
Hal lain yang membuat pagi ini terasa nikmat adalah senyum di bibir manismu itu. Ah, siapa pula yang tak tahu dirimu. Seantero kota bahkan mengenalmu dengan baik, meski kau tak pernah berkenalan secara langsung dengan mereka. Mereka begitu mengagumimu, termasuk diriku. Tapi aku sangat jengkel jika kau terus-terusan membahas para pengagummu itu. Aku tidak suka. Aku cemburu!
Namun, kecemburuan dalam hati selalu dapat kusimpan dengan rapi. Wajahmu yang sangat rupawanlah salah satu alasan mengapa aku bisa meredam rasa cemburu. Dulu kau telah membuatku kepincut setengah mati. Hingga aku selalu menghindar setiap kali ada wanita yang singgah, walau sekadar menyapa. Bagiku, tak ada wanita yang lebih cantik daripada dirimu.
“Ke mana saja jadwal manggung hari ini?” tanyamu di selasela serapan kopiku.
“Tak ada jadwal. Aku sengaja membatalkan semua kontrak,” jawabku enteng.
“Apa katamu? Berani-beraninya kau memutuskan sepihak! Di sini aku yang bekerja, bukan kau!”
“Tapi aku manajermu. Aku bosan melihatmu dikerubuti lelaki pencari hawa nafsu itu! Lama-lama kau pasti juga akan ikut-ikutan jadi wanita bejat, kan?”
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di wajahku.
Kau pergi meninggalkanku sendirian menyesap kopi yang kini telah dingin. Aku tahu kau menangis. Tapi aku puas. Setidaknya hal lain lagi yang menurutku terasa nikmat di pagi ini adalah mampu membuatmu menangis. Itu semata-mata kulakukan agar kau bisa sadar dan segera berhenti dari pekerjaanmu itu. Jujur, aku seperti lelaki bodoh yang mungkin di mata orang-orang terkesan tak sanggup memberi nafkah untuk istrinya.
Hampir sepuluh tahun kau bergelut dengan dunia hiburan dan aku berbaik hati menawarkan diri untuk menjadi manajermu agar kau tak terjerumus ke dalam pergaulan yang menyesatkan. Tapi itu dulu. Sebelum kau menjadi istriku. Bahkan, kala itu kau terlihat antusias. Sangat tidak keberatan jika ke mana-mana selalu ada batang hidungku yang membuntuti. Dengan segenap jiwa aku mendukungmu hingga sukses seperti sekarang. Kita mampu melewati masa-masa itu. Tak peduli suka dan duka. Namun, tahun-tahun belakangan, kau mulai berubah. Apalagi sejak kita resmi menjadi sepasang suami istri. Kau dengan seenaknya sering pulang malam dan hangout tak jelas. Tak jarang, hingga dini hari sengaja menongkrong di kelab bersama beberapa teman lelakimu, walau memang lebih banyak yang perempuan.
Aku sering menegurmu secara halus. Namun, kau selalu mengatakan jika itu hanya masalah sepele. Lagipula aku tidak suka minum alkohol. Kau tahulah sejak dulu. Katamu kala itu. Untuk hal yang satu itu, aku memang percaya. Setiap kali pulang ke rumah, aku tak pernah mendapati bau aneh dari mulutmu. Hanya saja, mulut para tetangga kerap usil hingga membuatku risi dan bertekad untuk membuatmu berhenti. Sayangnya, kau terus melaju. Membiarkan kesenangan duniawi menjerat. Terlena sampai entah kapan.
Kopi yang telah sempurna dingin segera kuhabiskan setelah sejenak pikiran melayang mengingat proses kesuksesanmu. Enggan mencarimu karena paling juga kau sedang menongkrong dengan teman-teman. Aku pun menutup pintu dan menuju ke kamar. Kamar dengan cat dinding berwarna krem itu memang kesukaanmu. Namun, justru kerap mendukung suasana hatiku kala menulis. Ya, selain menjadi manajer, sesekali aku menumpahkan segalanya dalam bentuk tulisan. Terkadang cerpen, puisi, cerita misteri, cerita humor, sampai meresensi buku atau film. Lalu mengirimkannya ke sejumlah media, baik cetak maupun online. Akibat hobi tersebut, kau dan aku sering terlibat cekcok. Ditambah pula, hingga kini menginjak tahun kelima pernikahan, belum ada tangisan bayi di rumah ini. Kau merasa kurang diperhatikan karena aku lebih sering tenggelam dalam hobi.
Aku segera menghalau pikiran-pikiran tentangmu lagi. Membuka laptop, mengeklik folder novel. Melanjutkan naskah yang sudah dua tahun terbengkalai. Tiba-tiba merasa stagnan, tak mampu meneruskan ketikan. Maka, aku beralih ke folder cerpen. Memilih salah satu cerpen yang telah kuendapkan kurang lebih setahun lamanya. Kalimat demi kalimat mengalir, hingga tak terasa cerpen tersebut telah utuh. Saat hendak membuka gmail, mendadak telepon genggamku berdering.
“Halo?”
“Bram, cepat ke sini! Aku tidak kuat!”
“Ka-Karin? Kau di mana?”
Tut-tut-tut. Telepon terputus.
Ah, sial! Kau di mana? Tanyaku dalam hati. Namun, beberapa saat kemudian, ternyata kau mengirimkan share-loc. Aku segera menutup laptop, berkemas sebentar dan meluncur ke alamat yang kaukirimkan. Dalam perjalanan, pikiranku campur aduk. Menyesal telah membiarkanmu pergi. Pula terlalu bersikap biasa saja karena selama ini aku memang tak ingin mengekangmu. Apa kau baik-baik saja? Aku menggeleng keras. Tidak. Kau pasti baik-baik saja. Segera kupercepat laju mobil. Tak peduli para pengguna jalan lain yang mengklakson berkali-kali. Setiba di lokasi, ternyata kau sudah menunggu di depan pintu masuk apartemen. Entah apartemen siapa. Aku seperti baru kali pertama kemari.
Cepat kupapah tubuhmu masuk ke dalam mobil. Kau langsung merebah sambil memegang perut bagian atas sekitar ulu hati. Aku mengucap kata sabar seraya mengelus kepalamu. Namun, mataku tetap fokus ke arah jalan, sesaat membanting setir dan mobil melaju lagi. Kau harus kubawa ke rumah sakit, tekadku. Beruntunglah, untuk menuju ke rumah sakit terdekat hanya memerlukan waktu sepuluh menit. Kita pun akhirnya sampai. Memeriksa sebentar, dokter mengatakan kalau kau menderita maag. Hingga mau tak mau mengharuskanmu opname untuk beberapa hari.
Hari kelima kau mendekam di rumah sakit, tubuhmu justru terlihat amat kurus. Namun, kau masih terlihat cantik. Tak ada bedanya bagiku, sama saja. Hanya, aku tak habis pikir, kenapa selama ini aku tak tahu kalau kau selalu menyembunyikan penyakit itu? Tak terasa, air mata meleleh di pipi saat menatap matamu yang masih terpejam. Sungguh, aku lelaki yang tak peka sama sekali, rutukku dalam hati seraya menunduk dalam-dalam.
“Bram?”
Aku mendongak. Ah, rupanya kau terbangun dan memanggilku dengan suara lemahmu.
“Ya?” jawabku lekas. Segera kuhapus air mata dengan punggung tangan.
“Apa kau masih ingin bersamaku?”
“Kau bicara apa? Pertanyaan retoris.”
“Aku menyesal karena tak pernah mendengar apa katamu. Berita tentangku di kelab sudah tersebar. Image-ku sudah jelek.”
“Tenang saja. Tak perlu khawatir. Aku masih punya segudang ide gila untuk bisa dijadikan bahan tulisan. Kita bisa hidup dari situ. Kau tak usah bekerja lagi. Aku ingin kita punya anak, Karin.”
Air itu kini mendadak mengalir dari ujung matamu yang konon, kata salah seorang peramal di negeri ini, itu tandanya kau sedang terharu. Sungguh, setelah pergi, apa kau juga memiliki pemikiran yang sama denganku? ***
.
.
Semarang, Juli 2021
.
Setelah Kau Pergi. Setelah Kau Pergi. Setelah Kau Pergi.
Leave a Reply