Cerpen Griven H Putera (Republika, 26 April 2015)
Sulaiman termenung dalam. Betapa takkan dalam menungnya, cincin berbatu aneh yang dihadiahkan seseorang tak dikenal tempo hari diambil Syekh Awal. Jika bukan Syekh Awal yang memintanya, pastilah ia akan menolaknya mentah-mentah.
Tapi, Syekh Awal? Siapa yang tak kenal Syekh Awal? Selain merupakan pimpinan pengajian duduk di kampungnya yang sekaligus guru spiritualnya yang terkenal keramat, beliau pun masih atok atau kakek Sulaiman. Ya, Syekh Awal merupakan adik dari nenek Sulaiman dari ibu yang berbeda.
“Kenapa Abang tampak bermenung beberapa hari ini?” tanya istri Sulaiman seusai makan malam.
Sulaiman tak menjawab. Bila diungkapkan kepada istrinya apa yang sedang dipikirkannya, ada beberapa hal yang akan terjadi. Pertama, kesedihannya akan bertambah bila mengenang cincin hadiah dari orang aneh itu. Cincin yang dirasanya telah memberi tuah dalam hidupnya itu. Cincin yang tak pernah lepas dari jari manisnya. Cincin yang selalu ditengoknya sebentar-sekejap.
Ketika memakai cincin itu, ia merasa semua orang segan dan sayang kepadanya sehingga ia merasa rezekinya terasa mengalir tak pernah tersendat seperti sebelum memakai cincin itu.
Kedua, istrinya pasti menyuruhnya mengambil kembali atau menukarkannya kepada tuan syekh lagi, dan banyak lagi instruksi istrinya yang akan memusingkan kepalanya. Dan semua itu akan membuat ia semakin sedih.
“Tak ada apa-apa,” kata Sulaiman menyembunyikan masalah yang sebenarnya.
Istri Sulaiman yang terkenal selidik dan sedikit cerewet pun meneliti sekujur badan Sulaiman. Ia lihat kepala, badan. Sampai di jari Sulaiman, mata istri Sualiman membulat, perempuan itu langsung bertanya. “Cincin Abang mana?”
Sulaiman tersentak, terkejut. Kemudian berusaha untuk setenang mungkin.
“Cincin Abang mana?” ulang istrinya.
“Diambil Atok.”
“Atok mana?”
“Syekh Awal.”
“Astaga. Cincin bagus itu kok diserahkan begitu saja? Kalau di Jakarta, harga cincin sudah mencapai puluhan juta, Bang.”
“Ada-ada saja kerja Abang ini. Besok ambil lagi!”
Hati Sulaiman terasa perih mendengar penuturan istrinya. Ia tak mendengar kelanjutan ucapan istrinya yang terus menghakiminya. Bayangan cincin tiga warna jernih pada batunya yang berselendang batik membayangi pikirannya. Sulaiman menarik napas panjang. Pelan-pelan ia tinggalkan meja makan. Ia tinggalkan istrinya sendirian.
“Abang mau ke mana?”
Sulaiman tak menjawab. Dengan wajah lesu, langkahnya lunglai menuju mushala kecil di sudut rumahnya. Biasanya kalau sudah suntuk dan berbagai hal rasa yang tak mengenakkan, ia akan ke ruangan itu. Ruangan itu tidak besar dan cantik benar. Ukurannya hanya 2 x 3 meter. Di dalamnya ada sebuah lemari buku dan meja rendah tempat Alquran. Di dindingnya terpajang beberapa foto ulama, para habib, dan lain sebagainya.
Jendela kamar itu terus terbuka. Sajadah merah hati terus terbentang menghala atau menghadap ke kiblat, yang di sudut kanan depannya tergulung seutas tasbih kayu.
***
Sulaiman betul-betul kesal dan sedih. Rasa ini seperti yang dialaminya ketika kehilangan mobil bus mainan yang dihadiahkan pamannya sepulang dari Singapura sewaktu kecil dahulu. Ingin menelepon Syekh Awal lagi tak mungkin. Jika tak diambil kembali, cincin itu terus mengganggu pikiran dan hatinya. Jujur saja, sejak cincin itu diambil Syekh Awal, semuanya terasa tak enak, makan tak enak, minum tak enak, sampai-sampai shalat dan berzikir pun terasa tak khusyuk.
Setelah menutup dan mengunci pintu mushala kecilnya, Sulaiman duduk terpekur di atas sajadah. Di luar, suara kaset mengaji dari beberapa masjid dan mushala terdengar saling berlaga. Suara-suara itu tidak memberi kesan tenang di hati Sulaiman. Suara kalam Ilahi yang selama ini membuat ia nyaman malam itu terasa lain. Ia marah dan kesal kepada penunggu masjid dan mushala yang membunyikan kaset mengaji kuat-kuat sehingga mengusik ketenangannya.
Dalam keadaan sangat galau itu, sambil menunggu waktu shalat Isya masuk, dengan rasa terpaksa ia ambil tasbih. Mulutnya kemudian komat-kamit membaca istigfar, memohon ampun dosa kepada Tuhan. Mungkin karena banyak dosa hingga begitu terpukul dengan perginya sebuah cincin. Padahal, apalah arti sebuah cincin batu? Bagaimana kalau suatu saat aku kehilangan anak? Kehilangan pekerjaan? Bagaimana kalau suatu ketika rumahku terbakar?
“Astaghfirullah,” Sulaiman beristigfar panjang.
“Ah, berapalah harga cincin itu? Kan bisa dibeli lagi,” katanya menghibur diri. Tapi, kata-kata penghibur itu tak juga membuat rasa sedihnya padam.
“Ambil lagilah cincin tu, Bang. Atau tukar dengan cincin lain, terdengar suara istrinya melengking dari luar.
Sulaiman semakin kuat mengucapkan kalam istigfar. Semakin lama semakin cepat, semakin lama semakin cepat, dan semakin kuat.
***
“Anakku, puncak teringgi dalam perjalanan spiritual adalah menjadi hamba yang mukhlisin dan akan berbuah mukhlasin. Dan itu sulit sekali mencapainya, Nak. Kita harus ikhlas dengan semua ketentuan Ilahi. Ikhlas menerima segalanya. Tuhan tak pernah bermaksud buruk kepada hamba-Nya. Ketika sesuatu diambil dari sang hamba, maka sesuatu itu belum atau kurang baik bagi hamba-Nya tersebut. Jadi, jangan sedih dengan kepergian sesuatu yang engkau cintai dan jangan terlalu gembira dengan anugerah yang engkau terima. Nikmat dan bencana keduanya bernilai sama; sama-sama ujian Tuhan buat sang hamba. Ingat ihklas, ikhlas, ikhlas. Ikhlaskan sesuatu yang pergi darimu. Yang mesti engkau takutkan hanyalah kehilangan Dia. Jika Dia pergi darimu, maka habislah engkau.”
Seorang berjanggut putih dan berpakaian serbaputih menunduk, mengambil sebutir batu. Diperlihatkannya sejenak kepada Sulaiman. Lalu batu itu digenggamnya kuat-kuat. Tak lama kemudian dibukanya tangannya. Batu kerikil jalanan itu tiba-tiba memancar sinar kemerahan.
Cahayanya menerangi tempat itu seperti cahaya merah di langit saat senja tiba. Terangnya bahkan jauh ke tengah angkasa. Entah berapa lama kemudian, lelaki tua berjanggut putih tersebut membuang batu tersebut ke dalam semak. Sulaiman terkejut. Sambil tersenyum, lelaki aneh tersebut meninggalkan Sulaiman dengan langkah gontai.
***
Suara mengaji dari kaset di beberapa masjid masih terdengar di telinga Sulaiman.
Tapi, tak seramai tadi. Suara kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar rumah Sulaiman pun tak terdengar lagi. Sulaiman tersadar dari sajadahnya. Ia nyalakan lampu mushala.
Aku bermimpi? Sudah pukul berapa kini? Ia lihat jam di lengan kiri.
Lelaki itu beristigfar lagi. Pukul setengah empat dini hari?
Ia ingat, ia duduk di sajadahnya malam tadi sebelum waktu Isya. Kini sudah pukul 3.30 pagi. Aku belum shalat Isya? Aku tidur duduk dan bertemu dengan seorang kakek berjanggut putih dan berpakaian serbaputih?
Sulaiman kembali beristigfar. Ikhlas?
Mengingat kata ikhlas, Sulaiman langsung menangis. Tapi, tangisnya sekali ini bukan karena kehilangan cincin kesukaannya lagi, melainkan kedatangan seorang tua yang aneh yang menasihatinya malam tadi.
Sambil bercucuran air mata, mulut Sulaiman terus mengucapkan kalimat istigfar tanpa henti, kini seolah-olah mulutnya tak bisa dihentikan untuk mengucapkan kalimat itu. Mulut dan suaranya seperti mesin yang bergerak sendiri. Tak bisa dikendalikan. Ia melangkah keluar, menuju keran air. Mengambil wudhu’. Ia shalat Isya kemudian beristigfar lagi.
Saat azan Subuh berkumandang dari masjid dan mushala di sekeliling rumahnya, barulah mulut Sulaiman tiba-tiba berhenti mengucap kalimat istigfar.
Dengan berat, Sulaiman meninggalkan mushala kecilnya. Ia seret langkah menuju masjid terdekat dari rumahnya. Ia ingin shalat Subuh berjamaah.
Sambil berjalan, Sulaiman masih menangis. Ia tak mengerti entah mengapa ia menangis. Yang jelas bukan menangis sedih karena kehilangan cincin batunya, melainkan karena ada sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya tak berarti. Ia terasa luruh. Pagi itu Sulaiman shalat Subuh sambil menangis.
Saat pulang dari masjid, ponsel Sulaiman berdering di saku bajunya.
Tok Awal?
Dengan berat hati diangkatnya ponsel. “Assalamualaikum, Tok.”
“Waalaikumussalam.” Dari seberang terdengar tawa santai Syekh Awal.
“Dalam perjalanan rohani, kadang-kadang tak berbeda dengan anak sekolah. Ya, naik kelas itu harus dimulai dari ujian. Maka bersungguh-sungguhlah.” Suara Syekh Awal terhenti. Hening.
“Masih teringat cincinmu?” Suara tawa kecil Syekh Awal masih terdengar.
Sulaiman tergagap.
“Jika mau, siang nanti atok antar ke rumahmu.”
Sulaiman menangis kuat. Suara isaknya tak bisa ditahan.
“Ambillah, Tok. Sulaiman ikhlas, Sulaiman ikhlas, Tok. Ikhlas.”
Terdengar tawa Syekh Awal di ponselnya lagi seolah tak peduli dengan suasana hati Sulaiman.
“Bila belum bisa melupakan barang yang kita cintai dan mencintai Allah sepenuh hati, kita belum bisa mencapai derajat mukhlisin yang berbuah mukhlasin, Man. Belajarlah. Jangan pernah bergantung pada sesuatu. Bergantunglah pada keajaiban, kekuatan, dan keagungan Allah,” kata Syekh Awal tenang.
Sambil mendengar suruhan atau fatwa Syekh Awal, Sulaiman terus beristigfar.
Matanya terus menghujankan air mata. (*)
Pekanbaru, awal 2015
Leave a Reply