Cerpen Rifan Nazhif (Bangka Pos, 16 September 2018)
BAU amis sungai menjamah rumah-rumah panggung di ujung muara, yang berhadapan langsung dengan samudera.
Lampu kelap-kelip di laut mulai meningkahi malam, seakan berebut menebar keindahan gelap dengan cahaya. Kau akan temukan anak-anak sibuk mengaji. Kau akan temukan para lelaki berkumpul di musholla sekelar Isya. Malam ini, mereka memilih mendekam di kampung ketimbang berlayar ke samudera.
Mereka risau setelah berbulan ini ikan seakan menghilang dari muara hingga ke pinggir samudera. Beberapa kilometer mengarungi samudera, mereka juga tak menemukan ikan. Apabila semakin ke tengah, mereka kecut akan keras deraan ombak. Ombak yang sanggup mengoyak perahu.
“Bagaimana ini? Kita sudah melaporkannya ke aparat, namun tak ada hasil.” Lao Ode menatap ke arah laut dengan tatap sayup. Asap rokok menghalimun musholla.
“Mungkin aparat sudah dapat sogokan. Lalu, bisa kita apa? Mau bertarung di darat? Apakah kita bisa? Dari dulu retak tangan kita adalah nelayan. Tak mungkin kita langsung bisa menjadi pedagang dengan modal seadanya dan pengalaman nol.” Hasan mengumpat kesal. Tinjunya mengarah ke rusuk musholla yang terbuat dari kayu. Ada getar sebentar. “Maaf,” katanya malu-malu sambil mengusap kepalan tangannya yang agak sakit.
Perebutan lahan yang masih menyisakan ikan, seringkali menimbulkan permusuhan di antara nelayan. Belum lagi keributan di dalam rumah tangga sebab asap dapur tak leluasa mengebul. Anak-anak terganggu gizinya. Makanan yang tersedia jauh dari kata sempurna. Bahkan makan tiga kali sehari hanya dilengkap-lengkapkan dengan ubi kayu, misalnya. Belum lagi sekolah, belum lagi liburan entah ke mana. Semua terganggu. Semua karena pukat harimau sialan itu. Beberapa kapal penjarah yang ganas mengarungi samudera. Tak peduli mereka induk ikan, hingga benih-benih yang baru menetas, babat semua.
Beberapa kali nelayan muara berdemo ke kantor kelurahan, ke kantor kecamatan, ke kantor DPRD. Tapi semua seolah tak bertelinga, tak bermata, apalagi mata hatinya seolah tertutup oleh mungkin tumpukan uang. Membiarkan nelayan muara tertawa dalam tangis, tangis dalam jerit luka.
Bila ada kekuatan para nelayan, mereka ingin kapal-kapal itu suatu kali ditenggelamkan seperti yang sering dilihat di tv. Kapal-kapal yang tak hanya berbendara Indonesia, juga berbendera asing. Nelayan muara mulai lupa bunyi lagu hutan lautan hanya kolam susu, tapi yang ingat selalu, hutan lautan hanya akan membunuhmu.
***
Lao Ode menatap langit dengan roman sedih. Anaknya sedari tadi meributkan seragam yang koyak. Istrinya yang tak henti mengeluhkan beras di gentong hanya tersisa satu dua hari. Lao Ode telah mencoba mengadu nasib di pelabuhan, menjadi buruh angkut. Tapi, dia harus menerima kepala yang luka karena berebut jatah angkut dengan buruh kasar yang telah lama bekerja di sana. Lao Ode juga pernah membelikan bahan-bahan kering perlengkapan dapur. Salmiah, istrinya, berjualan di lapak seadanya di depan rumah. Memang banyak tetangga yang membeli, tapi hampir semua berhutang. Sekarang yang tersusun di rusuk cuma satu-dua kotak mie instan, dan beberapa sachet kopi. Salmiah berhenti membuka lapak karena kekurangan modal. Sementara seluruh bahan-bahan kering perlengkapan dapur, sekarang tak lagi dijual, selain hanya untuk keperluan perut sendiri.
“Malam nanti aku mau mencoba melaut lagi,” gumam lelaki itu sambil menatap Salmiah.
“Meskipun bapak yakin tak mendapat apa-apa?”
“Hanya Tuhan yang tahu apakah aku dapat atau tidak dapat apa-apa. Aku hanya berusaha. Percuma berharap kepada orang-orang penguasa yang tutup mulut, tutup tindakan, karena terganjal uang.”
Salmiah menuju dapur. Lao Ode turun menuju perahu. Dia mengayuh perahu menuju rumah Hasan, lalu ke rumah beberapa lelaki sahabatnya. Ada berempat mereka di dalam perahu. Melaju entah menuju ke mana, saat siang mulai berubah senja, dan gerimis turun setetes-setetes.
Mereka berlabuh di sebuah tempat, lalu menunggu seseorang yang keluar dari semak, membawa sesuatu dalam karung yang tampak berat. Setelah seseorang itu dan karung berada dalam perahu, mereka melaju menyisiri pinggir muara, menjauh dari keramaian. Melintasi rerimbunan bakau, dan menghilang di seberang tanjung.
***
Gerimis berhenti. Beranjak Isya, beberapa penduduk menghentikan kegiatannya. Para lelaki, kanak-kanak, beberapa ibu setengah tua menuju mushola. Saat itulah ada kembang api kelihatan dari jauh, nun dari pelabuhan. Sayup-sayup terdengar ledakan susul menyusul, Semua penduduk tertegun. Seolah melihat pesta yang amat ramai. Tapi Azan Isya membuat beberapa penduduk menggulung hasrat melihat nyala api yang semakin besar, lalu menuju mushola.
Nyala api baru menghilang hampir pukul sepuluh malam, menyisakan asap membubung hitam. Terdengar kabar dari mulut ke mulut, entah benar entah salah, beberapa kapal yang merampok ikan nelayan, meledak semua. Para awak kapal, rata-rata ke kota, berpelisir ke tempat-tempat pelepas hasrat. Menuntaskan rindu pada tawa yang renyah dan musik-musik mengguncang, dan lenguh yang membuat tumbang.
Hanya beberapa penjaga yang ada di dalam kapal, memilih mencebur ke laut dan berenang ke daratan, manakala kapal dimamah api yang sering tak bersahabat bila besar. Para awak yang sedang gembira ria entah di mana, tiba-tiba seakan terhisap menuju pelabuhan. Memperhatikan kekuatan api dengan kejam menumbangkan periuk nasi mereka. Membuat mereka hanya menahan tangis. Membuat tauke pemilik kapal meremas rambut dan jantungan. Ternyata tak enak bila periuk nasi terhumbalang. Sama seperti tak enaknya nelayan muara yang kehilangan ikan, sementara dari dulu ikan berlimpah sebelum kedatangan kapal dan pukat harimau yang lebih ganas dan kasar dibandingkan dengan harimau sebenarnya.
Ketika fajar baru menyingsing, cabikan kapal terdampar di pantai. Para nelayan menatap ke tengah laut dengan napas lega. Tak ada lagi cerita kapal-kapal besar dengan pukat harimau yang mengesalkan itu. Mereka tersenyum senang karena alam kembali berpihak kepada mereka.
Beberapa aparat kusam wajahnya. Beberapa tauke dilarikan ke rumah sakit karena tak sanggup menahan derita kerugian yang mendera. Beberapa awak kapal pulang ke kampung halamannya tak dapat tertawa. Seorang aparat berkata, “Sepertinya ini bukan kebakaran yang normal. Ini sabotase. Siapa yang melakukannya!” Dia menyadari akan kehilangan ladang duit. Dia menatap ke sekeliling, orang-orang yang tak semuanya muram, malahan beberapa menyunggingkan senyum. Di kampung nelayan muara, anak-anak bernyanyi kesenangan, “Hutan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala kembali menghidupimu. Tiada topan, tiada badai….”
Dan matahari semakin tinggi memanggang sekitar pantai. ***
.
.
Leave a Reply