Cerpen Herry Santoso (Radar Kediri, 10 Oktober 2021)
MENDUNG pekat bergayut. Mengantar senja yang kian menua.
Orang-orang bergegas mencari perlindungan di antara hujan yang mulai jatuh dan kian melebat. Sungguhpun demikian jalanan tetap marak bahkan menimbulkan kemacetan di ruas Jln. Brawijaya, depan kantor tempatku bekerja. Maklumlah orang kota, tak pernah hirau terhadap imbauan PPKM. Malam minggu, lagi.
“Mau menyeberang ya, Mbak?” tanyaku pada perempuan tengah baya yang termangu-mangu di trotoar sedari tadi. “Mari kuseberangkan….” lanjutku tanpa basa-basi sembari memberikan payungku, sementara aku memasang penutup kepala mantelku seraya memandu perempuan itu. Setapak demi setapak kami pun melangkah di antara padatnya arus lalu lintas yang tetap merayap. Secara reflektif ia berpegangan lenganku agar ia tak tersenggol kendaraan yang menyemut itu.
“Terima kasih….” ucapnya lembut sembari menurunkan maskernya setelah kami sampai di seberang.
Ia pun buru-buru mengeluarkan spray antiseptic dari tasnya dan memberi isyarat agar kedua telapak tanganku menengadah. Aku turuti isyarat itu. Ia pun tersenyum manis, setelah menyemprot tanganku. Manis sekali dengan deretan gigi bak untaian mutiara, indah dan rapi. Sesaat aku tertegun menatap wajahnya. Ada tahi lalat di dagu kirinya, mengingatkanku pada seseorang. Ah, siapa gerangan?
“Se… sebentar!” ucapku ketika ia akan melangkah meninggalkanku yang masih termangu-mangu di tepi jalan. Ia pun mengurungkan niatnya dan menatap ke arahku. Mata kami saling memandang.
“Ya, Tuhan… bukankah kau Eliz? Eliza Maharani?” pekikku tertahan, tapi ia masih ragu mengamatiku dari ujung rambutku hingga ujung kakiku.
“Be… benarkah…. Om Herry?”
“Ya, aku!” kataku meyakinkannya. Tak kuduga Eliza langsung menyergapku, ingin memeluk badanku, tetapi aku cepat bilang, “Ait, puasa!” Ia menyadari, dan tertawa.
Beberapa saat kami terdiam dalam keharuan hingga alunan adzan maghrib tanda berbuka puasa menyadarkanku.
“Bagaimana untuk merayakan pertemuan kita yang tidak sengaja ini sekaligus kita buka puasa di Rumah Makan Halal Selatan Stadion itu,” kataku lagi menawarkan ajakan, seperti masa dua puluh tahun silam.
Eliza mengangguk dan tersenyum. Kami segera mencari tempat duduk yang ideal menghadap ke jalan raya.
“Dulu kita selalu berbuka puasa di sini, ya?” ucapku meretas kebekuan.
“Iya,” jawab Eliza pelan seraya aku pun menuliskan menu yang hendak kami pesan.
“Kamu ingin makan apa Eliza? Ataukah seperti kesukaanmu dulu saja?”
“Boleh….” lagi-lagi ucapnya datar.
Aku pun segera menuliskan dua porsi rajungan biru saus tiram plus lemon tea milk, menu wajib Eliza dulu. Hujan belum juga reda. Restoran itu sangat padat pengunjung. Sayup terdengar I’am Sorry My Love-nya Victor Wood yang mengalun dari audio recorder semakin membuat atis di hati.
“Sekarang kamu di mana, Eli? Maksudku tempat tinggalmu,” tanyaku kemudian.
“Tetap di Kediri, Om….”
“Oh ya? Terus tinggalmu tetap di rumah Candra Kirana yang dulu?”
Eliza mengangguk.
“Kata tetangga sebelah rumahmu, kamu di Jakarta?”
“Ya, itu dulu, sejak sebulan lalu aku balik lagi ke Kediri dan….”
“Dan bersama keluargamu, kan?” tukasku tak sabar.
Aneh, ia menggeleng pelan.
“Kenapa?”
Eliza tidak segera menjawab masih berusaha menikmati minumannya.
“Aku masih seperti yang dulu….”
“Maksudmu?” aku mengerutkan keningku.
“Ya. Aku masih tetap sendiri….” akunya jujur.
“Hah?” Aku terperanjat.
Seketika ada riak di hatiku. Tak kusangka ia masih sendirian. Masa dua puluh dua tahun memang bukan ukuran sebentar untuk sebuah perpisahan. Terus terang Eliza dulu sempat berpacaran denganku. Ia keponakan Om Didiek sahabatku. Dulu ia gadis yang punya segalanya. Wajahnya aduhai. Tinggi semampai. Pinter mengaji. Pustur dan wajahnya mengingatkanku pada Zaskia Gotik. Saat itu ia lepas SMA. Awalnya, dulu aku suka disuruh mengantarnya ke toko, atau sekadar “makan angin” di sepanjang Jalan Dhoho. Lama-lama, dan diam-diam tumbuh benih-benih cinta pertama di hati kami, atau mungkin juga cinta monyet. Tapi sayang, ia segera hijrah ke metropolitan, dan aku diangkat guru di Madura. Sejak itu, kami tidak pernah jumpa lagi. Konon ia ikut serta Mas Yitno, pamannya, dan kuliah di Tri Sakti.
“Bagaimana keadaan Tante Nur, Om? Tentu masih secantik dulu, kan?” tiba-tiba tanya Eliza.
Aku pun tidak segera menjawab. Seolah ada sesuatu yang mengganjal di kerongkonganku hingga menu yang seharusnya nikmat terasa sampah di lidah.
“Tante Nur masih sehat, kan, Om?” ulangnya.
“Dia telah pergi, Eli….”
“Ke mana?”
“Menghadap Allah. Kanker payudara….”
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun….” ucapnya lirih dan tertelan.
Ia tertunduk dan ketika mengangkat wajahnya ada air kristal yang bergulir melalui pipinya. Kuambil tisu. Kuusap airmatanya itu. Ia terpaku sesaat. Di luar sana hujan belum juga reda. Masih menyisakan renai gerimis. Jalanan jadi kuyup dan atis.
“Terus anak-anak ke mana, Om?”
“Mereka sudah mentas semua, Eli….” kataku. “Yang sulung kerja di perbankan, namanya Widya Arum Maharani. Maaf, semua anakku mengambil nama belakangmu. Yang kedua bernama Erinda Maharani, di Jember, dan bungsuku Ayu Maharani kini ikut suaminya di Blitar. Aku sendiri tetap di rumahku yang dulu.” lanjutku panjang lebar.
Wajah Eliza tampak semakin melankolis. Sorot maranya sejuk dan lindap. “Usia Om berapa?”
“Enam satu. Baru pensiun setahun lalu. Kamu?”
“Empat lima.”
“NKRI harga mati ya?” candaku ingin meretas kebekuan.
“Maksudmu?”
“Empat lima kan angka kemerdekaan. Mempertahankan NKRI!” jelasku.
“Haha….” Eli tergelak.
Suasana pun jadi cair. Di luar petang kian membayang. Kami pun segera angkat kaki dari restoran legendaris itu. Menapak di trotoar nan basah. Kotaku berbalut kuyup di malam yang kian beringsut. Kami berjalan berdampingan.
“Aku dingin, Om, ayo naik taksi,” ujarnya.
“Di Kediri lama taksi tidak aktif. Kita naik becak saja ya, seperti dulu kita kan suka naik becak keliling kota?”
Eli tersenyum. Kami masuk ke becak itu. Kulepas jaketku dan kupasang ke tubuhnya. Eliza tidak menolak, bahkan ketika kugenggam jemarinya erat-erat.
“El….” suaraku nyaris tertelan.
Eliza menatapku.
“Aku inginkan kamu menggantikan dia… aku masih mencintaimu. Seperti dulu…. maukah kamu…?” sambungku.
Eli cuma memandang wajahku.
“Mau ya?” kataku lagi.
Ia diam saja, termasuk saat kuusap percikan air hujan di kerudungnya.
Di luar hujan turun lagi. Lebih deras.
“Kita ke mana, Boss?” teriak Abang Becak membuatku tergagap.
“Jalan Mas Trip, Pak!”
“Timur Pasar Wage, ya?”
“Iya, Gang Mentaraman, Pak!” balasku.
Becak pun pun melaju merobek malam minggu. Sesaat kemudian berhenti di tempat yang kami tuju. Untung hujan sudah reda di antara semayup alunan adzan Isyak ketika langkah kami sampai di mulut gang jalan.
“Kuantar sampai di sini saja ya, El….” kataku.
“Ya.” balasnya, “dan terima kasih atas semuanya….” lanjutnya.
Eliza pun memasuki gang itu, setelah sejenak kami saling menatap.
Kupandangi langkahnya seolah ada beban luka di punggungnya. Malam semakin merangkak. Pelan tapi pasti dan tubuh Eliza pun hilang di ujung gang depan sana…. ***
.
Kediri, 10 September 2021
Herry Santoso. Penulis aktif menulis cerpen, artikel, puisi dan novel. Novel terakhir Lies, di Matamu Ada Tuhan (APPI, Surabaya, 2021 ). Nara sumber Workshop penulisan fiksi-nonfiksi Guru SMAN/SMKN se-Jatim. Bisa ditemui di akun herisantoso5959@gmail.com.
.
Setelah Hujan Reda. Setelah Hujan Reda. Setelah Hujan Reda. Setelah Hujan Reda.
Leave a Reply