Cerpen Vito Prasetyo (Tanjungpinang Pos, 09 Oktober 2021)
SEMINGGU ini keluarga Miharja begitu gembira. Bagaimana tidak, sudah beberapa tahun mereka kemana-mana harus naik angkutan umum. Kalaupun naik motor, harus pakai 2 motor. Sementara mereka hanya memiliki sebuah motor. Anaknya Raka dan Ragil sudah besar, jadi tidak mungkin bepergian bersama satu keluarga.
“Meski hanya mobil bekas, tapi kita senang bisa memiliki mobil.” Miharja berkata pada istrinya.
“Iya, disyukuri saja Mas.” balas Sri pada suaminya.
Bertepatan dengan adanya mobil di rumah Miharja, terpaksa mereka harus sedikit merenovasi teras rumah, dan menyulapnya menjadi garasi. Dari awal, sejak mereka mendiami rumah itu, tidak terpikirkan kalau suatu saat nanti mereka bakalan memiliki mobil. Maka dengan merombak teras rumah, mobil bisa masuk ke halaman rumah, di dalam pagar.
Mobil juga menunjukkan gaya hidup yang berbeda. Meski kini tidak lagi dianggap sebagai barang milik kalangan menengah ke atas, tetapi paling tidak memberikan kesan penampilan yang berbeda.
Kebetulan pada hari Sabtu di bulan Juni, keluarga Miharja dapat undangan dari sepupunya yang ada di kota lain. Jarak tempat tinggal Miharja dan sepupunya lumayan jauh. Sekitar 60 km dari kota mereka. Miharja sedikit senyum kecil. Dalam hatinya, pasti famili mereka dari kota lain tidak lagi melihat sebelah mata.
Saat mereka bersiap-siap berangkat, langit sore agak mendung. Sepertinya mau hujan, meski bulan Juni masih dilanda kemarau. Sri mengingatkan suaminya untuk tidak terburu-buru, yang penting bisa sampai dengan selamat.
Dalam perjalanan tak henti-hentinya mereka bercanda. Ada sedikit kebanggan yang tersirat dari wajah mereka. Paling tidak penampilan mereka tidak terkesan seperti orang desa. Raka dan Ragil yang duduk di belakang mereka, acuh tak acuh melihat tingkah orang tua mereka. Raka dan Ragil lagi asyik memainkan ponsel mereka. Selama perjalanan, sepertinya tidak ada pemandangan yang menarik.
Saat pesta pernikahan berlangsung, tak henti-hentinya Miharja dan keluarga besar mereka bercanda. Saat-saat seperti ini, keluarga besar mereka bisa saling bertemu karena masing-masing sudah berlainan kota, tempat tinggalnya. Tak terasa malam mulai larut, sudah hampir jam 10 malam. Sri mengingatkan ke suaminya agar segera kembali pulang. Perjalanan mereka cukup jauh, kurang lebih ditempuh sekitar satu jam, kalau tidak ada hambatan di jalan.
Sebelum pamit, Bandi, adik Miharja yang tinggal berbeda kota berbincang dengan kakaknya di dekat mobil Miharja.
“Wah, Mas memang hebat, sudah punya mobil sekarang.”
“Iya, lumayan menabung beberapa tahun, baru bisa membeli mobil. Maklum hanya pegawai rendahan.”
Bandi sempat mengamati mobil kakaknya. Mobil milik kakaknya ini seperti tidak asing di matanya. Bandi melihat pelat nomor dan warna mobil itu, persis dengan mobil kawannya. Mobil itu dijual pada bulan lalu, karena dianggap apes, habis menabrak seorang wanita. Untungnya mobil itu dalam posisi benar, karena wanita itu tiba-tiba terjatuh dari motornya dan badannya mengenai mobil itu. Wanita itu, yang tidak diketahui asal-usulnya meninggal seketika.
“Mas Miharja, kalau mau cepat sampai di rumah lewat jalan pintas saja. Lewat Desa Kemuning. Jalannya memang tidak mulus, tapi lebih baik untuk menghindari jalan licin.” ujar Bandi ke kakaknya.
Malam merambat gelap, disertai hujan gerimis. Dalam pikiran Miharja, ada baiknya ia mengikuti saran adiknya. Lewat Desa Kemuning. Sri sempat protes ke suaminya, kenapa lewat jalan sepi. Tapi karena ia juga ingin segera sampai di rumah, ia menuruti kemauan suaminya. Dalam perjalanan, Sri yang begitu letih langsung tertidur. Begitu juga dengan Raka dan Ragil.
Entah kenapa, ketika mobil berada di Desa Kemuning tiba-tiba berhenti seperti mogok. Jalan sangat sepi, dan di kanan-kiri mobil yang tiba-tiba macet itu tidak ada lampu. Suasana gelap dan gerimis, membuat Miharja harus turun dari mobil dan memeriksa mesin mobil. Sebelum membuka mesin mobil, Miharja sempat menoleh di sebelah kanannya. Ternyata itu pekuburan. Nalurinya sedikit goyah, Miharja agak merinding, tetapi dipaksakannya untuk memeriksa mesin mobil.
Baru saja ia ingin melihat aki mobil, mungkin itu penyebabnya, tiba-tiba mobil itu hidup kembali mesinnya. Miharja menganggap istrinya yang duduk di sampingnya telah menghidupkan kembali mesin mobil. Tanpa pikir panjang, Miharja langsung duduk di belakang setir dan langsung mengemudi. Ia melihat ke sebelahnya, istrinya tetap tertidur pulas. Aneh!
Sesampai di rumah, mereka semua bergegas masuk kamar dan melanjutkan tidurnya. Miharja agak tidak tenang, kembali terngiang ucapan adiknya tadi. Kejadian yang dialaminya di perjalanan, seakan tidak masuk akal. Matanya yang terasa penat, tak mampu menghilangkan rasa kantuknya. Hampir jam 1 tengah malam, Miharja baru bisa tertidur.
Belum begitu lama Miharja tertidur, tiba-tiba ia dibangunkan istrinya.
“Mas, apa mobil kita tidak dimatikan mesinnya?”
“Hah, apa… sudah saya matikan tadi. Bahkan pagar pun sudah saya kunci. Mungkin mobil orang lain.”
“Tidak Mas. Suaranya sangat dekat, di garasi kita. Lagi pula tetangga kanan-kiri kita, tidak ada yang memiliki mobil.”
“Mungkin kamu salah dengar.”
Akhirnya Miharja memaksakan diri memeriksa mobilnya. Saat pintu dibuka, benar saja suara mesin itu terdengar jelas. Tetapi saat Miharja mendekati mobilnya, suara mobil itu berhenti dan sama sekali tidak ada orang di dalamnya. Miharja kembali masuk ke rumahnya. Ia kelihatan begitu tegang dan letih. Saat ia mengunci pintu kamar tamu, terdengar ada suara lirih seorang perempuan.
“Pulangkan saya ke rumah.”
Kali ini Miharja langsung ketakutan dan masuk ke kamar, langsung mengempaskan badannya ke tempat tidur dan menutup telinganya rapat-rapat. Ia berusaha memejamkan matanya. Apalagi ketika kembali ke kamar, didapatinya Sri sudah tidur kembali tanpa menunggu penjelasannya.
Kejadian aneh itu, berulang tiap tengah malam. Keluarga Miharja pun menggelar hajatan dan kirim doa. Sejak saat itu, tidak terdengar lagi suara mesin mobil dan suara lirih wanita di tengah malam. Miharja heran, kenapa perempuan itu menunggu mobilnya! ***
.
Vito Prasetyo, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983.
.
Roh Halus Penunggu Mobil. Roh Halus Penunggu Mobil. Roh Halus Penunggu Mobil.
Leave a Reply