Cerpen Joko Kahhar (Horison No.12 Tahun XXV Desember 1990)
(Anjing…!)
MARNO berkali-kali mengumpat dirinya sendiri. Memaki keadaan. Menghujat nasib. Sudah beberapa kali dia mencoba bunuh diri, tapi belum juga mati.
(Anjing…!)
Pernah dia mencoba menghabisi jiwanya sendiri dengan mengendarai kendaraannya kencang-kencang. Lalu dihantamkan ke pohon besar di pinggir jalan. Namun yang hancur cuma kendaraannya. Sedang ia sendiri selamat, walaupun harus opname di rumah sakit selama sebulan. Beberapa bagian tulang tubuhnya patah dan ia mengalami gegar otak!
(Anjing…!)
Setelah itu dia juga pernah mencoba menyilet urat nadi di pergelangan tangannya. Namun karena ulah pembantu rumahtangganya yang sok tahu, usil, sempat ketahuan. Sekali lagi jiwanya tertolong.
(Busyettt…!)
Pernah lagi suatu ketika malam-malam, ia mencoba hendak menggantung dirinya dengan seutas tali. Namun baru saja ia akan mengaitkan tali ke langkan pintu kamar mandi, isteri Marno terbangun dari tidurnya. Mau pipis….
(Edaaaaan…..!)
Namun Marno belum putus asa. Ia masih mencoba cara yang lain. Kali ini ia mencoba minum cairan racun serangga yang ia campur dengan minuman keras. Anehnya, dengan cara yang ia pikir pasti berhasil ini, justru ia tak juga merasa mati. Hanya seperti orang yang sedang mabok. Seluruh tubuhnya terasa ringan sekali. Melayang-layang seperti kapas. Namun ia sadar bahwa sebetulnya tubuhnya tidak melayang. Ia masih tetap terbujur di atas tempat tidurnya. Istrinya menangis meraungraung sambil memeluki tubuh Marno.
“Huh, engkaulah biangkeladi semua ini! Engkau yang menyebabkan aku mengambil keputusan edan ini….” Marno berteriak geram. Namun aneh. Istrinya seolah-olah tak mendengarnya. Sementara orang-orang mulai berdatangan dengan wajah iba yang seragam.
“Airmata itu! Airmata itu yang membuat aku kalah! Yang membuat aku tak berdaya! Yang membuat aku bebal! Yang membuat aku luluh lantak dalam pelukanmu! Yang membuat aku rela menjadi sapi perah! Membiarkan kepalaku kau injak-injak. Membiarkan tenaga dan pikiranku dan semua yang ada pada diriku kau hisap habis. Habis! Ha…bisss…!”
Marno merasa terengah-engah mengikuti gejolak emosinya. Namun aneh. Istrinya seolah-olah tak mendengar. Tak ada perubahan pada mimiknya. Selain tampak sedih dan berurai airmata. Demikian juga orang-orang yang berdiri tegak mengitarinya. Bahkan di antara mereka ada yang mulai sibuk. Seolah tak peduli. Dengan suara berbisik memberi perintah. Berjalan ke sana ke mari. Mengangkat kursi. Menyingkirkan meja. Seolaholah sedang mempersiapkan sesuatu.
Heran. Kenapa orangorang tak segera melarikan dirinya ke rumah sakit? Toh, ia belum mati?! Tapi Marno tak perduli.
“Tapi semua itu aku lakukan….” Marno berhenti sebentar. Ia merasakan ada yang menggerunjal di rongga dadanya.
“Karena … aku mencintaimu. Amat mencintaimu. Karena aku masih memiliki harapan. Bahwa suatu saat kau akan mengerti. Bagaimana mencintai seorang suami dengan benar. Cinta yang tidak menyakiti. Cinta yang membebaskan. Cinta yang menghidupkan. Bukan cinta yang mematikan.
Namun tujuh tahun sudah, aku coba segala cara. Aku ikuti segala nasihat-nasihat orang-orang bijak. Segebok teori yang aku baca dari buku-buku. Namun tetap saja tak menghasilkan perubahan apaapa. Perubahan yang aku harap-harap mampu membawa kepada keadaan yang lebih baik.
Kau sungguh tidak punya hati! Tidak punya jantung!
Bahkan kau semakin erat merantai kedua tangan dan kakiku. Sementara kau minta aku terus menari-nari. Mengikuti irama lagu cinta yang kau dendangkan, yang sungguh mati aku tak faham. Tapi aku menurut saja. Karena caramu meminta itu, seolah menjanjikan sesuatu yang lebih baik. Lebih indah.
Tidak! Aku tak ingin menceraikanmu. Karena aku tak rela jika apa yang aku harapkan, yang aku impi-impikan itu, justru akan kutemukan pada diri perempuan lain, setelah aku bercerai denganmu.
Oleh sebab itu aku pilih cara yang sebetulnya sangat tidak aku suka ini. Harapanku agar kematianku yang tragis ini bisa membuka pintu hatimu. Mampu membuka mata batinmu. Sehingga kau menjadi manusia baru. Seorang wanita yang mampu mencintai. Walaupun itu kau lakukan kepada bakal suamimu sepeninggalku.
Aku rela jadi tumbal kebahagiaanmu. Namun, seperti yang kau lihat sendiri. Untuk mati pun aku gagal. Aku belum matimati juga, bukan?!”
Marno merasa menyeringai. Pedih.
Tiba-tiba ada keributan kecil. Orang-orang yang masih berdiri terpaku di sekitar dirinya dan istrinya itu menyibak. Dua anak kecil yang masih mengenakan seragam sekolah menghambur pelukan istri Marno. Terdengar tangis yang menyayat-nyayat. Marno menyaksikan dengan perasaan pedih. Ingin ia menggapai mereka, tapi ia tak mampu menggerakkan tangannya. Ia merasa sama sekali tak memiliki kekuatan lagi.
Lalu orang-orang mulai bergerak. Tampak oleh Marno kedua mertuanya menarik istri dan anak-anaknya. Membimbingnya ke ruangan yang lain. Serentak orang-orang yang rupanya sejak tadi sudah bersiap-siap itu menggotong tubuhnya dengan hati-hati. Mereka membawanya ke halaman belakang dekat dapur. Masih di atas pangkuan mereka, orang-orang mulai membukai pakaian yang ia kenakan. Dan sebagian yang lain mulai mengguyurkan air ke sekujur tubuhnya yang sudah telanjang.
“Astaga! Apa-apaan ini?!” Marno merasa berontak. Berteriak. Menggerung-gerung. Memukul. Menendang. Tapi tubuhnya tetap tak bergerak. Bahkan ia tak mampu mendengar teriakannya sendiri. Namun ia terus berteriak. Terus berontak. Sampai ia merasa kehabisan tenaga. Dan orang-orang terus saja bekerja. Menyabuni tubuhnya. Menggosok-gosok dengan hati-hati.
Marno hanya bisa menyaksikan orang-orang itu mengerjai tubuhnya dengan rasa putus asa. Sampai ia merasakan semuanya gelap. Sementara tubuhnya yang terbujur rapi itu bergoyanggoyang. Seperti sedang dibaringkan di atas geladak truk tua, yang terangguk-angguk melewati jalanan yang tidak rata.
Marno berusaha mengumpulkan kembali penggalan-penggalan ingatannya. Ketika ia mencoba menyusun kembali ingatannya itu, telinganya mendengar suara koor yang berat dan memilukan. Suara yang pernah sangat akrab di telinganya. Jauh di masa lalu. Bahkan amat jauh….
La ila ha illallah
la ila ha illallah
la ila ha illallah
Muhammadur Rasulullah ***
.
Sentolo, Juli 1989
.
.
Cerpen Sayang Cinta Itu Demikian Runyam karya Joko Kahhar sebelumnya terbit di Horison No.12 Tahun XXV Desember 1990.
.
Sayang Cinta Itu Runyam. Sayang Cinta Itu Runyam. Sayang Cinta Itu Runyam
.
Leave a Reply