Cerpen, Predianto, Radar Madiun

Warok Jadi Rektor

2.7
(3)

Cerpen Predianto (Radar Madiun, 03 Oktober 2021)

WAROK adalah seorang dosen di salah satu kampus yang ada di Ponorogo. Dia sangat dekat dengan mahasiswa.

Pun selalu ramah dan santun kepada dosen sejawat. Kehadirannya di kelas selalu dinanti oleh semua mahasiswa yang diampunya. Warok adalah dosen idola bagi seluruh mahasiswa di kampus.

Suatu ketika Warok menerima kritikan dari Riyan, salah seorang mahasiswanya. Riyan protes dengan kebijakan Warok dalam mengajar lantaran dinilai memberatkan. Warok membuat kebijakan dalam satu semester mahasiswa harus membedah minimal 10 buku untuk semua disiplin ilmu. Pun harus dibedah secara bergiliran.

Riyan protes melalui rubrik opini koran lokal Ponorogo yang terbit satu kali dalam sepekan. Kebetulan Warok selalu berlangganan koran dan tidak pernah ketinggalan berita terhangat. Ketika membaca opini dari mahasiswanya itu, sontak Warok langsung menghubungi yang bersangkutan. Kebetulan siang itu ada kelas dengan mahasiswa penulis opini. Akhirnya Warok memutuskan menghubungi ketua kelas agar Riyan dipastikan ikut kelas.

Setelah menghubungi ketua kelas, Warok yakin Riyan tidak mungkin izin. Sebelum berangkat, tidak lupa Warok membawa koran berisi sindiran terhadapnya. Setelah masuk kelas dan melancarkan tegur, sapa, dan salam, di sudut ruang tampak wajah Riyan agak berbeda dari biasanya karena melihat dosennya membawa koran.

“Siapa yang baca koran hari ini?” Warok bertanya pada mahasiswanya.

“Saya, Pak.” Hanya Riyan yang angkat tangan.

“Mulai sekarang saya tidak mewajibkan kamu ikut mata kuliah saya. Saya jamin nilai kamu sudah A nanti,” seru Warok.

“Lho, kok bisa begitu, Pak?” tanya Riyan kaget.

“Saya sudah baca tulisanmu di koran ini dan saya sangat mengapresiasi tulisanmu. Saya berterima kasih kepadamu hari ini karena bisa membuat saya evaluasi diri,” tegas Warok.

“Saya minta maaf, Pak,” aku Riyan sembari menunduk.

“Teman-teman yang lain, siapa saja yang tulisannya bisa tembus koran seperti Riyan, saya jamin nilainya A dan tidak saya wajibkan untuk mengikuti kuliah saya!” seru Warok kepada mahasiswa satu kelas.

Sejak saat itu, semua mahasiswa rajin membaca koran untuk melihat contoh-contoh opini setiap harinya. Mereka juga melihat kejadian sisi lain yang tidak pernah didapatkan ketika mencari informasi dari gadget. Kejadian yang menimpa Riyan seperti menjadi sebuah gerakan mahasiswa sadar koran. Jika selama ini mahasiswa distigma sebagai sosok yang bisanya hanya hura-hura dan main game, kini mereka membantahnya dengan sebuah implementasi konkret. Mahasiswa ketika itu merasa senang dan bangga memiliki dosen yang dapat menerima kritikan.

Baca juga  Balada Bayang-bayang

Namun, mahasiswa seakan-akan tidak dapat terhindar dari masalah yang pelik. Ada-ada saja masalahanya. Datang lagi masalah baru dari salah seorang mahasiswa yang kesulitan membayar kuliah di semester kali ini. Akibatnya, Junto—mahasiswa yang bermasalah itu—tidak masuk kuliah selama tiga pertemuan. Rupanya Junto juga mahasiswa Warok. Warok mendengar itu dari teman sekelas Junto.

Setelah mendapatkan informasi tersebut, Warok bergegas menuju tempat tinggal Junto. Dia datang diam-diam untuk mengintip bagaimana kehidupan Junto sehari-hari.

Warok melihat mahasiswanya itu sedang mengais sampah dengan adiknya yang masih kecil. Junto keliling menuju rumah-rumah warga membawa gerobak yang berisikan sampah. Warok mengikutinya dari jauh. Berhati-hati agar tidak ketahuan. Warok kemudian melihat Junto istirahat di sebuah warung. Tetapi adiknya tidak diajak masuk. Tidak beberapa lama kemudian Junto keluar dengan membawa sebungkus makanan.

Makanan itu dia makan berdua dengan adiknya. Warok tidak tahu pasti nasi beserta lauk apa yang mereka makan. Yang tebersit dalam hati Warok hanya rasa iba melihat perjuangan Junto.

“Hai, Junto.” Akhirnya Warok keluar dari persembunyiannya dan mendekati Junto.

“Lho, Ba…ba…pak. Mohon maaf, Pak Warok,” jawab Junto terbata sambil menjabat tangan Warok.

“Kamu kenapa lama tidak masuk kuliah? Kan tinggal sedikit lagi kamu hampir wisuda.”

“Ya beginilah, Pak. Saya rasanya ingin menyerah. Sudah dari SMK saya sekolah sambil bekerja. Sampai semester lima ini rasanya sudah tidak kuat lagi, Pak,” ungkap Junto tertunduk.

“Kamu ini berjuang kok setengah-setengah. Kamu kan anak organisasi. Teman-temanmu kebingungan mencarimu. Mereka rindu dengan gagasan brilianmu,” tutur Warok memberi motivasi.

“Iya, tapi mereka datang ketika butuh saja. Sedangkan ketika saya kesulitan membayar kuliah, mereka santai saja karena disubsidi orang tuanya. Asal bisa membayar, teman bisa terlupakan, Pak. Lebih baik saya mencari penghidupan seperti ini,” ucap Junto.

Baca juga  Segelas Kopi pada Suatu Malam Minggu

“Kamu ini sebenarnya punya potensi untuk sukses, Junto. Nilaimu juga bagus-bagus. Memangnya berapa uang kuliah yang belum terbayar?” tanya Warok ingin tahu.

“Empat juta, Pak,” aku Junto masih menundukkan kepalanya.

“Ya sudah, kamu besok masuk kuliah saja. Masalah tunggakan kuliah jangan dipikirkan.”

“Alhamdulillah,” seru Junto bahagia, dilanjutkan mencium tangan dosennya itu berkali-kali.

“Tapi, ada satu syarat yang harus kamu penuhi,” ucap Warok mengagetkan Junto.

“Apa itu, Pak?”

“Mulai sekarang kamu harus menjadi mahasiswa yang kritis terhadap kampus. Suaramu jangan hanya kau pendam. Sampaikan segala keresahanmu. Kalau bisa, kamu harus rajin menulis hingga diterbitkan di koran-koran meskipun tingkat lokal. Bagaimana?”

“Baik. Sesuai permintaan Bapak, saya akan belajar lebih giat dan kritis terhadap kampus sebagai bentuk cinta dan kepedulian saya, Pak,” janji Junto.

Akhirnya sejak saat itu Junto menjadi mahasiswa yang selalu dicari oleh organisasi lain untuk diundang sebagai pemateri. Juga sebagai perwakilan aspirasi mahasiswa. Junto mampu menjadi soroton mahasiswa hingga tidak apatis terhadapnya. Menjadi tokoh penggerak bagi semua ormawa kampus, pun ramah terhadap internal maupun eksternal. Akhir-akhir ini Warok sering melihat kejanggalan-kejanggalan yang serius. Dia mendapati program-program yang diberikan kepada seluruh mahasiswa dirasa kurang bermanfaat dan hanya memberatkan. Kurikulum yang diberikan pun tidak sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan mahasiswa. Padahal kampus terlihat maju dengan bangunan megah. Namun, SDM belum unggul.

Kampus juga kurang mewadahi mahasiswa-mahasiswa yang kritis dan terlalu takut pada kritikan. Saat ini Warok masih bisa bersyukur. Setidaknya kelas yang diampunya mampu memberikan suasana kelas sebagai ruang berpikir, bukan ruang dogma dan doktrin. Ironisnya, Warok mendapat panggilan dari rektorat akibat ulahnya yang dianggap provokatif dan cenderung tidak pro dengan kampus, dicap liberal, paham kiri, dan lain sebagainya.

Bagi Warok, kampus adalah ruang berpikir yang ilmiah. Warok yakin banyak potensi dan nalar kritis mahasiswa saat ini dikebiri dengan ancaman nilai. Keresahan itu ditambah adanya dosen-dosen lain yang masih konservatif sehingga sulit untuk diajak berpikir maju. Hal itu membuat Warok semakin geram dan rasanya ingin mengubah dari bawah. Tapi, napasnya megap-megap.

Baca juga  Perempuan Berwajah Palsu

Bulan Maret adalah masa pergantian rektor. Warok digadang dihalang-halangi untuk maju menjadi rektor karena pemikirannya dinilai sangat membahayakan bagi kelangsungan dan ketenangan kampus. Mahasiswa mulai dibungkam dan dipalingkan dengan kelancaran anggaran kegiatan. Atasan mencari cara agar tidak campur tangan dan mengganggu kontestasi yang sedang ada di kampus sendiri.

Apalagi, mereka yang sudah dekat dengan petinggi seakan menyembunyikan narasi-narasi berbau kritisi. Intelektualitasnya seperti tergadai, diam seribu bahasa dengan dalih bukan ranah saya. Ancaman dan tekanan dari atas seperti golok yang dikalungkan di leher mereka. Sekali mulut terbuka, nyawa taruhannya.

Warok terus menggelora di tengah kontestasi. Kali ini dia berambisi untuk mejadi rektor. Dia mengumpulkan mahasiswa yang sering dibinanya untuk membuat propaganda agar dalam asas pemilihan rektor dilakukan secara demokratis melibatkan seluruh civitas akademika. Demo rektorat berlangsung hingga beberapa hari sampai suara mereka didengar oleh jajaran senat.

Akhirnya regulasi pemilihan itu diganti menjadi asas pemilu raya. Saat itu Warok menjadi salah satu calonnya. Dia tidak begitu yakin dengan keadaannya sekarang yang dikepung sana-sini. Stigma negatif yang berseliweran membuat Warok sedikit pesimis. Namun, di sisi lain, dia sangat optimis karena mempunyai keyakinan terhadap mahasiswanya.

Pemilihan pun tiba. Seluruh civitas akademika beramai-ramai memilih dalam kontestasi itu. Mahasiswa sambil kerja, mahasiswa malam, mahasiswa pagi, mahasiswa sore, semua berkumpul dan bersama-sama menyukseskan pemilihan rektor saat itu.

Hingga akhirnya penghitungan suara dilakukan secara terbuka di tempat umum, tepatnya di halaman rektorat. Benar, akhirnya Warok-lah yang terpilih sebagai rektor. Mahasiswa senang, kecuali mereka-mereka yang kurang setuju dengan pemikiran dan jalan hidup Warok. ***

PREDIANTO. Ketua komisariat FAI Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Loading

Average rating 2.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!