Beni Setia, Cerpen, Koran Tempo

Sentimental Journey

Sentimental Journey - Cerpen Beni Setia

Sentimental Journey ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo

2.8
(5)

Cerpen Beni Setia (Koran Tempo, 10 Oktober 2021)

HANYA bisa mendapatkan kereta ke Jakarta, itu pun harus berputar ke utara, tidak bisa langsung ke Bandung meski dengan karcis tanpa tempat duduk. Dan aku amat enggan—dan karenanya aku memilih perjalanan di esok hari.

Ketika berangkat, pas ketika menjelang maghrib, pas ketika kereta naik ke kaki Gunung Lawu di sisi selatan Ngawi: matahari mau tenggelam di langit berwarna marong, di senja berkilauan, dan dari jendela di kiri kereta itu terpantul di pesawahan yang baru selesai digarap.

Lumpur yang telah diratakan itu kini dipenuhi limbah air hujan—padahal itu ditata agar kering, pepal, sebelum diberi garis silang-menyilang, titik buat menanamkan padi di esok pagi. Dan awan sisa hujannya masih bergayut, tapi di beberapa titik ditembus sinar surya petang, sehingga di beberapa tempat terlihat menyilaukan, dengan lengkung kubah langit marong. Penghujan itu telah kembali. Hari baru untuk bertani sedang dimulai. Siklus mulai berputar, berulang.

Ini mengesankan, pikirku—tapi benarkah? Aku teringat akan sebuah perjalanan dari sisi lain, sisi barat, ketika kereta terlambat meniti di sisi utara kaki Gunung Lawu. Dan ketika tuntas menderu menuruninya, subuh telah lama berlalu, dan keremangan membuka Lembah Madiun dengan pesawahan siap panen, atau julangan rumpun padi telah ditebas dari dekat akar setelah panen.

Embun kilau diterangi pagi, matahari bulat kemerahan di sisi timur. Aku menangkap hamparan kesepian yang akrab dari jendela di sisi utara kereta saat melaju ke timur, dan aku menangkap ada ketenangan seusai suntuk bertani dan aku merasa berada di kampung sendiri meski jaraknya hampir 500 kilometer di timur. Aku merasa bukan anak wilayah tapi anak waktu, merasa betah ketika pagi menggejala? Benarkah?

Baca juga  Kota-Kota Rantauan

Tapi itu kini tidak terasakan ketika hari mau kelam dalam perjalanan ini, ketika petang menggejala—seperti di perjalanan pulang menuruni kaki bukit, dengan langit marong, denging dari tonggeret, serta lantunan adzan dari lembah sebelum semuanya mereda dalam remang.

Tapi apa aku kini akan kuat sampai di rumah dari perjalanan ini, kalau keberangkatan dimulai kemarin petang dengan datang kabar telepon: Ibu meninggal—dan aku menelepon balik, minta tidak perlu ditunggu sebab baru sampai di lusa siang, karena tak mau bila harus berputar ke Jakarta—dan dengan tak berputar aku pasti terlambat mengejar pemakaman—sehingga Ibu bisa dikuburkan secepatnya.

***

RUMAH kami di lembah, dikurung perbukitan. Sehingga pagi baru menggejala ketika cahaya matahari sampai di bukit serta mencorong ke lembah menjelang tengah hari, dan senja mendadak jadi cepat remang karena sinar matahari tertapis bukit. Ada mata air yang mengalir di sepanjang tahun, muncul di bawah kanopi kiara.

Ada setapak yang menuju ke kota di timur—dengan menyeberangi sungai dan tiba di jalanan kabupaten. Ke Ciwidey—dengan lereng dipenuhi bambu. Dan hanya ada jejeran bukit, bersambungan, serta lembah sempit di mana sungai kecil mengalir dengan tepian penuh semak-perdu, dengan jalanan tanah yang terus naik dan naik dan nanti turun di jalan makadam. Nun di sana. Di balik bukit-bukit—nun berjalan kaki setengah hari.

Di bukit selatan, ke selatan dari rumah, terletak pekuburan kampung, dan di sana Ibu akan dikuburkan. Aku hanya akan mengunjungi gundukan tanah merah. Ya!

Karena kereta baru sampai pagi hari, meski aku bergegas mencari angkutan dari stasiun ke terminal, serta mencari kendaraan pertama ke kota kecamatan—serta menunggu angkutan yang ke barat, lantas turun di jalan simpangan, berjalan—aku carter dokar—memotong ke utara, naik ke sisi barat di juluran bukit-bukit. Setelah itu, baru ke rumah, berangin-angin dan merasakan sepi di rumah tanpa Ibu.

Baca juga  Di antara Keheningan

Kemudian mandi, mencari se-ciap kedamaian di antara kerumunan saudara dan kenangan memberat tentang Ibu—yang telah tiada dan tak mungkin ditemui lagi.

Dan aku memilih ke luar untuk menatap lembah dari bukit di sebelah utara—juga mengawasi bukit pekuburan Ibu di seberangnya. Pelan menelan ludah dan berjanji kepada diri sendiri di dalam diri: tidak akan pulang lagi karena aku telah kehabisan tujuan pulang. Tak siap untuk bertemu dengan kerinduan—kehilangan abadi.

***

SEKARANG aku di stasiun lagi. Tanpa tiket dan melulu memburu tiket jual langsung—ingin secepatnya pulang, menghilang dari kampung, karena di sana aku hanya merasakan kehilangan dan ketidakmungkinan bertemu dengan Ibu. Ya!

Aku mendapatkan karcis tanpa tempat duduk di kereta ke Surabaya—mungkin itu di gerbong pertama di belakang loko, atau mungkin di gerbong belakang. Tapi tak peduli di mana. Apa pun, aku hanya ingin kereta terlambat. Mustahil!

Dan—seperti seharusnya—sebelum subuh kereta naik ke kaki Gunung Lawu, di sisi barat, kemudian masuk ke Lembah Madiun saat pagi merekah dan matahari merah pelan memutih—menyilaukan mata. Tapi aku kembali berjumpa dengan momen pertama kali itu, ketika kereta tiba setelah subuh, ketika pagi menggejala serta panen baru mau dimulai atau telah tuntas, ketika embun berkilauan di rumput di tengah keremangan pagi yang sunyi dan damai.

Nun—di tujuh tahun yang lalu. Seperti dulu, seperti ketika Ibu masih hidup. Ketika pulang menjanjikan kepenuhan karena jiwa digemburkan kasih. Dahulu.

Sekarang harus ada suatu hari baru lain—sebuah hari yang dimulai dengan kedamaian, sehingga aku lupa pada kampung, pada Soreang, pada Ibu yang dikirim ke bukit selatan dan kekal terkubur di sana.

Baca juga  Kota Palsu

Dan aku teringat akan keberangkatan yang terlambat kemarin, ketika mentari senja terpantul di pesawahan siap tandur yang digenangi limbah air hujan dan menjadi kolam yang memantulkan langit marong, dengan beberapa hiasan awan di sisa mendung penghujan bergayutan, terserak.

Tahu. Aku akan dilupakan orang sebab meninggal di tempat asing, sekaligus tidak akan menjadi beban bagi siapa pun karena hanya si pengembara yang cuma melintas. Tidak apa. Sebab, kerinduan kepada si yang meninggal tidak akan bisa dituntaskan, kecuali dengan menyusul mati. Ya!

Tapi buat apa merindukan Ibu? Apa karena aku baru ditinggal meninggal dan tak akan bertemu lagi? Aku tidak tahu. Aku kini secepatnya pulang ke timur, tenggelam di Lembah Madiun berpayung julangan si Gunung Lawu—dan sesekali berusaha mengajak anak-istri mengunjungi “tanah leluhur”, nanti.

Tapi sampai di kepulangan ke rantau kali ini, bahkan sampai kini, masih terbersit keinginan untuk tidak pulang—untuk tak perlu berziarah dan kembali merasa kehilangan. Memilih untuk melulu tak memperbaharui rasa kehilangan yang kekal—yang bersama berlalunya waktu seharusnya akan memudar, yang malahan memperkuat dan memperpekat kerinduan. Memang! ***

.

.

19/08/2016

Beni Setia. Pengarang. Kini dia menetap di Caruban, Jawa Timur.

.
Sentimental Journey. Sentimental Journey. Sentimental Journey. Sentimental Journey.

Loading

Average rating 2.8 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!