Cerpen Nialaili (Suara Merdeka, 17 Oktober 2021)
“BEGINI, aku sungguh tidak lagi bisa terpejam setelah mimpi itu membangunkanku,” keluhku pada Asyif di seberang telepon.
“Sudahlah, paling besok kau akan bertemu ulama besar itu,” jawabnya berat.
Aku tahu dia masih setengah sadar, karena aku mengganggu istirahat tengah malamnya. Dia pun mematikan sambungan teleponnya.
Mimpi itu membuatku sangat takut. Sungguh aku bermimpi bertemu seorang ulama besar yang berpakaian putih, bersarung batik tua dan berkopyah. Dia mengajarkan cara wudhu yang aneh.
Aku berpikir mungkin dia hendak menyesatkanku dengan fan (pelajaran) fiqih ala dirinya. Di situ dia berkata hendak mempraktikkannya besok siang. Aku adalah orang yang jarang bermimpi. Sekali mimpi pasti esoknya terjadi. Ada yang bilang itu adalah dhon (prasangka), berdasarkan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Ada pula yang bilang itu ru’yatus sholikh, mimpinya orang shaleh, berdasarkan Muatho. Tapi sungguh aku merasa tidak pantas jika mencapai taraf itu. Ada lagi yang bilang itu adalah firasat mu’min yang diberi hidayah oleh Tuhannya. Berdasarkan kitab Jami’ shoghir.
Yang aku takutkan bukan untuk bertemu ulama yang akan menyesatkanku. Tapi kelanjutan mimpi itu aku diajak pergi dengannya melihat rembulan yang begitu besar dan bersinar dengan warna api. Di bawahnya ada beberapa bintang tidak sedikit, tapi juga tidak bisa dibilang banyak. Kemudian di sampingnya ada tulisan kalimat talbiyah yang berwarna api pula. Kemudian langit itu berputar dan mengeluarkan bola api, lalu terjadi ledakan besar dari bola api itu, tepat di atas bumi yang kuinjak bersama ulama itu. Kemudian ulama itu tewas dan aku terkontang-kanting sendirian di bumi yang kosong ini.
Setelah kupikir kembali, cara berwudhu ulama itu tidak sesat. Aku ingat pernah mengkaji itu. Yah aku bangkit dari kasur besarku untuk mengambil wudhu. Kemudian aku mengambil kitab kuningku, kitab Fathul Muin. Masih pelajaran dasar ada qiil atau perkataan ulama yang membolehkan berwudhu dengan cara berenang, maksudku menyelam. Cukup menyelam pada air dengan niat untuk menyucikan diri dari hadas kecil, yaitu niat wudhu bukan? Lalu bagaimana dengan rukunnya?
Kupelajari kembali kitab itu, rukunnya secara otomatis terselesaikan dengan basahnya seluruh anggota tubuh kita, yang berarti basah pula anggota badan yang menjadi rukun wudhu. Boleh juga dipraktikkan jika kita sudah mendalami ilmu itu.
Baik, kupikir aku telah berburuksangka pada ulama itu. Nanti saat matahari sudah mengisi pagi, aku akan meminta maaf padanya. Aku sudah mempersiapkan mental, saat bertemu dengan beliau. Tapi aku kembali resah, jika nanti ulama itu benar-benar meninggal dunia. Apa yang akan aku lakukan? Ataukah aku disuruh untuk menggagalkan terjadinya kematian itu?
Aku menunggu pagi dengan tuntutan kalam Allah yang terasa indah dalam tadabur hati. Aku selesai sepuluh juz tepat saat sang muadzin masjid tetangga memanggil manusia dengan suara tua adzan Subuhnya.
Aku bangkit, menelan air putih kehidupan. Dan bergegas memperbarui wudhuku yang belum batal, biasa dinamakan tajdidul wudhu. Aku berdiri pada bumi yang subur melihat langit yang masih gelap dan bulan yang masih terang. Jantungku berdebar menatap sang rembulan. Takut jikalau nanti benar-benar turun bola api yang siap menerjang.
Empat jam lebih lima puluh tujuh menit berlalu. Aku telah menyelesaikan shalat dhuhaku. Dan kini saatnya aku pergi ke tempat kerja. Tempat berlabuh harta untuk memenuhi kebutuhan dunia[1]akhiratku. Motorku mogok, jadi aku terpaksa menggunakan angkutan umum.
“Di India sana… ya benar… itu namanya…,” ujar laki laki tua sedang berbicara dengan ponselnya.
Dia mengangguk padaku. Berniat menyapa.
“Geser sini Mas, hati-hati,” kata Pak Tua itu.
Dia pun menunjukkan isyarat jijik dan tangannya menunjuk-nunjuk pada dahi. Aku mengikuti arahannya dan baru saja paham, ada laki laki tua gila di sampingku.
Pakainnya kulot, compang-camping, dan kotor lagi lusuh. Kulitnya disertai banyak luka, terutama di bagian kaki. Aku terenyuh, melihat parasnya yang terlekuk kusut.
“Syaikh Zainudin Al Malibari,” celotehnya.
Tunggu?!! Apakah dia barusan memperkenalkan diri? Aku menatapnya dalam. Diakah ulama dalam mimpiku semalam, yang menjelaskan padaku fan fiqih tentang wudhu?
“Apakah itu nama Anda?” tanyaku pada orang yang disangka gila itu.
“Anak Muda, itu orang gila,” bisik penumpang angkot yang lain.
Aku tidak menghiraukannya, rata-rata orang awam memandang orang lain dengan mata kosong. Bukan mata hati yang berilmu. Sungguh aku melihat kearifan di mata orang yang disebut sebagai orang gila itu.
“Itu bukan namaku, Nak. Itu nama guruku. Kau mau belajar dengannya?” jawabnya.
Orang-orang seisi angkot memandangku tajam. Sudah beberapa kali aku diperingatkan oleh mereka, jangan dekat-dekat dengan si gila itu. Tapi aku keras kepala. Aku malah asyik berdialog dengannya.
Aku mengangguk. Bersedia menjadi murid gurunya.
“Baiklah, ayo!” Dia mengetok jendela angkot dengan cincinnya, tanda menyuruh sopir angkot untuk mengerem mobilnya. Mobil berhenti, dia menyuruhku turun bersamanya.
Semua orang terkejut, saat dia membayar jasa angkot dengan dua emas batang. “Aku membayar untukku dan untuk pemuda ini,” katanya kepada sopir angkot.
Kami berhenti di taman kota. Tanpa kata-kata, dia tiba-tiba menyelam di sebuah kolam. Aku hanya mengamatinya dari darat. Empat detik kemudian dia naik. “Aku hendak dhuha dulu,” katanya.
“Sudah gugur kewajibanku untuk mempraktikkan cara berwudhu padamu.”
Tanpa tengok kanan dan kiri, dia sudah tahu arah kiblat. Saat dia selesai takbirrotul ikhrom, tiba-tiba tembakan peluru polisi mengenainya. Aku panik, melihat lengan kanannya dipenuhi darah yang mengalir. Dia sudah terpejam saat aku berlari menghampirinya. Nafasku tersengal-sengal. Ada tubuh tak bernyawa di pangkuanku. Ini mimpiku semalam, aku tak berhasil mencegah takdir Tuhan untuk menghindari datangnya maut yang menghampirinya.
Polisi itu menghampiriku. “Maaf, aku sungguh tidak sengaja. Aku hendak menembak penjahat yang baru lari dari sel.”
Aku diam, membisu. Masih terlalu panik jiwaku.
“Owh… ternyata orang gila itu yang tak sengaja kubunuh. Syukurlah bukan orang yang berakal. Jadi aku tidak merugikan orang lain.”
Saat mendengar itu, emosiku naik, aku menghantam polisi itu karena ucapan lancangnya. “Asal tahu siapa laki-laki tua ini, kau pasti akan merasa sangat marah pada dirimu.”
Sekumpulan orang berkerumun melihatku dan polisi tadi bertengkar.
Semua orang menganggapku gila, karena aku berpihak pada orang gila.
Aku yakin penilaian mereka salah tentang itu. Terbukti, pada proses pemakaman orang gila ini, para kiai sepuh berdatangan dengan sepasang mata merah yang berlinang air mata. Tiba-tiba datanglah mobil mewah ke area ini. Laki-laki tua berjubah putih mendekatiku.
“Kau adalah pewaris ulama itu. Tinggalkanlah kesibukanmu pada dunia, bergabunglah bersama kami. Ikut pada kearifan beragama. Kau lulus seleksi dalam ujian mata hati. Kau bisa memandang dunia dengan pandangan yang luas,” tutur beliau dengan tersenyum. Wajahnya persis dengan orang gila yang baru saja dimakamkan.
“Itulah fan dari wali majnun.” ***
.
.
—NiaLaili sedang aktif menulis di komunitas online dengan dua novelnya: Jejak Kisah dan Zona Alfiyah. Juga menulis di blog SayaSantri.
.
Fan Wali Majnun. Fan Wali Majnun. Fan Wali Majnun. Fan Wali Majnun.
Leave a Reply