Cerpen Heru Joni Putra (Koran Tempo, 26-27 Maret 2016)

Pada Suatu Hari ilustrasi Munzir Fadly
TIGA orang pemuda sedang bercakap biasa. Kita sebut saja mereka sebagai pemuda pertama, pemuda kedua, dan pemuda ketiga.
“Kalau begitu apa itu hidup menurutmu?” pemuda pertama melanjutkan percakapan.
“Saya ingin sekali menjawabnya, tapi karena pemuda kedua tampak akan sangat kecewa bila saya menjawab duluan, maka saya persilahkan pemuda kedua terlebih dahulu,” kata pemuda ketiga.
Pemuda kedua menjadi terharu dengan kehormatan yang diberikan pemuda ketiga kepadanya, “Saya merasa hidup begitu membosankan,” katanya.
“Mengapa kau mengatakan hidup begitu membosankan?” tanya pemuda kedua.
“Ceritakanlah,” kata pemuda pertama.
“Tahukah kalian kisah tentang seorang pemuda dan sebutir biji?” kata pemuda kedua.
“Saya tidak tahu sama sekali,” jawab pemuda pertama dan pemuda ketiga.
“Pemuda itu,” kata pemuda kedua, “menemukan sebuah biji di saku baju bekas yang akan dibelinya.”
“Tahukah engkau biji dari buah apa ini?” kata pembeli tersebut pada penjual baju bekas itu.
“Saya sama sekali tidak tahu soal buah-buahan, kecuali buah baju,” jawab penjual baju itu.
“Kalau begitu, dari mana baju loak ini berasal?”
“Saya tidak tahu. Saya bukan tangan pertama yang mengumpulkan baju-baju ini, tapi saya barangkali penjual pertama yang mendapat pertanyaan sulit dari seorang pembeli,” penjual itu menjawab, lalu beranjak pergi, mengambil sekarung baju lagi, dan menumpuknya di dekat pemuda tadi.
“Maafkan saya tuan penjual,” bujuknya, “Saya tak akan bertanya lagi, kecuali bertanya berapa harga baju ini,” lanjutnya. Penjual baju itu menegakkan kepalanya, lalu mengambil baju itu dari tangan pemuda si pembeli tersebut, lalu memperhatikan tiap bagian baju itu dengan teliti, “Terlalu banyak jahitannya yang koyak. Berapa saja kau mau bayar, saya terima saja,” kata penjual itu.
“Saya bayar dengan dua keping uang logam ini,” kata pemuda itu dan si penjual langsung mengangguk, mengambil uang, dan menyalami pemuda itu dengan tergesa-gesa, untuk memberi tanda bahwa ia ingin sekali kalau baju dan pemuda itu segera menyingkir dari kedainya.
Ketika si pembeli itu sudah agak jauh berjalan, penjual baju itu berteriak, memanggil pemuda itu, berkali-kali.
“Ada apa kau memanggilku? Tidak relakah kamu dengan dua keping uang logam?” tanya si pemuda. Namun si penjual menunjukkan tanda bahwa ia tak bermaksud begitu. “Lalu?” lanjut si pemuda.
Si penjual berlari menuju pemuda itu, “Mungkin baju itu milik seorang budak,” kata penjual itu sambil mengatur nafasnya yang sesak, “Dan ia sengaja memasukkan sebuah biji ke dalam sakunya untuk ditanamnya pada sebuah tempat tersembunyi,” lanjutnya.
“Lalu?” tanya pemuda itu dengan tidak penasaran.
“Ia melakukan itu karena ia ingin menikmati buah itu tanpa ketahuan oleh tuannya,” kata penjual itu.
Si pemuda diam.
Si penjual tak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Terima kasih atas kisahmu,” akhirnya pemuda itu berkata lalu pergi melangkahkan kaki dengan cepat.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, pemuda itu teringat akan kisah picisan penjual baju tersebut. “Penafsiran macam apa itu?” sesalnya dalam hati.
“CUKUP sekian dan terimakasih!” kata pemuda kedua mengakhiri cerita. Ia memandang ke wajah dungu kedua pemuda yang masih menatapnya. Ia menuangkan tuak ke gelas kedua pemuda tersebut.
“Minum dulu, para pendengar yang berbahagia. Nanti saya lanjutkan lagi,” katanya sembari tertawa. “Karena kalian tidak mengerti, maka saya akan mengulang dari awal,” kata pemuda kedua.
“Benarkah?” kata pemuda pertama.
“Saya berharap,” timpal pemuda ketiga.
Tiga orang pemuda sedang bercakap biasa, demikianlah menurut hikayat dari tukang seruling. Tapi dilihat langsung ke sana, mereka sedang bersitegang. Karena mereka tidak menggunakan nama sebenarnya, maka kita sebut saja mereka sebagai pemuda pertama, pemuda kedua, dan pemuda ketiga.
“Kalau begitu saya tak akan meminta uang kalian. Tapi katakan apa itu hidup menurutmu, babi panggang?” pemuda pertama membuka sarung pisaunya agar kedua pemuda lain mau tak mau harus melanjutkan percakapan dengannya.
“Saya ingin sekali menjawabnya, tapi karena pemuda kedua tampak akan sangat kecewa bila saya menjawab duluan, maka saya persilahkan pemuda kedua terlebih dahulu,” kata pemuda ketiga.
Pemuda kedua ingin melakukan protes bahwa ia tak merasa seperti itu, tapi karena pemuda pertama menatap matanya dengan tajam, ia mengangguk berkali-kali, seakan tampak seakan-akan menjadi terharu dengan kehormatan yang diberikan pemuda ketiga kepadanya.
“Saya merasa hidup begitu membosankan,” kata pemuda ketiga.
“Hei, mengapa kau malah mengatakan hidup begitu membosankan?” tanya pemuda kedua menggigil.
“Ceritakanlah, beo tua,” kata pemuda pertama.
“Tahukah kalian kisah tentang seorang pemuda dan sebutir biji?” kata pemuda kedua.
“Saya tidak tahu sama sekali,” jawab pemuda pertama dan diangguki oleh pemuda ketiga.
“Pemuda itu,” kata pemuda kedua, “menemukan sebuah biji di saku baju bekas yang akan dibelinya.”
“Tahukah engkau biji dari buah apa ini?” kata si pembeli tersebut pada penjual baju bekas itu.
“Saya sama sekali tidak tahu soal buah-buahan, kecuali buah baju,” jawab penjual baju itu.
“Kalau begitu, dari mana baju loak ini berasal?” tanyanya kembali.
“Saya tidak tahu. Saya bukan tangan pertama yang mengumpulkan baju-baju ini, tapi saya barangkali penjual pertama yang mendapat pertanyaan sulit dari seorang pembeli,” penjual itu menjawab, lalu beranjak pergi, mengambil sekarung baju lagi, dan menumpuknya di dekat pemuda tadi.
“Maafkan saya tuan penjual,” bujuknya, “Saya tak akan bertanya lagi, kecuali bertanya berapa harga baju ini,” lanjutnya.
Penjual baju itu menegakkan kepalanya, lalu mengambil baju itu dari tangan pemuda si pembeli tersebut, lalu memperhatikan tiap bagian baju itu dengan teliti, “Terlalu banyak jahitannya yang koyak, berapa saja kau mau bayar, saya terima saja,” kata penjual itu.
“Saya bayar dengan dua keping uang logam ini,” kata pemuda itu dan si penjual langsung mengangguk, mengambil uang, dan menyalami pemuda itu dengan tergesa-gesa, seakan-akan ia ingin sekali kalau baju dan pemuda itu segera menyingkir dari kedainya.
Ketika si pembeli itu sudah agak jauh berjalan, penjual baju itu berteriak, memanggil pemuda itu, berkali-kali.
“Ada apa kau memanggilku? Tidak relakah kamu dengan dua keping uang logam?” tanya si pemuda.
Namun si penjual menunjukkan tanda bahwa ia tak bermaksud begitu. “Lalu?” lanjut si pemuda.
Si penjual berlari menuju pemuda itu, “Mungkin baju itu milik seorang budak,” kata penjual itu sambil mengatur nafasnya yang sesak. “Dan ia sengaja memasukkan sebuah biji ke dalam sakunya untuk ditanamnya pada sebuah tempat tersembunyi,” lanjutnya.
“Lalu?” tanya pemuda itu dengan tidak penasaran.
“Ia melakukan itu karena ia ingin menikmati buah itu tanpa ketahuan oleh tuannya,” kata penjual itu. “Dengan kata lain, baju ini akan menjadi bukti terakhir tentang sejarah perbudakan,” tutupnya.
Si pemuda diam. Tapi dalam hatinya ia berkata, “Kisahmu membuat aku merasa terlalu mahal membeli baju ini.” Ia tetap menatap pada penjual itu tanpa ekspresi apa-apa.
Si penjual tak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia sengaja menunjukkan ekspresi seperti itu. Ada sebuah kalimat dalam kepalanya, “Kau harus menambah beberapa uang logam lagi karena baju itu bukan sekedar tumpukan kain buruk saja.” Si penjual ragu-ragu apakah ia akan mengatakan kalimat itu atau tidak sama sekali.
“Terimakasih atas kisahmu,” akhirnya pemuda itu berkata lalu pergi melangkahkan kaki dengan cepat.
Si penjual menyesal karena tak jadi mengatakan agar si pembeli harus menambahkan beberapa uang logam lagi.
Lalu mereka pun berpisah.
Cukup lama setelah percakapan itu terjadi, dalam perjalanan pulang ke rumahnya, pemuda itu teringat akan kisah picisan penjual baju tersebut. “Penafsiran macam apa itu?” sesalnya dalam hati. “Tapi, saya bisa menjual baju ini dengan lebih mahal dengan mengulang ceritanya dengan cara yang berbeda dan tentu saja memukau—mungkin sembari memainkan kecapi. Pasti akan ada seseorang yang sedang bersedih yang mempercayainya,” ia bersorak kegirangan.
PEMUDA ketiga diam. Ia tak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Cukupkah sekian ceritanya? Sudah bolehkah saya membungkukkan badan dan mengucapkan terima kasih?” pemuda kedua berusaha mengakhiri cerita. Ia memandang ke arah pemuda pertama. Sebenarnya ia melihat wajah dungu kedua pemuda tersebut, tapi ia segera bersikap takut kepada pemuda pertama yang masih menatapnya. Ia menuangkan tuak ke gelas kedua pemuda tersebut.
“Mari kita minum dulu, sebab kalian bukan para pendengar yang berbahagia yang selalu pulang ketika cerita selesai. Tenang saja, nanti saya lanjutkan lagi,” katanya. Ia ingin mengucapkan itu sembari tertawa, tapi karena takut dianggap sok akrab dengan pemuda pertama, ia tak jadi melakukannya.
“Aku ingin memotong lidahmu dengan pisau ini, anjing kurap,” kata pemuda pertama. Pemuda kedua langsung berdoa dalam hati agar pemuda pertama tak melakukan apa-apa padanya.
“Saya hanya bertemu dengannya beberapa saat yang lalu sebelum kau datang,” kata pemuda ketiga pada pemuda pertama, “Jadi saya tak akan bersedih kalau kau memotong lidahnya,” ia berkata.
“Silahkan potong lidahku karena lidah ini membuat tuan tidak mengerti apa yang kuceritakan. Tapi izinkan pemuda ketiga mengulang cerita tadi dari awal. Tampaknya dia bisa membuat tuan mengerti,” lanjut pemuda kedua sembari tersenyum bengis ke pemuda ketiga.
“Benarkah, bedebah?” tanya pemuda pertama pada pemuda ketiga.
“Saya sungguh berharap begitu,” jawab pemuda ketiga menggigil.
“Tiga orang pemuda sedang bercakap biasa, demikianlah menurut hikayat dari tukang seruling. Kalau dilihat langsung ke sana, mereka sedang bersitegang. Tapi bila kau adalah salah satu yang terlibat dalam percakapan itu….” (*)
Heru Joni Putra, lahir 13 Oktober 1990 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Alumnus Sastra Inggris Universitas Andalas. Sekarang tinggal di Padang.
bhara
gagal paham ane…
zee
bingung bacanya
harris
Ini bagus banget! Keren!