Koran Tempo, Mardi Luhung, Puisi

TERUSAN BUAT ULIK

TERUSAN BUAT ULIK - Puisi-puisi Mardi Luhung

TERUSAN BUAT ULIK ilustrasi Rio Ari Seno/Koran Tempo

5
(3)

Puisi-puisi Mardi Luhung (Koran Tempo, 10 Oktober 2021)

SERATUS HARI PERTAMA

.

Aku menulis. Menulis puisi tentang rumah-rumah yang berukuran 13 x 5 meter. Jalan-jalan yang dipaving. Dan kucing-kucing yang datang-pergi. Juga para warga yang kerap terlihat dan yang tersembunyi. Yang menyapa di pagi hari atau malah cuek ketika sore menjelang. Sambil menelisiki bunga-bunga di halaman. Bunga-bunga yang barusan mekar atau yang sudah gugur.

Dan di depan rumahku, dahan pohon jambu kristal memanjang. Menjangkau kabel listrik. Kata seseorang: “Pak, segera dipotong. Jika turun hujan. Berbahaya.” Lalu melintas tiga remaja dengan gitar dan ketipungnya. Mau ngamen di mana mereka? Apa lagunya masih tetap lagu cinta dari si pelaut yang jauh dari si pacar? Si pelaut yang tangguh.

Salah satu kaos remaja itu bertulis: “Hidup hanya menunda kekalahan.” Di bawahnya, ada tanda tangan dari seseorang yang diingat sebagai yang berkata: “Di Karet, di Karet, daerahku yang akan datang.” Lalu dari menara masjid terdengar pengumuman: “Setelah maghrib pengajian dimulai.” Pengajian tentang kitab nasehat bagi para abdi.

Kitab yang dulunya buku puisi. Yang kemudian diperluas menjadi jentrengan hikmah. Hikmah yang bermekaran. Dan aku mengisap udara. Seperti mengisap sesuatu yang berkebatan. Sesuatu yang berwarna merah, kuning, dan hijau. Sesuatu yang ketika malam, pun menyembul lagi lewat mulut. Naik ke kasur. Dan menelusup ke selimut. Terus menjelma jadi sekian domba.

Sekian domba yang berlompatan di pikiran ketika mata tak lagi mau terpejam.

.

(Gresik, 2021)

.

.

.

PAK K

.

Panggil saja Pak K. Rumahnya di kampung belakang. Umurnya sekitar 54 tahun. Beristri sederhana. Punya tiga anak: dua perempuan dan satu lelaki. Pak K jago membuat batu nisan. Batu nisan yang hanya menunggu pesanan. Sebab, tak mungkin dijajakan. Apalagi, watak setiap orang tak sudi untuk menyiapkan kematian. Meski, saat berbicara, kerap menyinggung tata cara yang sempurna ketika menyambut malaikat pencabut nyawa. Tata cara yang disertai dalil-dalil. Menurut Pak K, setiap akan didatangi pesanan batu nisan, dia bermimpi. Mimpinya macam-macam. Tapi yang kerap datang adalah mimpi tentang karung besar. Karung besar yang ketika dibuka menyembul seseorang. Anehnya, bentuk kepala seseorang itu tak terlihat sebagaimana mestinya. Melainkan, berubah-ubah. Kadang seperti traktor, gergaji, bendera, atau janji kosong yang berbunyi krek-krek-krek. Pak K pun mafhum. Besoknya, dia telah menyelesaikan batu nisan itu. Batu nisan yang bermodel dari apa yang terlihat dari kepala seseorang di mimpinya itu. Dan pesanan pun beres. Pak K dapat uang. Belakangan, Pak K ingin memperluas usaha pembuatan batu nisannya. Pergilah dia ke seksi dana kampung. Tapi, entah kenapa, seksi dana kampung cuma tertawa. Dari tawa itu, Pak K merasa bahwa seksi dana kampung menganggap usaha Pak K tak masuk akal. Sebab, dari berita yang ada, diketahui, kini orang-orang yang mati tak sudi makamnya diberi batu nisan. Tetapi, diberi semacam kisah panjang yang mesti didengar oleh siapa saja. Meski itu tak lebih semacam racauan. Yang selalu bermula dengan paragraf: “Tuan-Tuan dan Puan-Puan, di sini telah terbaring si manusia luar biasa. Si manusia yang telah membangun ini dan itu. Si manusia, yang hutang-hutangnya, cepat atau lambat, pun mesti kita lunasi.”

Baca juga  Di Ujung Belati

.

(Gresik, 2021)

.

.

.

TERUSAN BUAT ULIK

.

I

[06:58, 7/3/2021]: Tuhan, sembuhkanlah kami yang sakit. Permudahlah kami yang berobat. Tuluskanlah kami yang mengambil jarak. Dan izinkanlah kami tetap mengantongi janji, bahwa: “Kau adalah Tuhan kami. Tak ada yang lain.”

II

[07:13, 7/3/2021]: Barangkali kami sudah di bibir jurang. Tinggal sejengkal masuk jurang. Barangkali kami tak begitu setia. Suka cuek dan merasa besar. Dan jika sudah begini, mau apa? Barangkali cuma tertunduk dan menukas: “Bawalah kami pulang.”

.

(Gresik, 2021)

.

.

Mardi Luhung lahir di Gresik. Lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Buku puisinya, Buwun, meraih anugerah Khatulistiwa Literary Award 2010. Buku puisinya yang lain, Cumcum Pergi ke Akhirat (2017). Buku cerpennya Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011), dan segera terbit buku cerpen terbarunya: Jembatan Tak Kembali.

.

TERUSAN BUAT ULIK.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!