Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Koran Tempo, 22-23 Desember 2018)
Yogyakarta, 1968
PADA jam istirahat, akan terlihat serombongan anak laki-laki membentuk kerumunan tersendiri.
“Siapa yang berani?” pemimpin rombongan itu bertanya.
Anak-anak kelas VI sekolah dasar itu hanya saling memandang, bahkan ada yang mundur seperti ada sesuatu yang mengancamnya, tetapi ada yang menjawab tantangan itu.
“Aku!”
Selalu begitu. Sejak masa kanak-kanak pun sudah terbagi: ada yang pemberani, ada yang selalu ketakutan, ada yang penuh perhitungan dan lihat-lihat dulu.
Lantas, dengan kapur putih, salah seorang dari anak-anak itu cukup menggambar di lantai, atau kalau tidak ada kapur bisa menggunakan patahan ranting, menggurat di tanah gambaran seperti ini:
“Sudah,” katanya kepada pemimpin rombongan.
Pemimpin rombongan itu menoleh ke arah anak pemberani tadi, sambil menunjuk ke arah gambar yang terbentuk di atas tanah berpasir di dekat tembok samping sekolah.
“Ayo!” katanya dengan nada perintah.
Anak yang badannya paling besar itu pun maju mendekati gambar, menekuk lutut, mengarahkan kepala ke arah gambar seperti mau bersujud. Namun anak itu tidak bersujud, ketika wajahnya mendekati gambar jari-jari tangannya membentuk lingkaran di depan kedua mata, seperti orang yang berpura-pura memegang teropong.
Masih seperti mau bersujud, tubuhnya menekuk dengan jari-jari tangan melingkar di depan mata sampai tepat berhadapan dengan gambar makhluk bertanduk yang dimaksudkan sebagai banteng itu. Melalui jari-jari tangannya yang melingkar di depan mata itu, terhubunglah matanya dengan mata banteng.
Semua anak terdiam memperhatikan. Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik, enam detik…
Pada saat itulah aku, Setan Banteng, terpanggil dan berkelebat merasuki jiwanya. Ia bangkit, perlahan tapi penuh ancaman. Tangannya sekarang lurus kencang dan mengepal. Ketika menoleh, matanya sudah menyala, wajahnya merah, dan dari hidungnya keluarlah dengusan amarah. Ya, aku, Setan Banteng, telah merasuki jiwa anak itu dan mengubahnya jadi banteng, meski tubuhnya masih anak kecil.
Ia membalikkan tubuh sepenuhnya dengan mata tersorot tajam. Kakinya menyepak-nyepak ke belakang bergantian, lantas menyerang salah satu sisi kerumunan dengan kepala agak tertunduk, seperti pada kepala itu terdapat sepasang tanduk. Banteng itu menyeruduk.
Kerumunan itu langsung bubar, dan semua anak berlari ke segala arah sambil tertawa-tawa melihat temannya telah kerasukan Setan Banteng. Sebagaimana layaknya banteng yang mengamuk, aku pun menyeruduk. Tiada lagi jiwa anak itu, yang ada hanya diriku, Setan Banteng yang menjelmakan dirinya sebagai banteng yang murka dalam permainan manusia.
Sebagaimana banteng, otaknya tidaklah secerdas manusia, meski manusia-manusia kecil yang masih ingusan sekalipun. Aku menyeruduk ke sana dan menyeruduk ke mari, karena setiap kali kukejar seorang anak yang berlari kencang sambil tertawa-tawa antara senang dan takut itu, cepat sekali dia menghilang, dan aku pun segera memburu anak-anak lain yang tampak di sekitarku.
Hiruk-pikuk dan riang gembira, begitulah permainan kanak-kanak yang memanfaatkan Setan Banteng ini, dan tentu aku menyeruduk tanpa pandang bulu. Segala sesuatu yang berada di jalur larinya anak itu kuseruduk saja tanpa kubeda-bedakan. Apakah itu anak-anak lain yang menonton dari kejauhan, anak-anak perempuan yang sedang main bèkel, ibu guru berkain kebaya yang sedang membawa map, bahkan ketika anak yang kukejar masuk ke ruang latihan paduan suara untuk keluar dari pintu lainnya, tetap kukejar juga dengan tangan lurus mengepal dan kepala yang seolah-olah memang ada tanduknya.
Aku pun tetap menyeruduk meski yang berada di jalur itu adalah para penjual es dawet, gulali yang bentuknya setelah ditiup menjadi bermacam-macam binatang, arum manis, maupun gambar umbul, karena anak yang kukejar dengan lincahnya memang sengaja melewatinya, agar aku menabrak mereka!
Segalanya berantakan. Anak perempuan menjerit-jerit meski tidak takut kepada apa pun, selain khawatir akan nasib kawan mereka yang kukejar maupun yang sedang kurasuki itu. Dengan tubuh yang agak lebih besar, anak yang kurasuki memang pantas menjadi banteng. Kedua bahunya menjadi tampak lebih kukuh, mata mendelik, wajah memerah, dan dengusnya sungguh-sungguh seperti banteng memburu lawan. Segalanya kuterabas!
Apabila kemudian semua orang sudah tidak dapat kulihat, karena memang semuanya menghindar dan bersembunyi, dan hanya tersisa dinding tembok sekolah yang kokoh, maka dengan sepenuh tenaga ke sanalah kepala anak sekolah dasar yang sesungguhnyalah tidak bertanduk ini menuju.
Tidak akan menjadi masalah bagiku jika kepala anak itu pecah. Sebagai setan, aku hanya akan melayang kembali ke langit para setan, bergabung dengan setan-setan lainnya, sampai ada lagi yang memanggil Setan Banteng demi permainan banteng mengamuk yang mengasyikkan, tetapi yang bisa sangat berbahaya ini.
Bagaimana kalau kepalanya pecah? Tentu darahnya abyor membentuk bunga merah darah di tembok. Kadang tampak indah seperti karya seni, tetapi tentu sebetulnya mengerikan-yang terpenting, ini bukanlah tanggung jawabku. Aku hanyalah Setan Banteng yang tidak berdaya menolak panggilan. Bahkan diciptakan untuk menerima panggilan itu! Apakah anak ini akan pecah kepalanya?
Namun seorang guru laki-laki mendadak muncul di belakangnya, dan menepuk punggung anak itu dengan sangat keras sebelum kepalanya membentur tembok. Anak itu pun terjatuh. Aku lepas dari tubuhnya, sebagaimana dengan cara itu tugasku dengan sendirinya berakhir.
“Hooooiii!” Guru itu berteriak dan memperlihatkan sikap marah, “Jangan main-main kalian! Ini berbahaya! Ngawur! Apa tidak ada permainan lain selain bermain dengan setan?”
Aku sudah pindah ke langit sebelah, tetapi tetap dapat kulihat anak-anak di tempat persembunyian yang menutupi mulutnya sambil menahan tawa.
Anak itu sendiri, yang tadinya tersungkur, berbalik dan mengusap mata bagaikan baru terbangun dari tidur. Guru, yang tampaknya mengerti belaka permainan semacam ini, mengangkatnya bangun dan merangkul bahunya.
Terdengar bel berbunyi.
“Ayo masuk kelas!” Teriaknya lagi, “Mau jadi ilmuwan macam apa kalian?”
Lantas suaranya merendah, seperti bicara untuk dirinya sendiri.
“Sejak kecil sudah bermain setan….” ***
.
.
Pondok Ranji – Katulampa, 17-18 Desember 2018.
Seno Gumira Ajidarma. Menulis fiksi maupun nonfiksi dan mengajar di sejumlah perguruan tinggi. Kini tergabung dalam Panajournal.com.
.
.
ruangsastra
fkoiroh
June 5, 2021 at 8:44 pm Edit
Nama : Fatikhatul Koiroh
Prodi : Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI 2017
A)
NIM : 175200034
Kritik dan Esai Cerpen Setan Banteng
Cerpen Seno Gumira Ajidarma
1.Tema Cerpen Seno Gumira Ajidarma Setan
Banteng karya Seno Gumira Ajidarma :
menceritakan tentang anak laki-laki kelas VI
Sekolah Dasar SD yang sedang bermain
setan banteng dengan menyeruduk semua
anak-anak lain, ibu guru, anak permepuan,
penjual dawet, kepala sekolah. Setan banteng
tersebut marah jadi tidak peduli siapapun.
Akhirnya ada seorang guru laki-laki yang
mencoba menolong anak-anak tersebut
supaya tidak bermain setan banteng
tersebut karena membahayakan diri dan
termasuk perbuatan tercela.
2. Tokoh Cerpen Setan Banteng karya Seno
Gumira Ajidarma :
1. Anak laki-laki.
2.Setan Banteng.
3. Anak-anak lain.
4. Anak Perempuan
5. Ibu Guru
6. Penjual es dawet.
7. Kepala anak sekolah dasar
8. Guru laki-laki.
3. Watak Cerpen Setan Banteng karya Seno
Gumira Ajidarma :
1. Anak laki-laki bersifat keras kepala,
pemberani.
2. Setan Banteng bersifat jahat, keras kepala,
mudah menyeruduk.
3. Anak-anak lain dan anak-anak kelas VI
sekolah dasar bersifat baik, takut.
4. Anak Perempuan bersifat baik, takut.
5. Ibu Guru bersifat baik, takut.
6. Penjual es dawet bersifat baik, takut.
7. Kepala anak Sekolah Dasar bersifat tegas,
baik.
8. Guru laki-laki bersifat baik, tegas,
penyabar, mudah menolong.
4. Latar Cerpen Setan Banteng karya Seno
Gumira Ajidarma :
1. Latar waktu : pagi hari. siang hari.
2. Latar tempat : di halaman sekolah dasar,
ruang latihan paduan suara, di Sekolah
Dasar (SD).
3. Latar suasana : marah, sedih dan kecewa.
5. Alur Cerpen Setan Banteng karya Seno
Gumira Ajidarma :
Alur pada cerita Setan Banteng karya Seno
Gumira Ajidarma menggunakan alur mundur,
karena ceritanya dari awal hingga akhir tidak
berkelanjutan jadi cerpen tersebut rasa
kekecewaan belum nampak jelas.
6. Gaya bahasa Cerpen Setan Banteng karya
Seno Gumira Ajidarma :
Majas Retorika : Apakah anak ini akan pecah
kepalanya?
Apa tidak ada permainan lain selain bermain
dengan setan?”
7. Sudut pandang Cerpen Setan Banteng karya
Seno Gumira Ajidarma :
Pada cerpen Setan Banteng ini, penulis
mengambil sudut pandang tidak langsung.
Karena penulis menuliskan sebuah kisah atas
apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.
8. Amanat Cerpen Setan Banteng karya Seno
Gumira Ajidarma:
1. Janganlah bermain Setan Banteng karena
dapat membahayakan diri semua orang
maupun semua anak Sekolah Dasar.
2. Jangan pernah bermain Setan Banteng
karena jika marah langsung masuk ke tubuh
anak yang lain tersebut dengan marah,
menyereduk semua orang maupun anak lain
dan hal tersebut merupakan perbuatan
tercela.
Makna Cerpen Setan Banteng karya Seno Gumira Ajidarma menceritakan seorang anak laki-laki kelas VI Sekolah Dasar SD awalnya bermain Setan Banteng. Anak laki-laki kelas VI Sekolah Dasar SD tubuhnya dirasuki Setan Banteng karena anak tersebut tersebut badanya paling besar, pemberani dan menantang. Setan Banteng tersebut marah. Semua ibu guru, anak perempuan, penjual dawet, kepala sekolah, maupun anak-anak lain kelas VI Sekolah Dasar (SD) takut, berlari karena setan banteng tersebut menyeruduk, tidak peduli siapa pun, tidak peduli apapun sampai-sampai semua barang sekolah pecah, berantakan. Guru laki-laki tersebut marah , lalu menyuruh anak-anak yang lain dan anak-laki-laki tersebut supaya tidak bermain Setan Banteng tersebut karena bisa membahayakan diri seseorang. Guru laki-laki tersebut menyuruh anak-anak lain masuk ke dalam kelas. Janganlah sesekali mencoba bermain Setan Banteng tersebut karena bisa membahayakan diri seseorang, ibu guru, anak perempuan, penjual dawet, kepala sekolah, maupun anak-anak lain kelas VI Sekolah Dasar (SD).