Cerpen Mahan Jamil Hudani (Radar Kediri, 17 Oktober 2021)
AKU begitu terkejut dan sungguh tak mengira ketika dua anak kecil yang sedang asyik bermain di halaman rumah tersebut, tiba-tiba menyongsong dan menyambutku dengan begitu ramahnya tanpa rasa takut atau canggung sedikit pun. Seolah aku adalah orang yang begitu dekat bagi dua bocah tersebut padahal ini adalah kali pertama kami bertemu. Aku serasa tak percaya namun merasa bahagia.
“Om Mahrez ya. Ayo masuk, Om!” Sambut dua anak tersebut sambil membuka pintu gerbang yang terbuka sedikit menjadi lebih lebar saat aku baru saja mematikan sepeda motor di depan pintu gerbang rumah tersebut. Rupanya mereka berdua telah melihat kedatanganku dari halaman tempat mereka bermain. Dua anak tersebut menyalamiku sambil mencium tanganku lalu menggandengku masuk ke dalam.
“Kalian pasti Nayla dan An’an ya?” kataku menutupi keterkejutan sambil mengarahkan pandangan bergantian, ke arah kanan dan kiri.
“Iya, Om.” Jawab mereka serempak dengan suara agak kencang namun penuh nada kegirangan.
Tiba di depan pintu rumah yang terbuka, dua anak tersebut berlari menghambur ke dalam rumah sambil memanggil seseorang.
“Mama……lihat siapa yang datang……!” Mereka berteriak dengan girang. Aku masih agak bingung sesungguhnya dengan sambutan mereka ini walau memang yakin bahwa penghuni rumah ini benar adalah seorang perempuan yang selama hampir enam belas tahun telah tak kujumpai namun ia telah mengisi ruang hatiku.
Seorang perempuan keluar dari ruang dalam menuju ruang depan. Tatapan kami lama berpandangan tanpa bisa bicara sepatah katapun. Ya, benar. Perempuan itu, perempuan yang memang begitu kurindukan karena hampir dua windu tak bertemu sejak kami meninggalkan bangku perguruan tinggi di kota dan kampus yang sama. Kami memang pernah kehilangan komunikasi. Ia menghilang tanpa seorang teman tahu di mana berada.
Beberapa tahun kemudian, ia kudengar telah menikah dan tinggal di negeri seberang. Seorang asing dan kaya telah menikahi dan membawanya ke negeri asalnya. Saat itu aku merasakan benar-benar kehilangan namun bahagia karena kuharap setelah menikah, perempuan yang kini berada di hadapanku ini juga bisa mendapatkan kebahagiaannya kembali, kebahagiaan yang telah lama hilang sejak ia masih kecil, saat ia merasakan penderitaan dan kepedihan karena keadaan rumah tangga orangtuanya yang tak harmonis yang membuatnya merasa senang saat ia berkesempatan melanjutkan pendidikannya di kota lain, dan akhirnya bertemu denganku.
***
“Ya, aku memang telah memperkenalkan dan menceritakan Mas pada anak-anak,” cerita perempuan itu setelah kami sejenak saling terdiam cukup lama, sebelum ia memulai pembicaraan dengan bertanya kabar dan kedaanku. Batinku sungguh terenyuh mendengar tuturan perempuan itu.
Setelah mendengar cerita Rizal sepupuku bahwa Deay, perempuan itu, telah pindah ke kotaku, aku memang begitu yakin bahwa Deay tinggal di rumah yang sekarang kukunjungi ini. Rumah yang beberapa minggu terakhir ini sering kulewati. Dua bocah dengan paras oriental itu, Nayla dan An’an, memang pernah kulihat sebelumnya dari foto yang Deay kirim lewat pesan Whatsapp namun aku sempat kehilangan ingatan akan mereka karena foto itu telah terhapus dari memori ponselku namun masih tersimpan di aplikasi fesbuk.
“Maaf jika aku tak memberi kabar pada Mas. Tapi aku yakin, Mas pasti akan mendengar dan tahu jika aku telah pindah ke kota ini.” Perempuan itu melanjutkan ucapannya, sementara aku masih bingung harus berkomentar apa.
“Ya, Deay. Rizal sepupuku yang memberi kabar padaku kalau kau telah tinggal di kota ini,” aku menanggapi ucapannya singkat karena aku belum menemukan kalimat-kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan secara wajar dan santai.
Kebekuan dan rasa canggung masih menyelimuti. Suatu keadaan dan pemandangan yang sungguh jauh berbeda saat aku bersama Nayla dan An’an tadi, dua bocah yang sesungguhnya justru belum pernah kujumpai dan bicara secara langsung sebelumnya tapi kami seperti telah saling mengenal lama.
“Tapi aku begitu senang lho, Mas. Nayla dan An’an bisa lagsung begitu dekat dengan Mas.” Deay berkata sambil tersenyum manis dan tulus, ucapan yang kemudian membuat kami seperti menemukan cara untuk memulai pembicaraan secara lebih santai.
***
Kehidupan rumah tangga Deay sungguh jauh dari bahagia meski telah dikaruniai dua orang anak. Lima atau enam tahun pertama, Deay tetap membaktikan dirinya sebagai seorang istri tanpa pernah protes atau mengeluh di depan suaminya. Ia menjalani itu karena memang tak punya pilihan. Tak mungkin baginya untuk pulang kembali ke negerinya, atau tinggal bersama orangtuanya kembali. Kehidupan orangtua Deay sendiri lebih buruk.
Belasan tahun dalam penderitaan di kehidupan rumah tangga, akhirnya Deay tak kuat juga menahan beban batin itu sendirian. Ia lalu melacak keberadaanku melalui media sosial. Itu karena aku memang adalah seorang yang begitu dekat selama masa kuliah dulu. Kehidupan rumah tanggaku juga tak berjalan baik, aku bahkan telah berpisah dengan istriku. Singkat kata, kami lalu saling berkomunikasi. Deay banyak bercerita padaku, sebaliknya aku juga begitu.
Beberapa tahun terakhir pembicaraan kami dipenuhi dengan impian Deay. Ia ingin kembali ke negeri ini dan memulai usaha sendiri dengan membuka toko kuliner walau impian terbesarnya sesungguhnya adalah bisa hidup di kampung yang tenang pada masa tua nanti. Deay memutuskan jika ingin berpisah dari suaminya karena memang merasa tak tahan lagi. Aku sebenarnya percaya saja dengan impian Deay tersebut, namun saat itu aku memang tak menanggapi secara serius karena kehidupan ekonomiku juga belum mapan. Itulah juga yang menjadi penyebab kegagalan rumah tanggaku.
Deay dengan segala perjuangan kerasnya mewujudkan semua itu sendirian. Ia mempersiapkan dan memperhitungkan semuanya. Ia menghubungi beberapa temannya di negeri ini untuk memulai usaha kulinernya. Tentu tak serta merta berhasil. Beberapa kali kegagalan ia alami. Jatuh bangun dalam usaha yang ia kontrol dari negeri seberang, membuat mentalnya makin matang. Ia ingin sekali menjadi seorang perem puan yang benar-benar mandiri. Tak mungkin baginya kembali pada orangtua lalu menjadi beban mereka walau ibunya sesungguhnya sangat sayang padanya.
Deay akhirnya pindah ke kotaku. Tinggal di sebuah rumah yang tak jauh dari tempat tinggalku. Membuka usaha kuliner yang telah ia rintis dari jauh di beberapa tempat di kota ini bersama beberapa temannya. Kini ia bisa fokus menjalankan usahanya karena bisa langsung terjun mengembangkan usahanya tersebut. Ia telah menjadi seorang single parent bagi kedua anaknya, anak yang kini langsung menjadi dekat denganku.
Sungguh aku sangat terharu mendengar dan melihat langsung semua perjuangannya. Sebuah perjuangan yang sangat luar biasa. Aku entah kenapa, mau tak mau, membandingkan sosok Deay dengan mantan istriku.
Mantan istriku, meninggalkanku terlau cepat karena tak tahan melihat kehidupanku yang belum mapan, seolah tak memberiku kesempatan untuk berjuang. Mungkin ini juga salahku, kenapa pada usia yang telah melewati kepala empat, namun juga belum mengalami kesuksesan.
Deay dengan segala perjuangan hidupnya tersebut telah memacu hasrat dan adrenalinku untuk berjuang lebih keras dalam hidup. Aku kini tak bisa memberi toleransi bagi kegagalanku di masa lalu. Aku harus bangkit, bangkit seperti Deay yang akhirnya tak mau menyerah pada nasib.
“Kau tahu, Mas. Di mataku, kau sebenarnya lelaki hebat yang pernah kutemui. Kau bisa lebih sukses dan hebat dari apa yang pernah dibayangkan banyak orang.” Ucapan Deay tersebut menyentakku.
“Aku belum paham dengan perkataanmu, Deay?”
“Kau pasti mengerti, Mas. Hanya saja kau sering merasa kau tak mengerti.”
Aku lalu merasakan secara perlahan semua tentang Deay merasuk ke dalam sanubariku, semangatnya, perjuangannya, impiannya yang pernah hilang seperti yang sering dikatakannya sendiri padaku lewat pesan-pesannya, bahkan jiwanya.
Aku menatap sepasang matanya yang lentik walau Deay kemudian menundukkan parasnya. Cukup lama aku menatapnya, menerjemahkan semua perjalanan hidupnya. Deay tetap menunduk, dan kini aku mengerti, ya aku mengerti semua perkataannya. Aku melihat bayanganku sendiri di parasnya yang manis. Aku kini juga melihat impian dan masa depanku pada dirinya, pada sosoknya.
“Ya, aku mengerti sekarang, Deay,” ucapku mantap.
Kulihat bibir Deay tersenyum dan pipinya merona merah. ***
.
.
Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO). Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel). Bisa ditemui mahrus_prihany@yahoo.co.id
.
Sebuah Impian yang Pernah Hilang. Sebuah Impian yang Pernah Hilang. Sebuah Impian yang Pernah Hilang.
Leave a Reply