Cerpen Mustofa Efendi dan Qoharudin Hs (Radar Bojonegoro, 17 Oktober 2021)
SAWAH Yanto membentang luas. Sawah berpetak-petak itu semua ditanami padi. Sehingga semua petak sawah membentang luas yang tampak hanya hamparan tanaman padi yang menguning keemasan. Tanaman padi Yanto musim ini benar-benar sukses.
Betapa tidak, musim tanam tahun ini tidak ada hama tikus, hama wereng, hama burung, serta hama penyerang lainnya. Seminggu lagi padi siap dipanen. Yanto pun mulai mempersiapkan segala sesuatu mengawali masa panen. Salah satunya yaitu wiwit.
Wiwit merupakan upacara mengawali masa panen sebagai wujud rasa syukur atas karunia Tuhan berupa melimpah ruahnya hasil panen padi. Banyak hal harus disiapkan. Baik berkaitan acara tasyakuran maupun ritual wiwit.
“Bu, besok sampean belanja. Tiga hari lagi kita wiwit. Kita segera memanen padi. Kita mengadakan tasyakuran dengan mengundang tetangga kiri kanan sekitar dua puluh orang,” ujar Yanto kepada istrinya saat di ruang tamu sambil menonton televisi.
“Lho kok cepet to Pak, padi kita segera panen? Masak sudah waktunya ngedos?” sahut Rupiah, istrinya.
“Jangan lupa juga membuat sesajen untuk ritual wiwit yang di sawah.”
“Apa saja, Pak ?”
“Siapkan bubur putih diwadahi takir kecil (dari daun pisang). Uang recehan Rp 500. Juga tumpeng kecil diwadahi takir kecil. Telur ayam diwadahi takir, janur (daun kelapa), daun waru, dan bunga diwadahi takir kecil. Pokoknya seperti biasanya.”
Seperti biasa ketika Yanto akan memanen padi, dia pasti tasyakuran dengan mengundang tetangganya. Juga menggelar ritual wiwit di sawah. Semua itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas panen padi melimpah ruah.
Sesajen pun telah disiapkan. Yanto bersiap-siap ke sawah. Sore itu sekitar pukul 15.30, Yanto ke sawah dengan membawa aneka sesajen telah dimasukkan keranjang. Yanto mengajak anaknya, Rohim, untuk membantu membawa sesajen.
“Him, ayah antarkan ke sawah, Nak. Ayah mau wiwit,” ajak Yanto. Seketika Rohim bergegas membantu dan menyudahi aktivitasnya membersihkan sepeda.
Sesampai di sawah, Yanto memasang janur dan daun waru di pojok-pojok sawah. Tepatnya pojok utara sebelah timur, Yanto menaruh sesajen sebagaimana telah dibawa. Di antaranya bubur putih dibungkus takir kecil, uang receh Rp 500, tumpeng kecil. Juga telur ayam takir kecil, dan bunga.
Sambil berdoa kepada Tuhan. “Ya Allah Ya Tuhan, kami menyelenggarakan ritual wiwit. Tidak lain hanya sebagai ungkapan rasa syukur. Kami mohon limpahkanlah hasil panen kami. Berkahi panen kami. Karena Engkau Dzat Yang Maha Kaya. Jadikanlah hasil panen kami panen yang barakah. Aamiin ya Robbal aalamiin.”
Sementara itu Rohim hanya diam di samping sang ayah. Dia mengamati ritual dilakukan sang ayah. Segala aktivitas ayahnya diamati. Banyak pertanyaan hendak ditanyakan. Namun, Rohim masih enggan. Karena selama ini dia tidak pernah mengetahui serta tidak mengerti maksud dan tujuan orang mengadakan ritual wiwit.
Usai melaksanakan ritual wiwit, Yanto dan Rohim pun pulang.
Dengan mengendarai motor, Rohim nyetir sambil bertanya kepada ayahnya yang dibonceng. “Upacara wiwit itu apa to Yah ? Terus untuk apa ada ritual seperti itu?” tanya Rohim dengan wajah penasaran.
“Wiwit itu ritual atau upacara mengawali masa panen. Semua itu tujuannya ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.”
Belum berhenti dengan jawaban itu, Rohim kembali menanyakan sejumlah sesajen beragam yang dibawa.
“Itu hanya untuk simbol permohonan agar panen padi kita melimpah ruah dan barokah,” jawab Yanto.
Rohim pun manggut-manggut tetapi dia kurang puas dengan jawaban sang ayah. Dia bermaksud melanjutkan diskusi tentang ritual wiwit ketika di rumah.
Memang Rohim adalah pemuda milenial tidak mengenal tradisi-tradisi kuno dianggap aneh dan tidak masuk akal itu. Apalagi Rohim juga pernah mengenyam pendidikan agama ketika mengaji di Taman Pendidikan Quran (TPQ).
Sesampai di rumah, Rupiah menyambut di pintu pagar kediamannya. Sambil menyapu halaman masih berserakan sampah.
“Bu, kok sudah menyapu halaman. Apakah memasaknya sudah selesai ?” tanya Yanto baru saja turun dari motor.
“Ya sudah to Pak. Ini saya menyapu biar bersih. Nanti ketika ada tamu, sudah tampak bersih.”
Mereka akhirnya duduk santai di teras. Yanto dan Rupiah duduk berdampingan. Sementara Rohim duduk menghadap orang tuanya.
Rohim masih penasaran dan melanjutkan menanyakan seputar ritual wiwit masih belum dipahami.
“Yah, mengapa kita berdoa kok tidak seperti pada umumnya? Biasanya kan sehabis salat. Tadi ayah berdoa di sawah dengan aneka sesajen. Apakah itu tidak perbuatan musyrik?”
Dengan wajah santai, Yanto pun berupaya menjelaskan secara gamblang kepada putranya itu. Bahwa, berdoa itu tidak harus setelah salat. Kapan pun dan di mana pun boleh berdoa. Yang penting berdoa kepada Allah SWT. Tidak berdoa kepada selain-Nya. Misalnya kepada berhala, pohon, kuburan, dan sejenisnya apalagi kepada dewa-dewa.
“Adapun berkaitan dengan sesajen, itu hanya bagian dari budaya atau tradisi, serta hal itu sebagai simbol atau maksud apa yang kita minta,” terang Yanto.
“Tapi, Yah, bagi orang yang tidak mengerti dianggap memohon kepada zat selain Allah SWT,” tambah Rohim.
Rupiah bengong. Dia tidak tahu asal-usul pembicaraan sedang hangat dibicarakan tahu-tahu sudah terjadi diskusi menghangat. Dia pun ingin nimbrung dan ingin tahu tema apa yang sedang dibicarakan.
“Yah, sejatinya apa yang kalian bicarakan? Kok kelihatannya serius?” tutur Rupiah.
“Gini lo Buk, Rohim tanya kenapa kok ada ritual wiwit, berdoa di sawah dengan aneka sesajen? Mengapa berdoa kok tidak sebagaimana umumnya. Misalnya setelah salat.”
Seperti ayahnya, Rupiah kembali menjelaskan kepada putranya tentang wiwit ini.
“Begini ya, Him, ibu mau ikut urun pendapat. Sebetulnya jika kita berdoa setelah salat ya gak papa, ya bagus. Namun jika kita berdoa di sawah, memohon kepada Allah SWT, memohon agar panen padi melimpah ruah juga tidak salah. Kita berdoa juga kepada Allah. Yang penting tidak punya niat berdoa kepada selain Allah. Adapun sesajen itu hanya sebagai upaya melestarikan budaya atau tradisi nenek moyang agar tidak punah.”
Rohim manggut-manggut mendengarkan pemaparan panjang lebar dari ayah dan ibunya. Dia baru sadar dan mengerti hakikat ritual wiwit. Sejatinya jika mengerti makna dari hakikat wiwit tentu tidak ada yang disebut kemusyrikan.
Itulah pentingnya diskusi serta pentingnya orang tua menerangkan kepada anak cucu tentang tradisi atau budaya turun-temurun itu. Jika tidak ada yang menerangkan, akan terjadi kesalahpahaman.
Dari diskusi panjang lebar, azan magrib berkumandang. Yanto dan Rohim bergegas mempersiapkan tempat dan gelaran untuk tamu undangan tasyakuran. Bingkisan sudah disiapkan. Rupiah menata bingkisan di atas gelaran secara rapi dan teratur.
Tibalah saatnya para tamu berdatangan. Mereka datang dan duduk bersila di lantai di atas gelaran karpet. Sambil menunggu tamu undangan, saling membicarakan hasil panen masing-masing.
Sebelum doa dipanjatkan, terlebih dahulu ustad memberikan tausiyah atau ceramah pentingnya bersyukur.
“Para Bapak, sebelum doa kami pimpin, izinkan saya menyampaikan siraman rohani tentang syukur. Jika Allah telah memberikan nikmat-Nya, wajib kita bersyukur. Apakah bersyukur itu dengan ucapan, dengan hati, atau dengan amal. Jangan sampai kita tidak mau bersyukur padahal Allah sudah memberikan kenikmatan kepada kita yang melimpah ruah. Dan jangan lupa keluarkan zakat sesuai ketentuan dan tuntunan agama.”
Tatkala ustadz telah selesai memberikan tausiyahnya, doa lalu dipanjatkan dan para undangan mengamini. Dengan harapan semoga panen padi melimpah ruah dan barokah. ***
.
.
Mustofa Efendi, guru SMPN 1 Kanor. Dan Qoharudin HS, guru SMPN 1 Gayam, Bojonegoro.
.
.
Kholil
Mantap pak