Cerpen, Koran Tempo, Zaim Rofiqi

“Thoughts of a Dying Atheist”––Muse

3.4
(5)

BISIKAN-BISIKAN gaib berkeriapan dari bawah bantalku. Merayap, merambat, menari-nari di samping kedua telingaku, di atas hidung, mata, mulut, wajahku, di dalam otakku, kepalaku. Semua kenangan tentangmu, membuatku selalu terjaga.

Aku tahu kau ada di sini. Aku tahu. Aku tahu kau hadir, di sini, di ruangan ini, sejak tadi. Aku tahu kau ada di tempat ini. Aku yakin. Aku yakin aku mendengar hembusan nafasmu. Aku yakin aku merasakan tatapan matamu. Aku yakin aku mendengar kelebat gerakmu, di udara, tempat duniamu dan duniaku berkelindan, berbenturan.

Dan aku tahu, tak lama lagi waktuku. Aku sadar, batas itu akan segera memangkasku. Aku tahu, kini waktu, menjadi giliranku. Aku sadar saat itu telah dekat, dan seperti kuduga, tetap saja tak ada yang bisa kau lakukan. Kau masih saja tak berdaya. Tak ada dayamu merintangiku. Tak ada kuasamu mencegahku. Kau tak bisa menghalangiku.

Jadi untuk apa kau ada di sini? Untuk apa kau mendatangiku dan mengusik saat-saat terakhirku? Kehadiranmu tak mengubah apa-apa. Kehadiranmu tak membuatmu nyata. Kehadiranmu tak akan mengubahku. Kehadiranmu tak mengubah keputusanku.

Lihatlah mataku, lihatlah lekat-lekat mataku, dan kau tahu, aku telah menghapusmu. Pandanglah mataku, pandanglah tajam-tajam mataku, dan kau tahu, tak ada lagi kau di situ. Tataplah mataku, tataplah dalam-dalam mataku, dan kau tahu, tak ada lagi yang menakutkanku. Kini, hanya akhir yang tampak olehku.

Jadi, sekali lagi, untuk apa kau hadir di sini? Untuk apa kau berkelebat-kelebat di ruangan ini? Mengejekku? Menertawakanku? Menyadarkanku? Menyombongkan dirimu? Mengasihaniku? Mengubah pikiranku? Memperlihatkan keberadaanmu? Membalik keputusanku? Menunjukkan kebaikanmu? Memperlihatkan perhatianmu? Ha ha. Memang, aku tahu, tak lama lagi waktuku. Aku sadar, batas itu akan segera memangkasku. Aku tahu, kini waktu, menjadi giliranku. Aku sadar saat itu telah dekat. Tapi semuanya telah terlambat. Semuanya telah hancur. Diriku, harapanku, mimpi-mimpiku, semua hal yang berharga dalam hidupku, dan yang paling penting: kepercayaanku padamu. Bagiku, kau telah tak ada lagi. Bagiku, kau telah mati. Sejak dulu.

Ya, sejak dulu. Sejak kutahu betapa tak berdayanya kau, ternyata. Sejak kutahu betapa tak acuhnya kau:

Kuseru-seru namamu saat ayahku menindihku. Kucurahkan harapanku hanya padamu karena tak ada lagi siapa pun di rumah itu. Ibuku, yang berteriak-teriak seperti orang gila, akhirnya pingsan setelah terjengkang dan kepalanya membentur dinding karena didorong ayahku.

Apa salahku? Apa salahku? Apa salahku hingga kau memperlakukanku seperti itu?

Aku belum genap 17 tahun saat itu. Dan kau tahu, setiap hari aku memujamu, setiap saat kuagungkan namamu. Setelah peristiwa itu, entah mengapa, aku masih terus memujamu: setiap hari kukunjungi istanamu dan di sana, kupuja dirimu, kuagungkan namamu, sambil berharap apa yang telah terjadi padaku itu hanya musibah, hanya ujian.Tapi aku salah, ternyata. Peristiwa itu terjadi lagi, dan lagi, dan lagi. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan kau tak bisa berbuat apa-apa. Hingga akhirnya aku hamil, dan ayahku memaksaku untuk menggugurkan kandungan itu. Setelah itu, ia menjualku kepada seorang germo.

Dan mulailah aku hidup seperti orang mati. Bertahun-tahun kujalani hidup layaknya sesosok mayat berjalan, sama sekali tanpa harapan. Ya, belasan, puluhan, tahun kujalani hidup sebagai seorang pelacur. Aku merasa semuanya telah hancur, dan tak mungkin pulih kembali. Belasan, puluhan tahun pula aku seperti kehilangan diri. Dari hari ke hari, aku merasa sekujur tubuhku perlahan menjelma larik-larik pertanyaan yang terus-menerus menuntut jawaban dan tak kunjung aku temukan: Apa salahku? Apa salahku? Mengapa harus aku? Dan sama: tak ada jawaban, kau masih saja menghilang. Selama belasan, puluhan tahun itulah keraguanku terhadapmu terbentuk. Rasa ragu yang seperti secarik luka dalam hati yang tak kunjung sembuh, semakin memburuk, bertambah parah, hingga akhirnya menjadi semacam borok yang hanya menimbulkan rasa pedih dan nyeri. Suatu borok yang terus membusuk hingga akhirnya menjelma kebencian.

Jadi, sekali lagi, untuk apa kau hadir di sini? Untuk apa kau berkelebat-kelebat di ruangan ini? Mengejekku? Menertawakanku? Menyadarkanku? Mengubah pikiranku? Membalik keputusanku? Menunjukkan kebaikanmu? Memperlihatkan perhatianmu? Ha ha. Memang, aku tahu, tak lama lagi waktuku. Aku sadar, batas itu akan segera membabatku. Aku tahu, kini waktu, menjadi giliranku. Aku sadar saat itu telah dekat.Tapi semuanya telah terlambat. Semuanya telah hancur. Diriku, harapanku, mimpi-mimpiku, semua hal yang berharga dalam hidupku, dan yang paling penting: kepercayaanku kepadamu. Bagiku, kau telah tak ada lagi. Bagiku, kau telah mati. Sejak dulu.

Baca juga  Mati

Ya, sejak dulu. Sejak kutahu betapa tak berdayanya kau, ternyata. Sejak kutahu betapa tak acuhnya kau:

Kusandarkan sepenuhnya diriku padamu saat sepuluh hari berturut-turut daganganku tak laku-laku. Tak seperti hari-hari lain, selama sepuluh hari itu semakin sering aku menemuimu, memohon agar aku diberi jalan untuk lepas dari masalah itu karena aku tahu tak ada lagi yang bisa menolongku. Kuseru-seru namamu setiap malam hingga dini hari saat para rentenir itu terus-menerus datang menagih utang dan aku tak punya apa pun untuk membayar. Akhirnya, di hadapanku, mereka memperkosa istriku bergiliran dan membawa pergi satu-satunya anak perempuanku.

Apa salahku? Apa salah istriku? Apa salah anakku? Apa salah kami hingga kau memperlakukan kami seperti itu?

Dua hari setelah peristiwa itu, istriku bunuh diri. Kematian dan kepergian orang-orang yang sangat aku cintai itu begitu memukul diriku, mengempaskan aku ke dalam ceruk-ceruk hidup yang selama ini tak terpikirkan olehku. Setelah kematian dan kepergian orang-orang yang begitu kukasihi itu, tak ada lagi hal berharga yang kumiliki di dunia ini.Ya, tak ada lagi alasanku untuk terus hidup dengan cara yang selama ini kujalani: perlahan-lahan, kepercayaanku kepada semua orang mulai terkikis, mungkin nyaris habis; perlahan-lahan kuabaikan istanamu yang dulu selalu kukunjungi setiap hari; perlahan-lahan, kusangsikan dirimu dan semua hal yang terkait denganmu: rasa sangsi yang semakin hari semakin membuncah hingga menjelma kebencian yang akhirnya membalikkan hal-ihwal yang selama ini kuyakini.

LALU aku pun hidup seperti orang mati. Bertahun-tahun kujalani hidup layaknya sesosok mayat berjalan, sama sekali tanpa harapan. Sampai suatu ketika, sakit hati dan dendam karena kematian istriku dan kepergian anakku yang selama ini aku pendam dan terus menjalar dalam tubuhku seperti meledak dan menggetarkan otak dan jiwaku hingga membuatku berubah pikiran.

Dan sejak itu, kujalani hidup dengan caraku sendiri, bukan caramu, atau cara yang selama ini dianggap orang-orang berasal darimu: belasan, puluhan tahun aku jalani hidupku sebagai maling, perampok, kecu, pembunuh bayaran. Kuabaikan rasa iba, tak kupedulikan belas kasih—dua hal yang, kau tahu, juga tak pernah kudapatkan selama hidupku. Berkali-kali kubuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku bisa mengakhiri hidup orang-orang keji itu sesukaku. Berulang kali kuperlihatkan kepada diriku sendiri bahwa nyawa orang-orang biadab itu tak bergantung padamu, tapi padaku, atau orang-orang sejenisku. Kerap kali kubuktikan kepada diriku sendiri bahwa nasib baik atau nasib buruk orang-orang bengis itu bisa kutentukan sendiri. Ya, sendiri, sama sekali tanpa campur tanganmu. Dan nyatanya, kau tak bisa berbuat apa-apa.

Jadi, sekali lagi, untuk apa kini kau hadir di sini? Untuk apa kau berkelebat-kelebat di ruangan ini? Mengejekku? Menertawakanku? Menyadarkanku? Mengubah pikiranku? Membalik keputusanku? Menunjukkan perhatianmu? Memperlihatkan keberadaanmu? Menunjukkan kesalahanku? Ha ha.Ya, aku tahu, kini tak lama lagi waktuku. Aku sadar, batas itu akan segera menebasku. Aku tahu, kini waktu, menjadi giliranku. Aku sadar saat itu telah dekat.Tapi semuanya telah terlambat. Semuanya telah hancur. Diriku, harapanku, mimpi-mimpiku, semua hal yang berharga dalam hidupku, dan yang paling penting: kepercayaanku kepadamu. Bagiku, kau telah tak ada lagi. Bagiku, kau telah mati. Sejak dulu.

Ya, sejak dulu. Sejak kutahu betapa tak berdayanya kau, ternyata. Sejak kutahu betapa tak acuhnya kau. Sejak kutahu betapa bodohnya aku mencintaimu:

Masih kusandarkan sedikit harapanku padamu saat puluhan (mungkin ratusan) orang bersorban dan berpakaian serba putih itu mendatangi rumahku. Dengan wajah-wajah penuh amarah mereka memanggil-manggil namaku sambil meneriak-neriakkan kata-kata “kafir” dan “murtad”. Aku berusaha mengajak bicara dan menenangkan mereka sambil sekali-kali menyebut namamu, memuja-mujimu, menyitir gelar-gelar kebesaranmu, berharap semua itu bisa mengubah pikiran dan meredakan amarah mereka. Tapi aku salah, ternyata. Semua kata dan nama yang kuucapkan malah semakin membuat mereka beringas. Lalu, sambil mengacung-acungkan parang, golok, dan pentungan, setelah meneriakkan salah satu nama keagunganmu, mereka pun menyerbu rumahku, menjarah barang-barang berhargaku, mengobrak-abrik perpustakaan pribadiku, lalu membakarnya. Tak puas dengan itu, mereka pun menyeret-nyeretku, menelanjangiku, lalu memukuliku beramai-ramai.

Baca juga  Gantungan Baju Buya

Apa salahku? Apa salahku? Apa salahku hingga kau memperlakukanku seperti itu?

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku menerima sebuah surat panggilan dari pengadilan. Ya, aku diadili karena dianggap telah mencemarkan dan menodai sebuah keyakinan, serta menyebarkan ajaran yang dianggap menyesatkan. Pendeknya, aku diadili karena dianggap telah menghinamu, merendahkanmu.

Menghinamu? Merendahkanmu? Betapa anehnya. Betapa menggelikannya.

Kau sendiri tahu, sejak kecil hingga remaja aku begitu mencintaimu. Begitu besarnya cintaku padamu hingga, seingatku, tak pernah sekali pun dalam sehari aku tak mengunjungi istanamu, menemuimu, dan mengungkapkan rasa sayangku kepadamu. Memang, aku sadar, sangat sadar, pada masa kanak dan remaja ini cintaku kepadamu buta semata, karena aku sama sekali tak tahu (atau tak peduli) alasan mengapa aku begitu memujamu: apa yang kutahu hanyalah bahwa sejak kanak-kanak, kedua orangtuaku selalu mengajakku—atau memerintahkanku—untuk mengunjungi istanamu dan memujamu di sana. Entah mengapa, pada masa ini aku selalu merasa bahagia bila berada di istanamu, menyenandungkan puja-puji buatmu, meski tak sekali pun aku bersua denganmu.

Pikiran dan rasa cintaku kepadamu mulai berubah ketika aku menginjak dewasa, saat aku masuk ke sebuah perguruan tinggi yang khusus mempelajari hal-ihwal tentangmu. Saat masuk ke perguruan tinggi itu, tekad di hatiku hanya satu: aku ingin cintaku padamu bukan cinta buta belaka, seperti yang terjadi pada masa kanak dan remajaku dulu. Ya, jauh di lubuk hatiku aku bertekad untuk menemukan alasan-alasan yang kuat untuk terus memujamu, mencintaimu. Dan pencarianku tak sia-sia, ternyata. Dari tulisan-tulisan para kekasihmu di masa lalu, kutemukan berbagai renungan yang bisa menjadi dasar, menjadi alasan untuk terus memujamu, mencintaimu: salah seorang kekasihmu paling setia, misalnya, menuliskan bahwa kau layak dipuja karena kaulah yang menyebabkan munculnya alam semesta ini—tentu saja, termasuk aku di dalamnya. Ia mengatakan bahwa alam semesta ini adalah sesuatu yang mungkin ada, yang keberadaannya memiliki keterkaitan sebab-akibat dengan keberadaan ada-ada yang lainnya. Keterkaitan ini tidak mungkin menjadi suatu rangkaian tak terbatas, sebab pasti ada sesuatu yang adanya tidak disebabkan lagi oleh sesuatu di luar dirinya, dan ia menyebut sesuatu ini sebagai penyebab utama. Penyebab utama inilah kau.

Kekasihmu yang lain mengatakan bahwa kau layak dicintai karena kaulah sesuatu paling yang besar dan tak mungkin ada sesuatu yang lain yang lebih besar daripadamu yang dapat dipikirkan dan dipahami. Tiga daur yang lalu, seorang kekasihmu yang lain mengumpamakan alam semesta ini sebagai sebuah mesin. Tak mungkin sebuah mesin yang tertata dan terancang dengan begitu canggih muncul dan berjalan dengan sendirinya, tanpa ada yang merancang dan mengendalikannya. Dan kaulah yang merancang dan mengendalikan mesin itu. Pemujamu yang lain, yang mencintaimu seumur hidupnya, menulis bahwa perbuatan baik dan perbuatan jahat tak akan ada artinya jika tidak ada sesuatu yang menjamin bahwa kebaikan dan kejahatan itu akan dibalas, kelak di sini atau di tempat lain.

KAU tentu tahu, betapa bahagianya aku menemukan alasan-alasan itu, dasar-dasar itu. Aku merasa alasan-alasan itu memberiku semacam kepastian bahwa rasa cintaku selama ini, kasih sayang yang kucurahkan selama ini, berbalas, tak bertepuk sebelah tangan, tak sia-sia. Aku merasa berbagai alasan itu memberiku keyakinan baru bahwa aku tak hanya mencintai angan-angan, khayalan, igauan. Dan aku pun semakin rajin mengunjungi istana-istanamu, mengepakkan puja-puji untukmu, menyanjungmu, memujamu.

Namun betapa sedihnya aku saat mendapati bahwa kebahagiaan ini ternyata hanya berlangsung tak lama, karena beberapa waktu kemudian kutemukan tulisan-tulisan lain yang menyangkal apa yang dituliskan oleh para kekasihmu itu: bukankah tak masuk akal untuk menghentikan rangkaian sebab-akibat itu pada penyebab utama? Jika mau konsisten dengan argumen sebab-akibat ini, maka pertanyaan terakhir yang muncul adalah siapa atau apa yang menyebabkan adanya penyebab utama itu? Bukankah kita tak dapat menyimpulkan eksistensi sesuatu dengan hanya menelaah rumusannya? Jika kau memang memiliki sifat-sifat yang selama ini dilekatkan padamu, dapatkah kau menciptakan sebuah batu yang sedemikian besar sehingga kau sendiri tak kuat mengangkatnya? Jika kau memang memiliki sifat-sifat baik yang selama ini dipercaya orang ada padamu, mengapa kau membiarkan adanya kejahatan atau penderitaan di dunia ini?

Baca juga  Pengakuan

Tak kusangkal bahwa semua penyangkalan terhadap alasan-alasan keberadaanmu yang ditulis oleh lawan para kekasihmu ini begitu menyentak diriku. Selama bertahun-tahun aku hidup terombang-ambing di antara apa yang ditulis oleh para kekasihmu itu dan apa yang ditulis oleh musuh-musuh mereka. Selama bertahun-tahun itu pula terus-menerus muncul pertanyaan dalam hatiku: bagaimana menjaga rasa cintaku kepadamu? Bagaimana aku harus meyakinkan diriku bahwa aku tak hanya mencintai angan-angan, khayalan, igauan? Apakah aku harus kembali ke masa kanak dan remaja dan mencintaimu begitu saja tanpa perlu alasan, tanpa mempedulikan alasan sama sekali? Apakah aku harus menutup mata terhadap semua penyangkalan itu dan mencintaimu secara buta seperti dulu?

Semua kebimbangan dan keterombang-ambingan ini hanya membuatku semakin dalam mempelajari hal-ihwal tentangmu. Dan kau sendiri tahu, belasan tahun kemudian kucurahkan hidupku hanya untuk menelusuri semua pandangan tentangmu: kulacak semua pandangan kekasih-kekasihmu yang menyatakan bahwa ada dasar-dasar yang cukup kuat untuk mencintai dan memujamu sampai kapan pun juga; kutelusuri juga pandangan-pandangan para musuh kekasihmu yang mengatakan bahwa hanya orang-orang gila yang terus mencintaimu saat mereka telah menginjak dewasa dan telah bisa menggunakan akal-budi mereka.

Lalu, setelah belasan tahun itu, aku pun memutuskan untuk untuk menuangkan semua pencarianku dalam sebuah tulisan. Dengan sepenuh hati, dengan sepenuh kejujuran, kutuliskan suka dukaku dalam menggeluti hal-ihwal tentangmu. Apakah aku merendahkanmu karena menuliskan dan kemudian menerbitkan semua pencarianku ini—sebuah pencarian yang kulakukan karena aku benar-benar mencintaimu, merindukanmu? Apakah aku menghinamu jika menuliskan—mungkin juga meyakini, aku tak tahu—pandangan-pandangan yang menyangkal pandangan para kekasihmu itu? Apakah aku bersalah karena menuliskan kejujuran? Apakah aku bersalah karena menggunakan otakku?

Sejak diputuskan bersalah karena dianggap telah menghinamu, mencemarkan dan menodai sebuah keyakinan, serta menyebarkan ajaran yang dianggap menyesatkan, kukatakan kepada diriku sendiri bahwa mulai sekarang tak perlu lagi berpikir tentangmu. Semua mulai tampak jelas bagiku: sia-sia saja mencintaimu. Berangsur-angsur, sejak diputuskan bersalah di pengadilan itu dan dijebloskan ke dalam tempat terkutuk ini dan mengalami semua penderitaan yang ada di dalamnya, aku sadar betapa selama ini aku telah sangat bodoh karena mencintaimu dengan begitu dalam, begitu tulus, begitu polos, begitu jujur, hingga akhirnya membinasakan diriku sendiri. Ya, sejak aku masuk ke dalam sel ini, kuhentikan semua rasa cintaku padamu. Bagiku, kau sudah tak ada lagi.

Jadi, sekali lagi, untuk apa kini kau hadir di sini? Untuk apa kau berkelebat-kelebat di ruangan ini? Mengejekku? Menertawakanku? Menyadarkanku? Mengubah pikiranku? Membalik keputusanku? Menunjukkan perhatianmu? Memperlihatkan keberadaanmu? Menunjukkan kesalahanku? Ha ha. Ya, aku tahu, kini tak lama lagi waktuku. Aku sadar, batas itu akan segera menebasku. Aku tahu, kini waktu, menjadi giliranku. Aku sadar saat itu telah dekat. Tapi semuanya telah terlambat. Semuanya telah hancur. Diriku, harapanku, mimpi-mimpiku, semua hal yang berharga dalam hidupku, dan yang paling penting: kepercayaanku kepadamu. Bagiku, kau telah tak ada lagi. Bagiku, kau telah mati. Sejak dulu.Ya, sejak dulu.

Kini, dengan semua penyakit yang telah menggerogoti diriku, dengan penderitaan yang telah kualami, biarkan aku pergi. Biarkan aku meninggalkan tempat terkutuk ini, dengan caraku sendiri. Biarkan aku mengakhiri semua ini, sendiri. (*)

Jakarta, 2010

Zaim Rofiqi tinggal di Jakarta. Kumpulan puisinya adalah Lagu Cinta Para Pendosa (Alvabet, 2009).

Cerita di atas adalah versi pendek dari cerita yang lebih panjang, mungkin tak terhingga, yang bisa melibatkan semua atau sebagian besar orang. Penulis mempersilakan pembaca (siapa pun dia/ia) untuk memperpanjang cerita ini dengan menyisipkan kisahnya sendiri atau kisah orang lain yang mungkin pembaca tahu. Kisah-kisah hidup para penulis dan pemikir seperti Yukio Mishima, Yasunari Kawabata, Frederick Nietzsche, Karl Marx, Sigmund Freud, Richard Dawkins, Michael Onfray, Christopher Hitchen, dst., dst., bisa juga disisipkan ke dalam kisah ini untuk membuat cerita ini lebih menarik.

Loading

Average rating 3.4 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!