Cerpen Joko Pinurbo (Horison No.11 Tahun XXV November 1990)
SETIAP kali saya masuk ke gereja tua itu, hati saya berdesir lembut. Getaran perasaan yang mistis, yang tidak dapat saya pahami namun dapat saya resapi, mengharu biru seluruh jiwa saya dan meninabobokkannya dalam kedamaian surgawi, seakan-akan Tuhan merengkuh diri saya yang mungil ini dan melindunginya dari segenap marabahaya dan kebusukan-kebusukan duniawi. Tuhan senantiasa beserta insan yang dengan kekerdilannya selalu tengadah pada keagungan serta keanggunan-Nya.
Gereja itu merupakan salah satu dari sedikit gereja peninggalan jaman doeloe yang masih tersisa. Kakek saya almarhum, beberapa hari sebelum menghadap Bapa, pernah bercerita bahwa gereja itu dibangun oleh tangan-tangan rakyat jelata sebagai ganti hukuman kerja paksa. Orang-orang lemah tak berdaya itu konon telah secara bersama-sama menolak perintah penguasa asing dan penguasa pribumi untuk menyerahkan hasil bumi mereka dengan harga yang sangat rendah. Atas pembangkangan yang telah mereka lakukan, penguasa mengganjar mereka dengan hukuman kerja paksa: membuat jalan sepanjang seribu kilometer yang akan menghubungkan kota yang satu dengan kota yang lain.
Serdadu-serdadu berkuda, yang lebih bengis dan otoriter dari para tiran, telah siaga untuk memimpin dimulainya proyek maha berat itu tatkala seorang misionaris yang amat disegani karena kesalehan dan kearifannya datang menghadap penguasa. Dengan mengingatkan bahwa hukuman semacam itu kiranya hanya akan menimbulkan pembangkangan-pembangkangan dan pemberontakan-pemberontakan lain yang berkepanjangan, dia mengusulkan dengan sangat bentuk hukuman lain yang tak kurang nilainya. Dia memohon, bagaimana seandainya orang-orang pribumi yang suka membangkang itu disuruh saja membangun sebuah gereja untuk tempat beribadat yang mulia tuan penguasa beserta segenap keluarga, kerabat, handai taulan, serta bala tentaranya. Dia mengatakan, gereja itu nanti kiranya akan menjadi monumen sejarah yang lebih abadi dan penuh kenangan.
Adalah yang mulia istri tuan penguasa sendiri, yang sangat berkenan dengan permohonan misionaris tersebut, dan dengan kemanjaan seorang tiran dia membujuk suaminya untuk tidak ragu-ragu menerimanya. Karena sesungguhnyalah perempuan adalah penguasa yang memerintah di belakang penguasa, yang mulia tua penguasa pun akhirnya tunduk dalam rayuan manja istrinya. Maka segeralah orang-orang pribumi itu diperintahkan meratakan sebuah bukit penuh karang, mengambil batu dan pasir dari sungai, membabat pohoh-pohon terbaik dari tanah mereka sendiri, dan memeras seluruh keringat mereka untuk membangun sebuah gereja yang besar, kuat, dan megah.
Kakek adalah salah seorang dari orang-orang pribumi yang dititahkan untuk mendirikan gereja itu. Kata kakek, banyak orang yang mati selama pembangunan gereja itu. Kalau tidak mati karena sakit, kelaparan, dan kelelahan, mereka mati karena disiksa dan didera oleh mandor-mandor yang buas dan beringas. Tubuh mereka dicampakkan, digelimpangkan, dan ditimbun begitu saja di lubang-lubang galian di sekitar tempat gedung gereja itu dibangun. Konon cara mereka menguburkan mayat para pekerja paksa itu tidak dapat dibandingkan dengan cara mereka menguburkan bangkai anjing kesayangan mereka. Bahkan kakek masih ingat, bagaimana tubuh seorang temannya dicampakkan dan ditimbun begitu saja pada saat temannya itu masih dalam keadaan sekarat. Di atas kuburan temannya itu kemudian altar gereja dibangun.
Pater misionaris meninggal tatkala gereja itu akhirnya selesai dibangun. Atas permintaannya sendiri beberapa saat sebelum dipanggil Bapa, dia dikuburkan di belakang gereja, di antara sekian banyak para pekerja paksa yang mati dengan sangat memilukan. Dia ingin dikuburkan di situ sebagai tanda kasih dan persatuannya dengan orang-orang tertindas yang terdera di bawah telapak kaki raksasa kekuasaan. Dia sendiri ikut bersama mereka dari awal sampai selesainya pembangunan gereja.
Gereja itu kemudian menjadi kebanggaan seluruh umat di paroki kami. Bukan saja karena bentuknya yang klasik, bangun tubuhnya yang gagah perkasa, salibnya yang menjulang tinggi menggapai langit, dentang loncengnya yang nyaring dan merdu, atau karena umatnya yang banyak dengan koornya yang bagus, melainkan pula karena tiang: tiangnya yang kokoh dan dinding-dindingnya yang tua beserta ornamennya yang artistik tetap menyimpan keaslian masa lalu yang tak terkikis oleh arus waktu.
Hati saya selalu tergetar bila masuk dan kemudian berdoa di rumah Tuhan yang sejuk dan teduh itu. Apalagi jika suara orgel mulai mengalun dan koor anak anak yang menyerupai paduan suara malaikat itu mulai membahana, menggema cinta Tuhan yang megah, jiwa yang memberontak pun tunduk dan luluh seketika. Pada saat-saat seperti ini biasanya orang lantas lupa pada kenyataan hidup yang di luar gereja mesti dihadapi dengan segala kekerasan dan kegetirannya.
Pada setiap perayaan misa umat datang berbondong-bondong memenuhi gereja yang semakin hari semakin terasa sempit dan sumpek karena tidak sanggup lagi menampung jumlah umat yang terus membengkak itu. Meskipun harus berjubel dan duduk berdesak-desakan, kekhusyukan dan kesungguhan mereka mengikuti misa tidaklah berkurang. Dengan wajah orang-orang Kudus mereka tunduk dan berlutut di hadapan Kristus, dan cara mereka memejamkan mata sewaktu berdoa benar-benar melambangkan sikap menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan siap menerima serta melaksanakan apa saja yang menjadi kehendak Tuhan. Apabila pada saat itu mereka ditanya, siap menjadi martir. Terlebih jika mereka menangkupkan kedua telapak tangan di dada, dan dari balik dada mereka yang kudus meluncur doa-doa pujian dan permohonan yang merdu dan mengharukan semata, mereka seperti telah dirangkum oleh cinta dan kekuasaan Tuhan menjadi satu umat, satu jemaat Allah. Apabila begitu keluar dari gereja mereka ditanya, apakah mereka bersedia tidak menghajar tetangga melarat yang tertangkap basah mencuri seekor ayam, atau apakah mereka bersedia untuk tidak bersikap dengki terhadap orang lain yang lebih hebat prestasinya karena memang lebih gigih bekerja dan lebih besar semangatnya, mungkin saja mereka akan mengatakan: tergantung pada keadaan di luar gereja. Dalam arti tertentu keanggunan sikap mereka di dalam gereja memang telah dapat menutupi untuk sementara kebusukan-kebusukan dan kecurangan-kecurangan hidup mereka, yang selalu mereka tolerir dengan mengatakan bahwa manusia itu memang lemah, terbatas, dan setiap kali jatuh ke dalam dosa, dan bahwa Tuhan tetap mencintai orang-orang berdosa.
Akhir-akhir ini, setiap kali mengikuti perayaan misa di gereja kami yang megah itu, saya selalu tergoda untuk memperhatikan secara khusus seorang anggota jemaat kami. Dia seorang lelaki tua bangka, dan orang memanggilnya dengan nama Si Kafir. Dia selalu duduk di lantai teras gereja, di sebuah pojok paling belakang. Semua penduduk di sekitar gereja mengenal orang itu karena saban hari ia datang dari rumah ke rumah sambil mengemis.
Menurut cerita banyak orang, pada masa mudanya Si Kafir adalah seorang perampok dan pencuri ulung. Ia pernah beberapa kali keluar masuk penjara, dan setiap kali keluar dari penjara ia kembali melakukan kejahatan-kejahatan yang sama, bahkan menambahnya dengan bentuk kejahatan lain, misalnya memperkosa istri orang lain. Ia pernah beristri dan mempunyai anak, tetapi karena kemudian, memperlihatkan tanda-tanda kegilaan, ia diusir dan dicampakkan oleh keluarganya.
Sejak itu Si Kafir hidup menggelandang sebagai musafir edan, dan kelangsungan hidupnya tergantung pada belas kasihan orang lain. Seingat saya, Si Kafir mulai suka datang ke gereja semenjak kondisi tubuhnya menurun drastis. Dagingnya menyusut sehingga tubuhnya seperti tinggal rangka. Ia mengidap batuk berat, dan setiap kali batuk dari kerongkongannya menggelontor dahak kental yang kadang-kadang bercampur darah.
Rambutnya panjang dan gimbal, dan kumis serta janggutnya yang buruk dibiarkan tumbuh liar di sekitar mulutnya yang jelek dan kotor. Ia suka mengenakan baju berangkap-rangkap yang semuanya usang, koyak-koyak dan dekil. Ke mana pun pergi, dia selalu membawa blek bekas tempat minyak tanah yang berisi berbagai macam perbekalannya mulai dari sebuah cermin retak sampai nasi dan lauk hasil ia meminta-minta. Tubuhnya bungkuk dan jalannya agak oleng, dan dia suka kencing di sembarang tempat dengan memelorotkan begitu saja celananya yang kedodoran. Setiap orang yang berdekatan dengannya, pasti tidak akan tahan dengan bau yang menguap dari seluruh tubuhnya.
Setiap kali dia tidak punya uang dan kemudian ngendon di lantai gereja, orang-orang yang duduk di sekitarnya secara otomatis menyingkir. Bukan saja karena tidak tahan dengan baunya, melainkan pula karena terganggu oleh ulahnya yang aneh dan menjijikkan. Dia mempunyai kebiasaan unik. Sepanjang misa dia membuat tanda salib, bergantian dengan tangan kanan dan tangan kirinya. Setiap kali orang-orang berdoa, dia ikut berdoa dengan cara mengucapkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh orang lain karena kata-kata itu memang tidak dapat ditemukan dalam bahasa orang waras. Demikian juga, setiap kali umat bernyanyi, dia ikut bernyanyi dengan melantunkan nada-nada aneh yang kata-katanya sama sekali tidak dapat dikenali. Jika orang-orang berdiri untuk menerima komini, dengan enaknya dia mengeluarkan makanan dari dalam blek dan melahapnya dengan nikmat. Sebagian makanan yang dilahapnya nampaknya dia peroleh dari tempat-tempat pembuangan sampah. Yang paling menjengkelkan dari semua ulahnya adalah batuknya yang dahsyat, dan setiap dia batuk dia memuntahkan dahak kentalnya ke lantai gereja.
Lain lagi ulahnya pada saat acara kolekte. Dia selalu ngiler melihat orang-orang merogoh uang dari saku atau dompet mereka, dan bila mereka memasukkan uang itu ke dalam kantong kolekte dengan wajah dermawan agung, dia menadahkan kedua tanganya dengan harapan ada orang berbelas kasihan dan bermurah hati padanya. Orang mengatakan bahwa si tua bangka yang gila itu sengaja memanfaatkan kesempatan kolekte untuk mengemis. Supaya dia berhenti menadahkan tangan, biasanya ada satu atau dua orang yang dengan kecut memberinya uang logam 50-an atau 100-an.
Para petugas misa sering memelototi, memaki-maki, dan mengusirnya pergi, tetapi dia tetap ngendon di tempatnya. Sebaliknya, anak-anak kecil senang sekali merubungnya dan menggodanya, dan sambil tersenyum-senyum dia nampak senang ditonton dan dipermainkan oleh mereka. Biasanya suasana menjadi sangat berisik dan gaduh oleh ulah anak-anak kecil itu, dan dengan geram para orang tua meraih anak mereka, kemudian menyuruh mereka untuk duduk dan berdoa dengan tenang.
Pada perayaan misa malam itu Si Kafir datang lagi dan ngendon di tempat biasanya. Hujan turun dengan amat derasnya ketika perayaan misa baru berjalan separo. Orang orang yang tidak kebagian tempat duduk serta merta menyelamatkan diri ke bagian gereja yang aman cari siraman air hujan, sementara Si Kafir tetap tenang-tenang di tempatnya semula dan diguyur hujan habis-habisan seakan-akan tidak terjadi apa-apa atas dirinya. Petir menyambar tak putus-putusnya dan angin membadai dengan ganasnya diikuti suara gemuruh yang sangat mengerikan. Sebelum imam pemimpin misa memberikan berkat terakhir, terasa guncangan gempa yang hebat dan suara berderak-derak mulai terdengar di mana-mana. Orang-orang panik dan mencemaskan keselamatan masing-masing. Meskipun imam kami yang saleh dan bijak mengingatkan umatnya supaya tenang dan dapat menguasai diri, nyatanya mereka pada blingsatan dan masing-masing berusaha menyelamatkan diri. Diiringi jeritan yang sangat gaduh dan riuh, mereka berdesakan-desakan keluar, tak perduli akan berkat yang akan diberikan imam. Seakan-akan mereka sudah lupa dan tak percaya lagi pada perlindungan dan kekuasaan Tuhan, yang beberapa saat sebelumnya mereka sembah lewat doa dan nyanyian mereka.
Gereja kami yang tua dan megah itu pun akhirnya runtuh dan porak-poranda diguncang gempa. Dan di antara puing-puing reruntuhan gereja, orang-orang mendapatkan Si Kafir masih berada di tempatnya semula dalam keadaan selamat tanpa suatu apa. Ia ditemukan sedang berlutut dan menangkupkan kedua telapak tangannya di dada, sementara mulutnya komat-kamit mengucapkan kata-kata yang maknanya tidak dapat di mengerti oleh orang-orang waras. Apakah ia memang selamat atau telah diselamatkan, entahlah. Yang jelas, sejak itu ia dipanggil dengan nama “si penjaga gereja”. ***
.
.
Yogya, 24/26 Juli 1989
JOKO PINURBO lahir 11 Mei 1962. Setelah menamatkan pendidikan di SMA Seminari St Petrus Canisius, Magelang, melanjutkan studi di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, tempat dia kemudian mengajar. Giat dalam dunia penulisan kreatif sejak akhir tahun 1970-an. Karangan-karangannya dimuat dalam Basis, Horison, Gatra, Mutiara, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaharuan, dan sebagainya. Sejumah karyanya terdapat pula dalam Tugu, Antologi Puisi 32 Penyair Yogya (DKY & Barata Offset, 1986) dan Tonggak, Antologi Puisi lndonesia Modern (Gramedia, Jakarta, 1987).
.
.
Cerpen Si Penjaga Gereja karya Joko Pinurbo sebelumnya terbit di Majalah Horison No.11 Tahun XXV November 1990.
.
Si Penjaga Gereja. Si Penjaga Gereja. Si Penjaga Gereja. Si Penjaga Gereja. Si Penjaga Gereja. Si Penjaga Gereja.
Leave a Reply