Cerpen, Khoirul Abidin, Radar Bojonegoro

Bulan Mulud dan Mata yang Anjing Sekali

Bulan Mulud dan Mata yang Anjing Sekali - Cerpen Khoirul Abidin

Bulan Mulud dan Mata yang Anjing Sekali ilustrasi Tini/Radar Bojonegoro

0
(0)

Cerpen Khoirul Abidin (Radar Bojonegoro, 03 Oktober 2021)

KOTA ini kecil dan sungguh jauh dari ibu kota. Tetapi sangat tidak sulit menemukan gelandangan di trotoar jalan dan menjumpai peristiwa-peristiwa kerap terjadi di ibu kota. Mulai banjir, kebakaran, begal payudara, misalnya.

Dulu, di kota kecil bebas dari asap pabrik, ada banyak pondok pesantren dan salah satunya peninggalan salah satu Wali Sanga. Tempatnya di ujung utara kota. Hanya beberapa meter dari laut. Jadi kau bisa mencium aroma garam di sana dan merasakan sejuk udara meski tempat itu penuh sesak santri dari berbagai desa.

Hampir seluruh penduduk memeluk agama Islam dan kota kecil ini selalu meriah ketika bulan Mulud datang. Begitu pun saat Lebaran, Tahun Baru, dan hari pemilihan wakil rakyat. Namun, kibaran bendera para pecinta salawat hanya bisa kaulihat ketika bulan Mulud, yaitu saat gebyar salawat berlangsung.

Tahun ini, Wali Kota menggelar gebyar salawat tepat pada tanggal jatuhnya Maulid Nabi, yaitu malam ini. Ribuan orang berkumpul di stadion bersalawat. Lihatlah, di antaranya ada sepasang pengantin baru dari desa yang jauh. Panitia membuat garis batas antara laki-laki dan perempuan. Tetapi, kau tahu, pengantin baru selalu ingin bersama. Mereka cerdas; sepasang pengantin baru itu memilih tempat agak remang dan di belakang para pengibar bendera. Laki-laki itu yakin acara ini penuh rahmat Tuhan, dia tidak percaya kepada istrinya mengatakan bahwa mereka dituntun setan melanggar peraturan panitia.

Sementara Sang Habib naik ke panggung tidak terlalu tinggi. Wali kota masih berpidato karena itu orang-orang mulai berteriak—yang paling keras adalah anak-anak pengibar bendara; mereka sudah tidak sabar. Akhirnya wali kota menyudahi pidatonya dan stadion gemuruh gemerincing rebana dan puji-pujian kepada Baginda Nabi. Bendera-bendera itu beraneka warna dan ukuran. Ada bergambar wajah Gus Dur, bertuliskan nama desa mereka, dan banyak lagi.

Tidak ada kericuhan meski kadang kala satu dua pengibar bendera bersenggolan bahu karena tidak seragam menggoyangkan badan. Juga tidak terjadi perkelahian meski beberapa pedagang keliling menginjak kaki satu dua hadirin, dan segera meminta maaf. Mungkin apa yang dikatakan perempuan tadi bahwa ada setan di lapangan ini tidak benar, karena tidak ada emosi meledak dari diri seorang pun. Tenteram.

***

Gebyar salawat selesai dan orang-orang buyar meninggalkan stadion. Pengantin baru itu datang berkendara motor, tapi ia tidak bergegas pulang. Mampir dulu ke tempat makan lesehan tanpa atap dan aling-aling berjajar di sepanjang trotoar Jalan Pramuka.

Ya, hanya di Jalan Pramuka inilah kau bisa menemukan nasi liwet, makanan khas kota kecil ini. Tetapi, jangan sekali-kali kau berniat mencicipi makanan itu pada pagi dan siang kecuali siap kecewa. Sebab, bakda Asar para perempuan itu baru dhasar atau berjualan. Kira-kira satu jam sebelum Subuh mereka berkemas—jika beruntungm tentu mereka bisa pulang lebih cepat.

Baca juga  Arloji

Terhitung ada 25 penjual. Mungkin lebih, penjual nasi liwet di kiri kanan trotoar Jalan Pramuka. Jika tak ada pembeli, mereka akan bercakap-cakap mengusir kantuk dan mencamil jualannya sendiri, misalnya rempeyek. Jarak antaranya dekat, selebar jangka kaki orang dewasa sebagai jalan.

Laki-laki itu, dua tahun lalu, sering makan di sini setelah latihan teater di kampus sampai malam. Ia punya satu tempat favorit, yaitu milik Yu Tun. Masakan Yu Tun cocok.

Tetapi, malam ini tempat makan Yu Tun penuh. Dari atas motor laki-laki itu melihat tiga laki-laki dan dua perempuan bersila di tikar dengan tangan kiri menopang daun jati hijau berbentuk kerucut berisi nasi liwet. Mereka makan sambil berbincang. Kau tahu, itu pasti akan menghabiskan waktu lebih lama. Tetapi, dasar orang setia, laki-laki itu tetap tidak mau pindah ke tempat lain.

Melihat tak ada ruang di tempat parkir Yu Tun, laki-laki itu menghentikan motornya di depan tempat makan sebelahnya. Dilepasnya helm lalu digandengnya tangan istrinya menuju tempat makan Yu Tun. Masih ada tempat duduk di depan motor terparkir, pikir laki-laki itu, meski sempit dan harus beralas sandal sendiri.

Tetapi, baru dua langkah kecil, perempuan itu tiba-tiba melepaskan tangannya dan balik badan menghampiri penjual lahan parkir yang ditempati motornya. Penjual itu tadi membuka kain penutup wadah nasinya terbuat dari anyaman bambu, menyeret daun pisang digunakan menutup ikan-ikannya, memegang entong, dan hampir mengangkat contong daun jati hijau ketika mereka memarkir motor. Saat itu, perempuan itu mendengar seperti bisikan yang mengatakan bahwa ia harus mengikuti suaminya. Maka, ia pun mendampingi suaminya.

Sesaat ia tersentak oleh pikirannya sendiri dan ia merasa jahat. Ingat ia pernah mendapat dengar dari ceramah pengajian, bahwa setan suka sekali melihat manusia berbuat jahat. Ia tidak ingin bersekutu dengan setan. Jadinya ia meninggalkan suaminya dan menyebut nama Tuhan dan melupakan bisikan lembut tadi, kini diyakininya bisikan setan. “Setiap penjual pasti menanti pembeli. Tak ada yang tak sakit diberi harapan palsu,” batinnya di hadapan perempuan wajahnya kembali segar.

***

Angin tengah malam sering membuat perut siapa saja masih terjaga lapar, apalagi tidak terisi sejak siang. Seorang lelaki tua membuka matanya tidak bersahabat. Kakinya menjejak ke bawah karung putih membungkus bagian bawah tubuhnya. Lalu ia bangkit dan melipat karung. Wajahnya tak menunjukkan keadaan orang baru bangun tidur meski gerakannya tampak tak semangat?

Ke Timur ia berjalan; berpisah berapa waktu dengan karung dan halaman toko yang tutup. Udara menguar bau tubuhnya kurang enak ke sekitar. Beberapa lalat menjadi pengawalnya; mengikuti ke mana ia pergi dan menolak semua perintahnya.

Baca juga  Maaf

Perutnya perih. Toko roti dan kantor polisi sepi sudah dilewati dan tidak apa pun bisa ia ambil. Agak jauh, ia berhenti sejenak, memandang warung kopi di seberang jalan. Kembali melangkah karena tak menemukan tempat sampah di dekat warung. Mungkin di dalam ada, tapi ia sudah tidak ingin mengganggu orang lain.

Pengalaman itu ia dapat suatu sore ketika ia memasuki rumah makan dan sebagian pengunjung makan memandangnya dengan tatapan anjing sekali. Sebagian lagi berhenti makan dan menutup hidung masing-masing, lalu salah seorang pelayan menggiringnya ke luar tanpa sesuatu apa pun.

Lampu lalu lintas, di perempatan jalan, tinggal kedip oranye saja. Lambai ranting pepohonan menyuntikkan dingin di kulit lelaki tua. Gemetar tubuhnya. Sebentar-sebentar tangannya menyapu-nyapu udara di muka, tetapi tetap tidak bisa membuyarkan rombongan kunang-kunang berputar di sekitar kepala.

Lelaki tua berhenti lagi, melihat seekor codot menikmati jambu air merah di pohon halaman rumah penghuninya sedang tidur. Ingatannya terpelanting sebuah potret tercetak di koran beberapa bulan lalu dibuat lemek pantatnya ketika tidur malam dan dikencinginya pada paginya. Kepada seekor codot memakan buah pohon orang lain, ia bisa maklum. Tetapi kepada seseorang memakan hak orang lain, ia benar-benar geram. Sudah bisa makan enak setiap hari secara teratur, rumah layak, dan barang-barang mewah, tapi masih saja kurang.

Ada tertangkap matanya segelas kopi tandas, sebungkus rokok kempis ditumpangi korek api. Sebungkus tahu lontong, mungkin, di meja kecil samping kursi diduduki seorang satpam mendengkur di belakang gerbang tepat. Tetapi lelaki tua, meski tampak menjijikan di mata sebagian orang, tidak seperti codot dan orang itu.

Seorang pengendara motor berlalu. Sebuah jembatan merentang di atas kali cukup lebar. Lelaki tua memasuki kawasan penjual nasi liwet. Dilihatnya kanan kiri karena itu sebenarnya ia tidak ingin melintasi jalan tersebut. Takutnya, seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, orang-orang akan kehilangan selera makan saat melihatnya.

Tetapi ia melangkah juga ke timur, melewati jalan itu dan orang-orang yang makan, karena matanya melihat tong sampah besar di bawah pohon ujung jalan. Berjalan hati-hati dan menunduk. Ia ingin tak ada yang tahu. Ia tak ingin ada yang terganggu.

Mahaagung Tuhan melindunginya. Orang-orang tetap makan dan para penjual, mempunyai banyak makanan, membiarkannya lewat dengan tenang. Ia senang bisa sampai ke tujuan tanpa hambatan; tak ada seorang pun memanggilnya.

Mulailah ia mengaduk-aduk tong sampah. Kresek, tusuk gigi, tisu, daun jati, bungkus rokok, kertas minyak, koran. Keringatnya menetes meski udara dingin. Beberapa pasang mata orang sedang makan memandangnya, ia tak tahu, lalu kembali menatap nasinya masing-masing.

Telinganya mendengar wajan dipukul-pukul. Lelaki tua tersenyum, telah menemukan tiga potong kecil martabak dirubung semut di sebuah kotak kertas penyok. Dibawanya martabak ke trotoar, sementara bunyi wajan semakin dekat.

Baca juga  Mitoni Terakhir

Ia bersila menghadap selatan. Sebagian orang makan melihatnya. Juga para penjual nasi liwet, hanya melihat, sambil menunggu uang dibayarkan pembelinya. Merasa jadi tontonan, ia mundur beberapa langkah. Mengambil tempat duduk di gang sempit antara swalayan dan kantor pengadaian menghabiskan sisa martabak.

Ia mengunyah martabak terakhir dan tak menyadari bahwa tempat persembunyian itu masih terjangkau sepasang mata. Seorang penjual nasi goreng keliling berhenti di bawah lampu jalan mengamatinya lekat-lekat. Tentu saja bukan tempat strategis penjual nasi goreng menunggu pembeli, karena di muka adalah kawasan penjual nasi liwet.

Tak lama lelaki tua mengembalikan kotak penyok yang kosong ke tempat semula. Penjual nasi goreng, agak tergesa, mendorong gerobaknya menghampiri lelaki tua sudah berjalan ke barat.

Seorang perempuan muda, berjuang menghabiskan makanannya sambil berbincang serius dengan lelaki muda berada di sampingnya berada di tikar berbeda. Diam-diam memotret adegan kemanusiaan di timur sana. Karena terlalu asyik makan dan debat dengan lelaki di sampingnya, perempuan itu sama sekali tidak tahu apa pun terjadi di sekitar sebelumnya.

Perempuan itu tak lagi berhasrat menanggapi omongan lelaki di sampingnya. Ia membuka telepon genggamnya, membuka laman Facebook, mencari sebuah grup kota kecilnya dan menggungah gambar barusan ia ambil. Meski bulan kian jauh, masih banyak orang belum tidur. Unggahan tersebut, diberi keterangan sangat jelas dengan menulis kembali tanda pengenal di kepala gerobak itu, mendapat puluhan like dan belasan komentar.

Beberapa berkata: Jangan hanya menyuruh, tapi belilah juga! Ada lagi: Terkutuklah orang hanya memotret dan tidak memberi! Lainnya lagi: Mulia sekali hati Pak Di. Lainnya lagi: Tuhan pasti akan membalas kebaikannya.

Keeosakan paginya unggahan itu berlipat ganda dibagikan lebih dari seratus akun Facebook. Malamnya, ketika baru dari rumah dan berhenti sekali di terminal, gerobak dorong bertuliskan “Nasi Goreng Pak Di” itu langsung dikerubungi pembeli berlapis-lapis. Seakan hanya ia penjual nasi goreng di kota kecil ini pada malam itu.

Istilah orang kota kecil ini: bokongnya sing dodol ora ketok (bokongnya penjual tidak kelihatan). Lapisan-lapisan itu tidak putus-putus, dari bakda Isya sampai pukul sembilan berapa menit. Keadaan itu membuat Pak Di senang meski tangannya kiyu atau letih. Baiknya, ia menjual nasi goreng seperti biasa; tidak meninggikan harganya dan tidak pula mengurangi bumbu dan takaran nasinya. ***

.

.

Khoirul Abidin, lahir di Lamongan. Bisa disapa melalui akun Instagram @irulbidin.

.
Bulan Mulud dan Mata yang Anjing Sekali. Bulan Mulud dan Mata yang Anjing Sekali. Bulan Mulud dan Mata yang Anjing Sekali.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!