Cerpen Wayan Sunarta (Jawa Pos, 22 Mei 2011)
BERITA tentang pementasan joged bumbung telah tersebar ke seluruh pelosok Desa Wanasari. Begitu cepat seperti hembusan angin. Masyarakat di Wanasari memang selalu haus dengan hiburan. Mereka tidak sabar menunggu pementasan itu. Apalagi sekehe atau grup joged yang pentas berasal dari Desa Tiyingbuluh yang memang terkenal dengan para penarinya yang berani menampilkan gerakan-gerakan erotis. Gerakan-gerakan sensual itulah yang sangat digemari para penonton, terutama kaum lelakinya.
Senja itu, seperti biasa aku singgah di warung tuak milik Pak Langkir. Beberapa pemuda sudah berkumpul di sana, duduk melingkar beralaskan tikar pandan. Beberapa botol tuak nampak siaga di tengah-tengah mereka.
“Mau ikut nonton joged?” tanya Mura, brandal desa yang telah menjadi sahabatku sejak aku menetap di Wanasari untuk suatu keperluan penelitian sosial budaya.
“Kapan?”
“Sebentar malam.”
Sudah lama aku tidak menonton tari joged. Agaknya sangat menyenangkan menonton joged di sebuah desa pedalaman di Bali timur. Tentu sangat eksotis, pikirku.
Mura menyilakan aku duduk dan langsung menyodorkan segelas tuak padaku. Aku menyambut gelasnya dan meneguk tuak dengan nikmat.
“Jogednya dari Tiyingbuluh. Pasti seru! Rugi kalau tidak nonton,” ujar Mura.
“Aku pasti nonton. Di mana lokasi pentasnya?”
“Di Dusun Anyar, tak jauh dari sini. Pentas mulai jam delapan malam. Jadi kita bisa minum dulu. Habis minum baru kita ramai-ramai ke sana.” Mura nampak bersemangat.
Aku pun kembali hanyut dalam tegukan demi tegukan tuak. Senja makin lesap ke bebalik pepohonan dan malam mulai menampakkan parasnya yang kelam.
Begitulah kebiasaan para pemuda di Wanasari. Mereka minum tuak sepuasnya sebelum menonton pentas joged. Seringkali ajang pentas joged dipakai tempat pamer kekuatan sehingga perkelahian tidak bisa dihindari. Apalagi kalau ketemu musuh bebuyutannya. Seperti sudah ditakdirkan, pementasan joged memang sangat dekat dengan ajang mabuk-mabukan dan keributan.
Sudah bukan berita baru lagi kalau sebuah pertunjukan joged bubar karena terjadi perkelahian antar pemuda. Bahkan perkelahian yang hanya karena persoalan sepele antar pemuda bisa merambat ke perkelahian yang melibatkan warga dusun.
“Biasanya pementasan joged di sini aman, nggak?”
“Amanlah. Kami tidak mau bikin keributan di tempat-tempat seperti itu,” sahut Mura meyakinkan aku. Jujur saja aku cemas jika di arena joged nanti terjadi keributan. Aku tidak mau mati konyol di dusun yang tak kukenal.
Mura meneguk tuaknya. Wajahnya merah karena aliran darahnya dipenuhi alkohol. “Kecuali kalau kami dilecehkan duluan, jelas kami tidak akan tinggal diam,” ujar Mura.
Aku manggut-manggut.
“Jam berapa kita berangkat,” tanyaku.
“Ya sebentar lagi. Habiskan dulu tuaknya.”
Masih ada dua botol tuak lagi. Aku telah meneguk lima gelas tuak. Kepala agak pusing. Beberapa putaran lagi, tuak tandas. Kami bersiap-siap berangkat menuju Dusun Anyar. Aku menaiki motor sendiri. Para pemuda itu yang berjumlah empat orang saling berboncengan.
Jalan ke Dusun Anyar sangat jelek. Aspalnya telah hancur dan berlubang-lubang karena sering dilewati truk yang mengangkut galian. Dusun Anyar memang dikenal sebagai penghasil batu paras hitam berkualitas bagus. Tentu sumur sangat sulit dibuat di sana karena tanah mengandung batu-batu lahar bekas muntahan Gunung Agung. Namun begitu, anehnya, pohon-pohon tumbuh dengan subur.
Karena agak mabuk, jalan-jalan berlubang aku terabas dan di setiap tikungan tajam aku hampir terjatuh. Bersyukur aku masih mampu mengendalikan motor. Pemuda-pemuda itu cukup cemas melihat kegilaanku naik motor. Mereka terus mengawalku. Sepanjang jalan tidak ada lampu penerangan. Jalan gelap gulita dengan pepohonan dan semak-semak lebat di kiri kanan jalan.
“Pelan-pelan aja,” seru Mura.
“Tenang aja. Aku belum mabuk kok,” jawabku.
Tak berapa lama terdengar lamat-lamat musik rindik dari bambu mengalun merdu. Itulah musik pengiring tari joged. Kami tiba di tempat pertunjukan dengan selamat.
“Gila betul kau naik motor,” ujar Mura yang sedari tadi nampak cemas.
Aku hanya tertawa nyengir. Kepalaku agak pening karena pengaruh tuak.
Kami menuju tempat pertunjukan. Suasana sangat ramai dan meriah. Beberapa warung dibuka ala kadarnya. Atapnya dari terpal bekas. Sebuah meja berada di bawah terpal untuk memajang dagangan. Aku duduk di sebuah warung yang agak sepi. Warung-warung lain sudah penuh dikerumuni anak-anak muda. Biasanya penjaga warungnya gadis-gadis dusun yang cantik dan manis. Tentu mereka sengaja dipajang oleh para orang tua mereka untuk memikat pembeli yang mampir ke warungnya. Warung dengan pedagang paling cantik pasti ramai dikunjungi. Para pemuda desa biasanya berlama-lama nongkrong di warung itu. Mereka berfoya-foya menghamburkan uangnya untuk membeli bir dan menraktir teman-temannya. Mereka malu kalau duduk berlama-lama dan hanya memesan kopi. Dan, tentu saja para penjaga warung yang manis dan cantik itu sudah lihai untuk menguras isi kantong mereka.
Aku memesan kopi pahit untuk mengurangi pengaruh tuak dalam darahku. Penjaga warungnya cukup manis.
“Tidak pesan bir, Bli?” tawar penjaga warung itu.
Aku menatapnya. Dia tersenyum manis.
“Sebentar ya. Saya mau minum kopi dulu,” kataku.
Dia menyeduh kopi dan menghidangkannya di depanku. Mura menghampiriku.
“Ke mana kawan-kawan yang lain?” tanyaku, sebab aku tidak melihat mereka bersama Mura.
“Mereka lagi asyik nonton dan menunggu giliran ngibing,” kata Mura. “Kau tidak ingin ngibing?”
“Tidak ah. Aku malu.”
Pementasan joged menjadi lebih semarak karena ada pengibing yang menari asal-asalan. Pengibing itu berusaha memeluk dan mencium penari joged. Para penonton tertawa-tawa ketika pengibing itu menari dengan gerakan-gerakan lucu. Biasanya penari joged dibekali dengan gerakan-gerakan tangkisan dari kipas yang dipegang untuk menghindari atau menghalau pengibing yang berusaha menciumnya. Tapi beberapa pengibing yang bandel akan terus menyerbu si penari dengan gerakan-gerakan tubuh yang kadang jorok dan porno. Pada saat itu pecalang, tenaga keamanan adat, akan mengambil tindakan, menggiring pengibing ke luar dari arena pementasan. Tentu saja pengibing tidak puas. Untuk berani ngibing, mental harus kuat. Biasanya sebelum ngibing mereka menenggak arak dulu untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya.
Arena pentas penuh disesaki penonton. Aku naik ke pagar batu di belakang warung untuk menyaksikan pertunjukan joged itu. Samar-samar aku melihat seorang pengibing menggerak-gerakkan badannya yang gemuk. Lucu sekali. Penonton tertawa terpingkal-pingkal. Penari joged itu berusaha menahan ketawa, sehingga yang merekah di bibirnya hanya senyum manisnya. Cantik sekali penari joged itu, pikirku.
“Kau tidak ikut ngibing?” seruku pada Mura yang duduk di warung tidak jauh dari tempatku berdiri.
“Tidak ada kupon.”
“Kupon? Maksudmu?” Aku agak kaget.
“Kita harus beli kupon dulu baru bisa ngibing.”
Mura kemudian menjelaskan, kalau ingin ngibing mesti membeli kupon seharga sepuluh ribu rupiah. Dan dana penjualan kupon itu dipakai untuk membayar grup joged itu dan untuk memperbaiki balai dusun yang atapnya sudah lama jebol. Pementasan joged ini dipakai sebagai ajang penggalian dana oleh warga setempat. Ehm… menarik juga. Banyak cara orang dusun menggali dana. Pagelaran tajen juga biasa dipakai untuk menggali dana guna memperbaiki sebuah pura atau wantilan.
“Kenapa kau tidak beli kupon? Apa sudah habis?”
“Belum habis. Aku tidak ada uang.”
Aku merogoh saku celanaku. Aku tempelkan sepuluh ribuan ke telapak tangan Mura. “Kau beli kuponlah. Aku ingin lihat kau ngibing,” kataku.
Dengan wajah berseri, Mura bergegas pergi ke meja panitia membeli kupon untuk ngibing. Tak berapa lama dia kembali ke warung tempatku nongkrong.
“Dapat nomer 20. Masih lama,” katanya.
Aku ketawa dalam hati. Jadi untuk mengibing saja mesti antre. Seperti mengantre sembako saja.
“Tunggu saja yang sabar. Minum bir dululah.”
Aku memesan dua botol bir. Penjaga warung yang manis itu dengan riang menghidangkan dua botol bir di meja kami.
“Gila. Banyak uang juga kau. Minumnya bir lagi,” kata Mura.
“Ah, tidak juga. Kebetulan ada. Ayo minum!”
Malam itu ada lima penari joged yang dipersiapkan untuk pentas. Masing-masing penari mendapat jatah meladeni sepuluh pengibing. Luar biasa stamina penari itu. Panitia menetapkan setiap pengibing mendapat jatah waktu lima menit. Kalau waktunya tidak diatur, para pengibing bisa seenak udelnya menari di pentas tanpa memedulikan giliran pengibing lainnya. Kalau ada pengibing yang melanggar aturan dan membandel akan langsung disoraki atau disuruh berhenti menari oleh penonton. Kalau tetap membandel, maka pecalang mengambil tindakan tegas. Bila perlu menyeret pengibing ke luar arena. Itulah yang menyebabkan pertunjukan joged sangat semarak dan sering rawan keributan.
Melalui pengeras suara panitia memanggil nomer undi 18. Tiga kali dipanggil berturut-turut tidak ada reaksi, maka nomer itu dianggap gugur. Kemudian panitia memanggil nomer berikutnya. Mura sudah bersiap-siap di dekat panggung untuk menunggu giliran dipanggil. Pengibing nomer 19 telah keluar arena. Dia hanya menari sebentar, dan karena malu, dia buru-buru keluar arena. Penonton tertawa-tawa melihat tingkahnya.
Ketika nomer Mura dipanggil, dia langsung menyerbu panggung dengan gerakan-gerakan tarinya yang ngawur dan cenderung kasar. Lama kelamaan penonton gerah melihat tingkah Mura dipanggung. Penari joged nampak mampu mengendalikan dirinya ketika tangan nakal Mura berusaha menggerayangi bagian-bagian sensitif tubuhnya. Dengan gerakan-gerakan kipas yang cekatan layaknya pemain silat, tangan Mura seakan tak berarti apa-apanya, selalu dapat ditepis dengan mudah.
“Berhenti! Berhenti! Berhenti!” penonton berteriak-teriak di luar arena. Bahkan ada yang melempar gelas plastik ke arah Mura. Tentu saja Mura tersinggung. Dia berbalik menantang penonton yang melempar gelas plastik itu.
“Siapa yang melempar gelas ke arahku!? Tunjukkan dirimu! Belum tahu siapa aku, ya?!” Mura petantang-petenteng di tengah arena.
Penonton yang sebagain besar anak-anak muda semakin panas. Aku cemas sekali. Aku berusaha mencari kawan-kawan lainnya untuk mengajak Mura pergi secepatnya dari arena. Tapi begitu susah mencari mereka di antara ratusan penonton itu.
Tiga pecalang masuk ke arena membujuk Mura keluar dari arena. Penari joged sudah dari tadi menyelinap ke balik panggung. Pertunjukan sejenak terhenti.
“Mau apa kau?” tantang Mura ke arah tiga pecalang itu.
Para pecalang nampak berang, namun berusaha mengendalikan dirinya. Karena terus membandel, Mura yang badannya kalah besar dengan para pecalang itu, diseret keluar arena. Mura meronta-ronta dan mengamuk.
Aku bergegas mendatangi pecalang itu. “Pak, maaf, ini teman saya, Pak.”
“Kau dari mana? Jangan buat onar di dusun kami. Bisa mati kalian di sini!” bentak seorang pecalang.
“Dari Wanasari, Pak,” kataku berusaha tenang.
“Segera ajak kawanmu pulang!”
Aku merangkul Mura, mengajaknya menjauh dari tempat pementasan. Dia sudah tidak meronta lagi. Tapi tiba-tiba dia muntah-muntah. Sejak tadi sore dia terlalu banyak minum tuak.
Karena kejadian itu, seketika mabukku hilang, berganti kecemasan. Aku membonceng Mura pulang ke rumahnya. Tangan kiriku memegang kedua tangannya yang memeluk pinggangku, sedangkan tangan kananku mengendalikan setang motor. Sepanjang jalan beberapa kali Mura hampir jatuh. Setelah perjuangan panjang, tiba juga kami di rumah Mura. Dengan agak sempoyongan aku memapah Mura memasuki kamarnya. Malam itu aku terpaksa menginap di rumah Mura.
Dan, tentu saja aku tidak mau lagi nonton joged bersama Mura. ***
.
.
Karangasem, 2010
.
.
Leave a Reply