Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 03 Juni 2018)
1
MALING yang brutal itu masuk dari atap rumah. Lalu seperti Tarzan turun lewat tambang di ruang depan. Ia membungkus barang-barang berharga yang ditemuinya dan mengereknya ke atas. Tapi sebelum pergi ia tertarik pada sebuah lukisan. Maling itu mengeluarkan lampu senter dan memperhatikan lukisan itu. Wajah seorang anak yang tersenyum sambil mengacungkan es lilin yang sedang dinikmatinya.
Maling itu terpukau. Ia mendekati lukisan dan mengusap-usapnya. Kemudian menciuminya. Lalu mengelusnya lagi. Dan akhirnya ia menangis tersedu-sedu.
2
Pagi-pagi pembantu rumah mau buka jendela dan membersihkan ruang depan. Ia terkejut melihat ada orang asing tidur di kamar tamu. Mengendap-endap ia mundur dan masuk ke ruang dalam. Maling itu terbangun. Mula-mula ia bingung dan panik. Lupa di mana ia berada. Tapi begitu kembali bertatapan dengan lukisan anak dan es lilin itu, ia segera sadar, ia sudah ketiduran dan hari telah pagi. Ia belum membereskan barang curiannya. Tapi semangat dan tenaganya tak ada. Bahkan ia mulai menangis lagi.
Suami pemilik rumah muncul. Ia membawa samurai yang terhunus. Melihat pencuri itu menangis. Ia tertegun, lalu memberi isyarat kepada istri dan pembantu, lebih baik melaporkan semua itu pada satpam dan tetangga.
Sementara maling itu mulai ngomong pada lukisan di depannya:
“Dul, kalau lewat di Indo Maret kamu mesti minta dibelikan es krim lilin sekaligus dua. Supaya nyambung. Waktu itu umurmu baru 4 tahun. Lagi lucu-lucunya. Kulitmu halus, bau tubuhmu harum, suaramu masih cadel: ‘… cicak-cicak drudungdung diam-diam merayap, datang seekor nyamus…’ Selalu tersenyum. Tertawamu renyah lepas tak punya beban apa-apa seperti juga semua anak kecil yang lain. Kalau tidur kamu suka berbicara. Kata orang tua itu kamu lagi main dengan teman-teman malaikatmu. Sekarang di mana semua itu? Ke mana hilangnya? Pergi begitu saja meninggalkan bapakmu! Hanya sisa-sisanya masih suka menempel di sana-sini. Kalau ketemu, badanku jadi lemes. Aku tak bisa bergerak. Pikiranku kamu bawa semua….” Maling itu terus bicara pada lukisan dengan mata berlinang-linang….
3
Di luar rumah terdengar warga kasak-kusuk:
– Tolong di rumah kami ada maling kesiangan!
– Maling?
– Ya, pencuri kesiangan. Sekarang ada di kamar tamu!
– Lapor satpam saja!
– Ini mau ke sana sekarang.
– Bagaimana, Pak?
– Ada maling di rumah kami!
– Bawa senjata, Bu?
– Mungkin bawa juga.
– Maling biasanya tak bersenjata. Filsafatnya: Masuk-Ambil-Lari-Hilang.
– Ada! Mereka tak mungkin berani operasi sendirian, kalau tanpa senjata. Hanya saja senjatanya tak kelihatan. Biasanya ilmu hitam.
– Orangnya menangis sekarang!
– Masak menangis?
– Kenapa, ya?
– Mungkin kena tilep yang jaga rumah Bapak!
– Tidak ada yang jaga kok, kami tidur semua.
– Digerebek saja!
– Lebih baik lapor polisi!
– Cepat tapi.
– Baik kami koordinasikan dulu mesti diatur taktik dan strategi penyergapannya supaya tidak sampai jatuh korban.
– Berapa orang, Pak?
– Satu dan orangnya kecil!
– Maling biasa kecil, kalau besar dia merampok.
– Tapi yang kecil lebih sadis. Ponakan saya dulu….
– Siap, siap, bawa senjata!
– Mungkin jin yang jaga rumah Pak Muin sudah membuat dia kehilangan orientasi.
– Mungkin dia mabok.
– Orang gila kali.
– Rumah Pak Muin memang ada penunggunya.
– Jangan pakai senjata tajam, Bu!
– Sudah, sudah, saya coba dulu nego secara damai, supaya jangan timbul kekerasan!
– Tahan dulu, kalau Pak Muin gagal nego baru serbu!
– Perempuan di belakang saja!
– Hallo, tolong bisa kirim reporter untuk meliput, di rumah Pak Muin ada maling kesiangan….
– Maling kesiangan?
– Rumah Pak Muin memang angker. Sudah pernah ada pencuri, tapi tak bisa keluar. Muter-muter terus seperti orang stone. Sampai geli kita lihat kelakuannya.
– Jangan pakai senjata, diplomasi saja!
– Baik, baik, tidak apa, coba saya coba dulu kontak secara damai supaya jelas apa maunya. Siapa tahu ini teror. Siapa tahu supaya jangan ada korban.
– Tenang, tenang.
– Silakan Pak Muin, jangan takut, kami back up dari belakang.
4
Maling itu masih menangis. Pak dan Bu Muin muncul dari dalam rumah, di-back up oleh dua satpam yang menghunus pisau dan pentungan. Kasak-kusuk warga berhenti.
“Selamat pagi, Pak.”
Maling itu terkejut. Ia menoleh. Tapi nampak sangat lemes.
“Selamat pagi, Pak. Bapak siapa?”
Maling itu seperti tidak mampu bicara. Muin terus menyapa.
“Saya Muin, pemilik rumah ini. Bapak kenapa di sini? Bapak siapa?”
Maling itu kembali menangis.
“Bapak kenapa menangis di rumah saya?”
Bu Muin memberanikan diri maju.
“Kami ini orang sederhana, Pak. Kami tidak punya apa-apa. Kenapa Bapak di sini, kami….”
Tiba-tiba maling itu berlutut di depan Muin.
“Ampun Bapak-Ibu Muin, saya salah. Hukum saya! Saya berdosa, mohon dimaafkan! Ampun!”
“Bapak siapa?”
“Saya maling.”
Semua terkejut termasuk warga yang nguping di luar rumah.
“Bapak ke rumah saya ini mau maling apa?”
“Itu!” Maling menunjuk ke bungkusan yang dikerek ke atas. Masih melayang.
“Itu barang-barang kami yang Bapak mau curi?”
“Ya.”
“Bapak mau bawa ke mana?”
“Saya mau jual.”
“Tapi itu kan milik kami?”
“Ya, saya salah. Saya dosa! Akan saya kembalikan. Saya minta ampun. Saya tobat, Pak. Tapi tenaga saya amblas setelah lihat gambar itu!”
Maling menunjuk lukisan.
“Badan saya lemes, baterei saya lobet. Saya tidak mampu bergerak. Otak saya beku. Saya jadi ingat Dul, dia anak saya. Waktu umur 4 tahun saya lengah sekejap. Padahal hanya sekejap, tak ada 10 menit, karena mau beli rokok, saya tinggal Dul sebentar di pinggir jalan. Waktu saya kembali, budak saya sudah hilang. Saya cari Dul ke mana-mana, saya lapor polisi, saya bayar detektif, Dul tetap hilang.
Istri saya ngamuk, dia menuduh saya jual anaknya. Dia marah lalu ninggalin saya kawin sama bule. Tapi saya tak peduli. Yang penting anak saya, Dul, kembali. Saya kejar Dul ke mana-mana, asal ada berita, saya samperin. Tapi sudah 20 tahun sekarang, Dul tetap tidak ada kabar. Mungkin dia sudah besar, kawin, jadi dokter, atau sudah mati? Saya tidak tahu. Gelap sama sekali, tak ada berita! Akhirnya pikiran saya kalut. Dul! Saya terjerumus jadi maling. Tapi lihat gambar itu, saya jadi lumpuh, saya tobat, saya, saya….’’
Maling itu kembali menangis tersedu-sedu.
5
Warga di luar rumah mulai lagi kasak-kusuk.
– Malingnya minta ampun. Setelah lihat lukisan anak kecil yang tersenyum membawa es lilin, pikirannya langsung berubah. Pikiran warasnya kembali. Dia langsung minta ampun dan mau bertobat
– Ah! Tangkap saja! Serahkan polisi!
– Usir cepat sekarang!
– Hajar dulu untuk efek jera!
– Kebiri!
– Jangan, kasihan, dia sudah tobat minta ampun.
– Jadi betul ya, rumahnya Pak Muin ini ada penunggunya!
– Lukisan itu yang sudah nilep malingnya!
– Tapi dia nggak mau pulang!?
– Tenaganya habis, ingat Dul, anaknya! Kasihan….
– Dia bilang mau benerin makam Dul anaknya, lho!
– Lho! Emang Dul sudah ketemu? Anaknya mati?
– Dia bilang, pura-puranya Dul sudah meninggal bukan hilang, supaya gampang didoain. Jadi perlu ada makam.
– Kasihan!
– Ayo demi kemanusiaan, sumbang! Kasihan, biar cepat pulang dia. Biar cepat beres. Nanti medsos datang heboh kita!
– Media sosial sudah mencium ini?
– Reporter TV mau datang!
– Buruan nyumbang! Terserah kerelaan masing-masing! Masuk TV malu kita!
6
Maling masih nangis. Warga pada masuk dari dalam. Sumbangan sudah dikumpulkan. Lalu itu diserahkan pada Bu Muin.
“Warga terharu, mereka terpanggil kemanusiaannya. Siapa bilang kehidupan keras ala perkotaan sudah mengikis habis solidaritas gotong-royong?! Ini sumbangan spontan dari warga untuk maling yang sedih itu!”
Bu Muin kemudian menyerahkan pada suaminya agar memberikannya pada maling.
“Sumbangan spontan dari warga!” Pak Muin terharu.
“Wah, saya juga terpanggil.’’ Muin merogoh duit dari kantung, menambah sumbangan itu. Beberapa warga juga menyusul nyumbang.
“Sudah? Ada lagi?”
Seorang anak disuruh orang tuanya ikut nyumbang. Semua terharu lalu bertepuk tangan. Muin mendekati pencuri yang masih menangis.
“Sudah, jangan terus menangis, yang sudah berlalu akan tambah galau kalau ditangisi. Ikhlaskan, karena masih banyak yang juga akan berlalu lagi, lebih baik itu yang diperhatikan, Pak.”
“Cepat berikan sumbangannya, Pak Muin! Orang sedih nggak bakal bisa diajak berunding!”
“O, ya! Ini ada sumbangan spontan dari warga untuk menghapus tangis. Tegaklah kembali, busungkan dada. Tabahkan batinmu!”
“Serahkan saja, Pak! Jangan banyak omong.”
Ada warga bergegas menyumbang lagi.
“Ini ada tambahannya lagi!”
“Lihat, semua warga ikut trenyuh! Kata sebuah cerita di sinetron, penderitaan itu tidak akan diberikan kepadamu oleh-Nya, kalau kamu tidak dipercaya-Nya bisa mengatasi! Ayo semangat!”
“Cepat serahkan!”
“Terimalah ini! Dan sekarang pulanglah, keluarga pasti sudah menanti dengan cemas.”
Maling jadi malu. Ia kontan menolak. Didesak, ia tambah tidak sudi. Tangisnya tambah memilukan. Satpam terpaksa ikut masuk mendesak dan membujuk supaya maling menerima tanda kasih warga lalu pulang.
“Kenapa menolak, terimalah pemberian ikhlas warga, Mas!”
“Mas, kami biasa menghajar maling demi kesejahteraan warga. Tapi mendengar cerita Mas, kami ikut menangis. Putra kami juga meninggal di usia 5 tahun, 10 tahun yang lalu, tapi kami masih terus menangis setiap weekend karena jadi kelimpungan berdua saja dengan istri di rumah. Apa artinya hidup tanpa anak?!”
“Selamat berjuang, Bang. Bertobatlah, dan kembali ke jalan yang benar! Penderitaan itu banyak hikmahnya untuk pembinaan karakter bangsa!”
“Bangkit, Bung, bangkit! Terimalah sumbangan kami tanda simpati!”
“Sebentar lagi reporter TV akan datang meliput. Air mata Bapak akan memberi inspirasi masyarakat untuk menjaga dan menyayangi anak!”
Maling itu terkejut. Setelah mendengar reporter TV mau datang, akhirnya ia mau juga menerima sumbangan. Sambil menangis ia menyembah semua orang. Lalu dengan berat hati pergi. Semua warga melambai-lambai memberi selamat jalan.
Setelah pencuri pergi, Pak Muin dibantu warga, ramai-ramai menurunkan barang curian yang dikerek itu. Tapi begitu dibuka, semuanya terkejut. Isinya hanya sampah. Barang curiannya sudah dibawa kabur.
Bu Muin menjerit pingsan. Warga berteriak marah, mau mengejar, “Maling! Maling! Malingggg!!!”
Tapi ke mana? Maling sudah kabur. ***
.
.
Tol Cipularang, 10-11-17
Putu Wijaya. Sastrawan dan dramawan. Tinggal di Jakarta.
.
.
Leave a Reply