Cerpen Abednego Afriadi (Jawa Pos, 08 Mei 2011)
TAK ada satu pun kerangka atau mayat-mayat busuk tersisa. Liang kubur terbuka berantakan. Kosong. Di mana jenazah-jenazah itu? Dicuri? Atau pergi sendiri? Ah tak mungkin. Tak mungkin!
Petir serupa ekor naga yang membesat, menyambar pedang para malaikat penjaga langit. Bergemuruh membelah gumpalan mendung yang sebagian hitam, sebagian putih. Mendung terlalu sombong menghalangi singgasana jutaan bintang dan galaksi.
Lampu padam. Nyala obor, lilin, dan senter redup menembus celah-celah pintu, jendela, fentilasi dan sebagian gubuk-gubuk rumah penduduk. Aroma hujan, tanah basah, dan limbah tahu yang memuakkan begitu kentara. Apalagi pemakaman sebelah kampung yang tidak terurus bertahun-tahun; kuburan orang-orang yang diajak menjarah pertokoan, sepuluh tahun lalu, menyisakan aroma mayat yang kadang-kadang menggelitik lambung untuk memuntahkan segala macam makanan. Malam itu, ketakutan mencengkeram kami.
Setiap malam, kenthongan dipukul bertalu-talu, peringatan agar tidak membuka pintu, jendela atau genting; mengintip, apalagi keluar rumah. Setidaknya bakal ada salah satu anggota keluarga yang hilang tanpa jejak, jika tetap nekat. Sudah hampir sepuluh keluarga kehilangan anak, suami, dan istri.
***
Pagi begitu bening setelah semalam diguyur hujan. Usai kerja bakti membersihkan selokan yang tersumbat sampah, kami baru memulai pembicaraan. Saat itu, Mbah Joko Gembok, juru kunci pemakaman umum sebelah kampung menceritakan, bahwa beberapa warga pernah datang ke tengah-tengah kuburan tanpa alasan.
“Kenapa tak kau beri tahu kami?”
“Saya juga tak habis pikir, sejak itu tak pernah saya lihat mereka keluar. Saya pikir mereka ziarah di makam Eyang Restu. Apa mungkin saat mereka keluar saya tertidur?”
“Penculikan?” tanya Pak Rt penuh curiga.
“Ah, ada urusan apa? Warga tak pernah sekalipun ikut demo, dan aktif jadi kader organisasi yang bertentangan dengan pemerintah,” sahutku.
“Mungkin mereka mencurinya. Tapi ada firasat tak enak, apa mungkin mayat-mayat itu bangkit kembali?” jawab Mbah Joko Gembok dengan tenang. “Pertanda apa ini?”
Sesuai dengan rapat yang digelar, kami sepakat malam itu berkumpul di Balai Kampung. Empat orang satgas bersenjatakan pentungan menjaga mereka. Tidak boleh ada satu pun warga yang nekat mendekam di rumah. Semua dikunci di Balai Kampung. Sedangkan bapak-bapak dan beberapa pemuda serentak menuju pemakaman umum. Sebagian membawa obor, sebagian membawa kenthongan. Di barisan depan, samping, dan belakang berjaga-jaga bersenjatakan klewang, sabit, pisau dapur, pisau cukur, gunting, gobang, pedang, cemiti, silet, dan jarum. Sedangkan Mbah Joko Gembok hanya bergumam merapalkan mantera tolak balak.
Hujan sudah berhenti. Tinggal beberapa butir tersisa di setiap helai daun. Mantel hujan enggan kami copot. Angin berisik kadang menjatuhkannya. Sedikit gentar pula sebagian pemuda ketika kaki mereka menginjak tanah pemakaman yang basah, becek dan dingin. Mereka mulai frustasi dan berteriak seperti kesurupan.
***
Sejak hilangnya beberapa warga, kami tak pernah pergi ke kota yang telah luluh lantak. Tarian mayat-mayat membuat beberapa warga kota mengungsi ke kampung kami, sebelum air bah menerjemahkan kutuk. Kebetulan kampung pinggiran kota ini letaknya lebih tinggi. Apalagi karena para mayat memilih tinggal di gorong-gorong, selokan, bendungan, sungai, sumur, wc umum, tempat-tempat ibadah, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, kantor polisi, kantor pengadilan, kantor kejaksaan, kantor kelurahan, kantor kecamatan, kantor balai kota, gedung pertunjukan, hotel-hotel, diskotik, kantor wali kota, bus-bus kota, alun-alun, mall-mall, supermarket, kaki lima, angkutan kota, becak, taksi, pasar-pasar, sampai truk sayur.
Barisan mayat itu tak lagi punya persinggahan. Mungkin jika terpaksa, mereka akan menjalar ke pedesaan hingga tempat-tempat terpencil yang jauh dari peradaban seperti wabah. Karena seluruh penjuru kota penuh sesak berebut kematian. Mereka menyakiti diri sendiri, saling membunuh, tapi tidak mati-mati juga. Mereka minum segala macam racun, alkohol berkadar 99 persen, tapi tak juga mati. Mereka rela bersetubuh dengan virus-virus binatang, tapi tak juga mati. Mereka memotong-motong tangan, kaki, dan lehernya sendiri, tapi tersambung kembali tanpa diminta.
Gedung-gedung telah rubuh, petir merembet ke tubuh mereka, tapi tetaplah mereka mayat yang hidup, berjalan bergeleyotan serupa pemabuk arak, menyisakan becek dan lengket daging busuknya.
Jutaan ekor pemburu bangkai mengitari langit, mencari mayat-mayat untuk disantap. Tapi tak seekor pun selamat, dan akhirnya malah jadi santapan para mayat. Jerit doa-doa dan mantera kian bersahutan. Tapi mayat-mayat itu malah kian mengejek dengan wajah yang menyeramkan. Sebagian membusuk, tapi masih hidup. Mayat-mayat kian berkembang, bersetubuh, melahirkan anak. Begitu seterusnya. Anak-anak mereka bertumbuh cepat menjadi besar seperti ayah dan ibunya.
***
Setiba di kompleks pemakaman, kami terperangah memandang nisan-nisan hancur terbongkar. Tak ada satu pun kerangka atau mayat-mayat busuk tersisa. Liang kubur kosong.
“Di mana jenazah-jenazah itu?”
“Dicuri?”
“Atau pergi sendiri?”
“Ah tak mungkin.”
Tubuh kami gemetar. Sebagian terkencing-kencing di celana. Sedangkan kami harus melanjutkan perjalanan ke kota. Mbah Joko Gembok memimpin. Semangatnya itulah yang membuat kami tak gentar menghadapi jutaan mayat di kota. Kami merasa malu, apalagi para pemuda melihat keberaniannya menyusuri desiran angin yang terasa dingin menyeramkan.
Mbah Joko Gembok bukanlah mantan tentara pejuang, atau anggota sanggar beladiri tenaga dalam. Tubuhnya pendek, badannya kurus. Selalu ia menyapa siapa saja dengan sebutan Gus. Sikap yang membuat kami tiba-tiba sungkan.
Setiba di kota, seluruh pasang mata jutaan mayat membidik kami. Kami menyusuri sudut-sudut kota. Mbah Joko Gembok hanya bergumam menembang, dan kami pun mengikutinya dengan memukul kenthongan bertalu-talu, serupa irama takbir di malam Lebaran, serupa nyanyian yang meminta Setan Wewe Gombel untuk mengembalikan seorang anak yang diculik dan diberinya susu dari buah dadanya yang sebesar gentong. Dan kami pun juga serempak menembang, dengan irama yang tidak selazimnya digunakan untuk tembang seliris itu.
Mayat-mayat menyingkir. Sebagian musnah, sebagian berhenti bersetubuh di jalan-jalan. Sebagian berarak mengikuti kami dengan tangisan yang mengiris-iris hati. Kami berharap sebagian warga mengikuti kami untuk pulang kembali di kampung pinggiran.
Hujan merajam kian deras. Mayat-mayat sebagian terseret air. Sebagian mengikuti kami. Mbah Joko Gembok tak henti-hentinya menatap sosok wanita cantik yang kisut wajahnya, menggendong seorang bayi berkulit keriput serupa jeruk purut. Mereka tersenyum sinis. Menatap kami. Sepasang taringnya tak bisa bersembunyi dari mulutnya yang mungil dan berlendir. Matanya semerah kulit matang melinjo. Amis lendir hidung dan telinganya mengundang laler ijo. Mungkin mereka masih ingin menghinggapi salah satu atau beberapa orang dari rombongan.
Kenthongan terus bertalu. Perempuan itu kian menjauh, meninggalkan anaknya yang merangkak licik. Sesekali ingin menoleh mengisyaratkan ajakannya berenang di lembah lava pijar, di kerak-kerak bumi. Mungkin ia putus asa. Mungkin baginya pembalasan dalam alam arwah tidak begitu berarti, dan hanya akan menjadi dongeng horor yang menakutkan anak-anak kecil.
Kami memang harus mengusir mayat-mayat itu, jika perlu memusnahkannya. Sebab mereka sudah mulai kencing dan buang air besar di sembarang tempat. Segala kotoran yang keluar dari tubunya meresap ke tanah, merasuk ke air-air sumur. Hingga air yang kami minum serasa bangkai, nasi yang kami makan pun juga serasa daging yang telah membusuk. Maka jangan salahkan kami jika kami selalu muntah-muntah usai makan dan minum.
Dan tubuh kami pun perlahan ikut membangkai. Semula hanya beberapa bagian saja, tapi sehari saja hampir separuh tubuh kami membusuk. Bagi mereka yang lemah satu persatu tubuhnya akan terlepas. Mulai dari kepala, tangan, kaki, hingga jari jemari. Bayi-bayi pun membangkai karena menetek ibunya yang telah membangkai. Saban hari lidah anak-anak itu mencecap, kemudian mereguk busuk air susu.
Tak ampuh lagi mantera, rapal doa menolak wabah itu. Bahkan, Mbah Joko Gembok pun sudah membangkai, lalu musnah begitu saja. Tak ada lagi panutan untuk kami. Kami kalap.
Dan kubur-kubur kosong pun kian bertambah, sebab mayat-mayat mulai membongkar kuburannya sendiri, menghancurkan nisan-nisan bisu, lalu bergeleyotan mencari kemusnahan. Kami ingin segera musnah saja. Di kota ini, orang-orang merintih, meraung kesakitan. Jika saja kau mendengar, hatimu akan teriris, tapi semilyar pun uangmu, gajimu, tak akan mampu memulihkannya. Karena tak ada vaksin yang sanggup melawan pembangkaian ini.
Mungkin tak lama lagi, kota kami tidak lagi membutuhkan kuburan. Sebab kami adalah bangkai yang akan musnah dengan sendirinya. Lihatlah! Orang-orang yang duduk di kantor-kantor pemerintahan, polisi, tentara, rumah sakit, rumah ibadah, kampus, rumah makan, gedung olahraga, balai desa! Mereka juga membangkai. Meski ada satu anggota yang melawan, tapi tetaplah pasti terular wabah itu. Wabah bangkai. Tak lama lagi, kami akan punah. ***
.
.
Solo-Yogjakarta, November 2010
Penulis tinggal di Solo. Pernah aktif di teater. Cerpennya dimuat di Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Koran Sindo, Joglosemar, Solopos, Majalah Gong dan sejumlah antologi. Selain itu juga menulis cerkak di sejumlah jurnal dan rubrik berbahasa Jawa.
.
Catatan:
Kenthongan: alat komunikasi tradisonal, terbuat dari bambu yang dipukul-pukul setiap ada jadwal ronda, kerja bakti, dan kematian.
Laler ijo: Lalat berwarna hijau, ukurannya lebih besar dari lalat pada umumnya.
.
.
Leave a Reply