Cerpen Afrizal Malna (Jawa Pos, 16 Maret 2014)
MUSIM dingin untuknya sama dengan ikan yang bersembunyi dalam lukisan-lukisan Gerhard Richter, seorang pelukis Jerman yang sering melintas dalam pikirannya, setiap musim dingin datang. Menciptakan banyak warna untuk menyembunyikannya kembali dalam sapuan besar warna lain. Warna-warna yang seakan-akan diciptakan untuk melawan atau memberi cahaya hangat atas warna putih kelabu dari musim dingin.
Jurg, tukang pos yang banyak mengoleksi foto-foto Paus itu, berusaha membenamkan tubuhnya dalam udara hangat dari mesin pemanas kereta. Ia menggerakkan jari tangannya yang terbungkus sarung tangan tebal dari wol. Di luar jendela kereta, salju kian mengubah peta. Menciptakan posisi yang membingungkan untuk melihat arah, untuk tahu di mana dirinya berada di antara wajah kota yang hampir terbalut warna putih salju.
Ia keluar kereta dengan langkah tergopoh-gopoh. Tubuhnya bergerak cepat meninggalkan Bahnhof Platz agar tidak merasa ada angin dari musim dingin yang menguntitnya. Jurg terus melangkah melewati Neuengasse di Bern. Melintasi berbagai pertokoan dan kafe yang menjanjikan rasa hangat yang lain. Rasa hangat dari mata uang Frank Swiss. Seorang pengamen memainkan musim dari botol-botol kaca, toples, dan gelas-gelas wine. Suaranya seperti ikut menggerakkan trem-trem kota yang melintas dengan bentangan kabel-kabel listrik di atasnya. Lonceng gereja terdengar dari Gereja Moenster di Moenstergasse. Suaranya seperti gema masa lalu dari ruang-ruang gotik.
Di depan Schlachaus Theater Bern, setelah memasuki Rathausgasse, ia berhenti. Membetulkan letak kerah mantel panjangnya. Mengibaskan butir-butir salju dari bahu mantelnya. Jurg mengeluarkan sebatang rokok putih dan membakarnya. Asap rokok mulai memenuhi paru-parunya, membangkitkan ingatan-ingatan lama tentang berbagai alamat yang dilaluinya untuk mengantar surat dari berbagai negara. Ia berdiri di depan pintu gedung teater itu. Bangunan tua yang tidak berubah. Mengingatkannya pada sebuah pertunjukan yang telah berakhir 21 tahun yang lalu: Migration Aus Dem Wohnzimmer, 24-25 Mei 1993.
“21 Tahun?“ desahnya sambil mengembuskan napas dari mulutnya untuk bisa merasakan sisa-sisa rasa hangat dari tubuhnya. Dalam tasnya masih tersimpan katalog pertunjukan itu. Istrinya menemukan katalog itu dalam perjalanannya ke Solo, di rumah Halim HD, temannya dari Indonesia. Katalog dengan grafis hitam-putih. Gambar sisir, gelas, dan pesawat telepon. Ia mengeluarkan katalog, melihat isinya. Dua aktor dalam pertunjukan itu telah meninggal. Jurg kembali mengembuskan napasnya, seperti ada lorong menuju ke dunia lain terbentang dalam tenggorokannya.
Pertunjukan dari 21 tahun yang lalu itu seperti masih terus berlangsung tanpa penonton, tanpa tiket. Pertunjukan dari musim dingin yang selalu meninggalkan rasa tersesat, di mana pun ia berada. Petunjukan dari sepeda-sepeda yang membeku, diparkir tidak jauh dari gedung teater itu. Cahaya lampu kota rasanya ikut membeku. Ia seperti bisa mengenggam cahaya yang membeku itu. Tak ada penonton, tak ada tiket, bahkan tak ada panggung. Lelaki itu berusaha menyakini dirinya kembali tentang pertunjukan yang masih terus berlangsung itu, setelah 21 tahun berakhir.
“Jurg,“ tiba-tiba seorang perempuan memanggil namanya.
“Kanthi!” sambut lelaki itu.
Mereka berdua berpelukan. Ia melihat tangannya melingkar di bahu perempuan itu, seperti bukan lagi bagian dari tubuhnya. Jurg menarik tangannya dari bahu Kanthi.
“Kamu seperti tidak pernah berubah setelah 21 tahun yang lalu,” kata Kanthi kepada Jurg.
“Kamu juga, seperti gedung teater ini, tidak pernah berubah,” jawab Jurg.
Kanthi memandangi gedung teater itu, seperti kamar mayat untuk waktu. Terpaku di tengah banyak ingatan yang berhamburan bersama udara dingin. Jurg menarik tangannya.
“Bagaimana penyakitmu?“ tanya Jurg.
Kathi pernah beberapa kali dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi. Ia seorang wartawan yang pernah dikirim ke Kuwait tahun 1991 untuk meliput Perang Teluk. Dalam waktu tidak sampai sebulan, Kathi kembali ke Bern. Setelah itu ia harus keluar-masuk rumah sakit jiwa yang merawatnya. Sebuah grafiti: “Amis raus! (Pergi orang-orang Amerika!)“ di tembok Gereja St Marien sering menghantuinya. Bagian dari protes atas campur-tangan Amerika dalam Perang Teluk.
“Penyakitku mungkin sudah sembuh,“ jawab Kathi. “Tetapi orang di sekelilingku… kamu tahu tentang itu, bukan? Aku sudah tidak ada, Jurg. Lupakanlah,“ lanjut Kathi sambil menggigit bibirnya di akhir kalimat yang diucapkannya.
Jurg mengangguk dan kembali memeluk Kanthi. “Kamulah wartawan yang memotret dari dalam, Kanthi,“ bisik Jurg di telinganya.
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati Zentrum Nord menuju ke apartemen Bot, tempat sahabat mereka menetap. Bot mengundang mereka untuk makan malam. Bot seorang tukang. Tukang yang keahliannya tidak terlalu jauh di sekitar cat, hanya untuk mengecat dinding tembok tua dinding kayu. Ketiganya bertemu di depan gedung teater yang sama, 21 tahun yang lalu. Waktu itu Jurg sedang mengantar surat untuk seorang sutradara yang bekerja di gedung teater, Bot sedang mengecat salah satu dinding teater yang sudah terlalu kumuh, dan Kathi sedang bertugas meliput pertunjukan teater yang sedang berlangsung di gedung itu.
“Apa yang kamu lakukan sekarang?” tanya Jurg.
“Menulis novel yang pernah ditulis orang lain,” jawab Kathi.
Jurg terkejut. “Menulis novel yang pernah ditulis orang lain? Kamu hebat, Kathi!”
“Ya, itulah caraku membaca novel. Seakan-akan aku sendiri yang menulis novel itu,” Kathi berusaha menjelaskan dirinya. “Dan kamu, Jurg?”
“Aku, kau tahu, aku terus mengumpulkan foto-foto Paus dari berbagai zaman,“ jawab Jurg. “Aku masukkan foto-foto mereka ke dalam toples. Toples-toples itu tersusun rapi dalam rak-rak lemari perpustakaanku.“
“Hebat!” celetuk Kathi.
Di depan sebuah kafe mereka berhenti. Melihat salah seorang seorang aktor dari pertunjukan Migration Aus Dem Wohnzimmer sedang memainkan sebuah adegan dari 21 tahun yang lalu itu. Aktor itu berdiri dengan kostum seorang Paus yang membungkus tubuhnya. Kostum yang lebih mirip sebuah bangunan yang berdiri dengan tubuhnya sebagai konstruksi utama untuk bangunan itu. Aktor itu mengucapkan salah satu petikan dari puisi Vera Filler:
.
dia orangnya, yang belum pernah kamu lihat
dimana pun kamu pergi
atau, kalaupun dia ada di sini
entah bagaimana saya merasa kehilangan dia juga
.
Aktor itu mengucapkan petikan puisi Vera Filler sambil menyeruput spaghetti di meja makannya. Jelujur-jelujur spaghetti terus menyelinap masuk melewati bibirnya, seperti tidak pernah putus. Sebaliknya, puisi Vera Filler keluar dari mulutnya, seperti mengelupasi rangkaian waktu yang menyelimuti dinding kafe. Jurg merasa seperti ada sebuah alamat yang tiba-tiba mencekik lehernya, sebelum ia sampai di alamat itu untuk mengantar sebuah surat. Surat untuk seseorang yang tidak pernah ada.
Kathi menarik lengan Jurg untuk melanjutkan perjalanan. Mereka melintasi jembatan dengan Sungai Aare mengalir di bawahnya. Sungai yang jernih seperti kolam renang itu, dengan arusnya yang deras, permukaannya kini telah membeku.
Tinggi salju sudah hampir menyentuh bibir jendela apartemen Bot, ketika Kathi dan Jurg sudah sampai di tempat tinggal temannya ini. Apartemennya kecil. Mereka duduk di sebuah meja memanjang dengan taplak putih di atasnya. Sebuah makan malam yang berlangsung di ruang dapur Bot yang sederhana. Berbagai jenis pisau untuk makan terletak di tengah meja dalam sebuah gelas. Hanya itu satu-satunya yang bisa dilihat di ruang dapur itu. Selebihnya hanya peralatan dapur dan dinding tembok warna putih.
Bot menyambut keduanya dengan hangat. Berpelukan. Menepuk-nepuk bahu.
“Musim dingin yang menggetarkan,” kata Bot, seperti kepada dirinya sendiri.
Bot menyambut mereka berdua dengan makan satu mangkuk mushroom sup panas. Bau keju dari sup terasa lembut mulai menggenangi ruang. Dan roti yang telah dimasak renyah. Bot melanjutkan dengan mengeluarkan green salad. Semua hidangan Bot sendiri yang meracik dan memasaknya. Bau bumbu di ruang makan itu ikut membuat lapisan lain dari rasa masakan yang mereka makan.
Bot tiba-tiba terdiam. Kathi dan Jurg ikut terdiam. Kemudian berdiri, mengambil dua botol wine, putih dan merah. Keduanya seperti menyimpan memori yang berbeda untuk Jurg, yang saat itu terlihat sangat bahagia. Wajah bahagia itu tiba-tiba tenggelam dalam tatapannya melihat kedua botol wine itu, seperti pasangan abadi yang tak pernah terpisahkan.
“Aku selalu membuka dua wine sekaligus untuk sahabat-sahabatku,“ ucap Bot.
Tatapan Jurg masih tak bergerak. Memori dari wine terus berlintasan, seperti mesin fotokopi di kepalanya. Bot menyalakan CD player-nya. Lagu Royals dari Lorde terdengar seperti ritme tepukan-tepukan serempak yang berlangsung dalam timbunan salju. Di luar jendela timbunan salju mulai menyentuh bingkai jendela putih di dinding dapur itu. Kathi mengeluarkan kameranya, memotret jendela putih itu dengan sosok kumpulan berbagai jenis pisau makan di tengah meja, sebagai latar depan yang fokusnya dibuat kabur.
Jurg membuka tasnya, mengeluarkan sebuah surat untuk seseorang yang tidak pernah ada. Tetapi alamatnya ada. Alamatnya jelas. Dalam daftar kependudukan pemerintahan kota, nama itu juga tidak pernah ada. Jurg tidak pernah putus asa, ia mencari nama itu di internet. Tapi orang itu tidak pernah ada. Tetapi Jurg yakin bahwa orang itu sungguh-sungguh ada. Ia terus menyimpan surat itu. Surat yang membuatnya seperti bisa memiliki harapan bisa bertemu dengan orang itu, suatu hari.
Bot dan Kathi memandangi surat itu. surat yang ditujukan untuk seorang sutradara yang bekerja di Schlachaus Theater Bern, 21 tahun yang lalu. Lalu Bot bercerita tentang seorang penyair yang selalu berjalan. Hidupnya memang hanya untuk berjalan, hingga suatu hari orang menemukannya dalam keadaan mati, di sebuah musim dingin. Mayatnya membeku di atas permukaan Sungai Aare yang juga telah membeku. Tetapi ia justru seperti hidup dalam tubuh mayatnya sendiri.
Bot mengambil pisau, membuka amplop surat itu. Lalu mengeluarkannya. Semuanya tercengang, surat itu ternyata hanya berisi kertas kosong. Putih. Tak ada tulisan apa pun. Kathi memejamkan matanya. Ia kembali teringat aktor dengan kostum Paus yang membacakan puisi Vera Filler, di kafe yang mereka lewati sebelum sampai aparteman Bot:
.
dia orangnya, yang belum pernah kamu lihat
dimana pun kamu pergi
atau, kalau pun dia ada di sini
entah bagaimana saya merasa kehilangan dia juga.
.
Jurg mengembuskan napasnya melihat kenyataan itu. Menatap kertas kosong itu, seakan-akan tetap ada tulisan yang terkubur di dalamnya. Dari wastafel terdengar Bot yang mulai mencuci piring dan gelas bekas makan malam mereka. Semua percakapan berhenti, tergantikan suara air dan gesekan-gesekan kecil dari peralatan makan yang sedang dicuci Bot. Kathi dan Jurg menghabiskan sisa wine. Merayakan rasa kehilangan seorang yang tidak pernah ada dalam kehidupan mereka. Rasa kehilangan itu terasa nyata. Kathi mengambil surat yang hanya berisi kertas kosong itu.
“Aku akan mencoba menuliskan bagaimana kertas kosong ini harus ditulis kembali sebagai kertas kosong,“ katanya sambil berusaha memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Karena Kathi tidak hati-hati, surat dalam amplop itu terjatuh. Jurg merebut surat itu. Memasukkan kertas kosong itu ke mulutnya, mengunyahnya dan menelannya.
Makan malam itu berakhir dengan perasaan yang sama dialami ketiga orang sahabat itu. Perasaan bahwa makan malam itu tidak pernah terjadi. ***
.
Cara Mengakhiri Sebuah Makan Malam. Cara Mengakhiri Sebuah Makan Malam. Cara Mengakhiri Sebuah Makan Malam. Cara Mengakhiri Sebuah Makan Malam. Cara Mengakhiri Sebuah Makan Malam.
Muhamad zahinul ibad
Nama :Muhamad zahinul ibad
Nomer absen: 19
Muhamad zahinul ibad
Menikmati dengan makanan penutup yang lezat