Cerpen Sinta Yudisia (Republika, 12 Oktober 2014)
Ada tradisi yang tak akan pernah hilang meski usia membalur mukamu dengan debu perjalanan. Tiga hal tidak akan hilang dari jejak orang Palestina.
Pertama, secawan syai dengan celupan daun mint yang manis kental membuat tamu yang bukan penduduk asli merasakan leher tercekat. Kedua, kebun zaitun dan tiin yang bersamanya tumbuh nasab-nasab leluhur. Satu pohon yang menjulur dan dapat dinikmati setelah tujuh tahun merupakan sumber penghasilan dan tentu saja kehormatan keluarga.
Ketiga, tantangan bagi anak laki-laki menuju usia dewasa. Ia berkelana menjelajah satu wilayah ke wilayah lain, mengunjungi wadi atau saqr, menyusuri sungai selama berhari-hari demi memetik pengalaman yang menguatkan nalurinya sebagai lelaki. Kami menyebutnya sarha.
Aku, seorang perempuan tua yang dilahirkan 70 tahun lalu kerap menceritakan tradisi akar kepada anak-anak yang tinggal di kamp-kamp pengungsian Deir Al Balah atau Jabaliya. Palestina bergolak secara reguler bagai musim datang berulang sesuai alur orbit bumi mengitari matahari. Alasan-alasan politis digulirkan Golda Meir, Yitzhak Rabin, hingga Netanyahu. Sebagian besar penduduk bumi percaya, Palestina hanya dipenuhi bubuk mesiu. Tapi, sedikit yang tahu, segelintir yang percaya, bagai kaktus saguaro menyimpan air di tandus gurun. Bagai lumut hidup pada bebatuan ladang-ladang tundra. Yang mampu hidup pada cuaca ekstrem adalah tumbuhan paling menakjubkan, paling bermanfaat, paling kuat. Yang sanggup bertahan terhadap situasi paling mengimpit, pasti berkarakter pilihan.
***
“Aku masih anak-anak seusia kalian ketika terusir dari kampungku di Deir Yassin pada 1948,” kenangku. “Sejak itu, kami hidup berpindah-pindah. Aku mengalami tahun-tahun tanah kita menyusut.”
Aku lebih suka bercerita tentang kesuburan Palestina dan menyembunyikan rapat-rapat pembantaian Shabra Shatila atau bagaimana tiga anak lelakiku diseret ke kamp Anshar III. Suamiku yang mati ketika mempertahankan ladang zaitun kami. Pekerjaanku kini berjualan di salah satu kios Pasar Arbaah. Bukan kios besar, hanya menjual berbagai perlengkapan perempuan, seperti jepit rambut hingga abaya. Yah, sebetulnya apa pun kujual, tergantung barang yang beredar di smuggling tunnel.
Tapi, menjual perlengkapan perempuan terasa membahagiakan. Tiap kali mempersiapkan pernikahan, setiap keluarga lupa perih Palestina. Ada yang tetap bisa dinikmati di tanah bergolak ini. Tinggal di kamp Deir al Ba lah membuatku kerap dikunjungi anak-anak yang juga sebatang kara: Othman yang pendiam, Jenna dengan segudang tanya, si bisu Sanaa, Hazem yang terhormat. Masih banyak anak-anak yang bergabung ke ruang kamarku, berdesakan mendengar cerita sembari mengunyah roti isy bertabur zataar. Sesekali, bila rezeki berlebih, kami membeli es krim, lalu makan bersama.
“Mengapa kau memilih Deir al Balah?” Jenna menatapku.
“Aku suka biru. Aku suka aroma pantai. Lagi pula, aku tak punya kenangan buruk dengan laut.”
Anak-anak tertawa. Deir al Balah tak jauh dari Aizbah, pantai dengan biru safir laut Mediterania. Perjalanan hidupku mengungsi ke Yordan, Beirut, kembali ke Tepi Barat dan akhirnya aku memutuskan menetap di jalur Gaza ketika tanah ini dibebaskan pada 2005.
Berada di Tepi Barat menyaksikan sekerat demi sekerat tanah Palestina dijadikan lahan permukiman mencacah hatiku. Di usia tua, setidaknya aku ingin mencium aroma kemerdekaan, meski lahan negara sangat sempit.
Tiga anak lelakiku tak meninggalkan jejak berita sebelum mereka sempat menikah dan memberi cucu. Kehadiran anak-anak tanpa orang tua di Deir Balah menjadi bagian dari potongan kisah hidup yang melengkapi kebahagiaan tak sempurna di usiaku yang renta. Kematian, tampaknya tak berpihak pada usia tua di Palestina. Peluru lebih suka menghajar tubuh-tubuh mungil, menghancurkan sendi-sendi lunak anak-anak yang bahkan masih suka bergelayut di lengan ayah mereka.
***
Sama seperti Cast Lead empat tahun lalu, tahun ini tiba-tiba dinding rumah bergetar.
Sontak, kami menjauhi jendela yang pecah berkeping. Tangis, teriakan takbir dan gelegak sakaratul maut memusar. Pemerintah secara resmi telah mengumumkan ancaman serangan, tetap saja terasa mengejutkan. Aku tak lagi semuda dulu, kurasakan tubuh gemetar dan tulang bergemeletukan. Bukan kematian yang kutakutkan. Seperti kujelaskan, peluru Israel tak berminat pada tubuh renta.
Anak siapa? Suami siapa? Janda yang mana?
Itu yang menggedor kepala sebelum kepanik an menyerang: Hazem dan Sanaa berada di rumah mereka di Qarni! Jenna dan Othman? Kiosku di Suq Arbaah tak masuk perhitungan. Kami berlari bagai lautan gelombang mencari tempat aman, kepanikan dan ketakutan adalah hal wajar saat musuh membabi buta menyerang. Bagai satu komando, kaki-kaki berlari di bawah payung serpihan logam bom menuju tempat berkumpulnya manusia saat menara meneriakkan panggilan azan secara berkala.
Segalanya berlalu demikian cepat. Kejadian saat aku terusir, tanah yang menyusut, tentara Israel menggergaji cabang-cabang zaitun. Suamiku yang mati, anak-anakku yang menghilang. Hatiku kebal sudah. Tetapi tetap saja rasa ingin tahu bercampur airmata tiba- tiba menggenang ketika sesak dadaku kembali bertanya, anak siapa sekarang yang mati?
Kesibukan rumah sakit As Shifa melebihi pasar Suq Arbaah usai panen raya. Aroma samar darah berbaur segar angin Pantai Aizbah yang entah mengapa terbawa hingga kemari. Ilusi atau ini yang dinamakan wangi kesturi? Mayat-mayat, jejak darah, di As Shifa tak pernah meninggalkan bau busuk lama, meski korban ratusan jumlahnya.
Aku mencoba mencari seseorang, mungkin saja kukenal. Siapa tahu bisa kusampaikan kabar duka kepada orang tua yang kehilangan. Lalu, mata ini tertuju pada kaki kecil kurus berwarna pucat yang menjulur. Tubuhnya terbalut kain selimut bergaris, kepalanya terbebat. Aku tak berusaha mencari tahu luka mana penyebab kematiannya. Hidung kecil, mata lentik, pipi ranum, dan mulut yang terukir bagus itu sangat kukenal.
Jenna.
Sebutir air mata jatuh. Kuusap cepat. Sudah kuduga, Israel lebih takut pada tubuh semungil itu daripada tubuh rentaku. Kusentuh pipi gadis itu. Dingin, kenyal. Batinku kebal. Aku tak meraung memanggil namanya, mulutku kaku. Mataku tertuju lurus ke sosok yang menggigit kuat-kuat genggaman tangannya sendiri. Tenggorokan serasa menelan sebutir tiin seketika saat suara serakku meluncur. Memanggil ia yang segera berlari menjauh.
“…. Othman!!”
***
Di bawah desing peluru. Di bawah gulita malam. Di antara puing-puing rumah. Apa pun yang tersisa masih dapat digunakan. Termasuk, selasar masjid tempat anak-anak berkumpul kelelahan dan kedinginan. Masih ada abaya-abaya terkoyak di kiosku, juga syal yang bisa dipakai sebagai selimut. Mereka menggigil. Tanpa tuan. Tubuh-tubuh kecil dengan air mata kering, perut kenyang akan getir. Aku duduk di depan mereka mengembangkan tanganku. Beberapa menangis takut, lalu mendekapku. Satu per satu memeluk tubuhku yang syukurlah, dilapisi lemak-lemak menahun, nyaman sebagai bantalan tidur.
Anak-anak meringkuk di bawah lengan. Tak mengenalku, tapi mereka butuh sosok yang jauh lebih tua untuk mengayomi. Pelan, mulutku mulai bersuara.
“Ada tiga hal yang harus kalian ingat sebagai orang Palestina. Aku mulai dari yang ketiga.”
Mungkin mereka sudah terlalu lelah dan tak ingin melakukan apa pun. Suaraku adalah satu-satunya hiburan bagi mereka yang sesenggukkan, lirih meneriakkan nama orang tua.
“Berpetualang, menyusuri lereng-lereng bukit. Bertemu qasr, menyusuri sungai. Sarha adalah petualangan bagi laki-laki agar lebih mengenal setiap jengkal dari tanahnya sendiri. Dengan mengenali, kita akan mencintai dan bertekad mempertahankan. Sekarang, sarha bukan hanya milik lelaki. Milik kita semua. Bila harus sendiri tanpa orang tua, anggap saja kalian sedang melakukan sarha. Sebab, sarha memang harus dilakukan sendiri.”
Mataku terpejam sejenak mengusir lelah. Jenna tersenyum, tampak di antara gemintang yang berbaur dengan debu-debu mesiu. Pejuang Palestina terdengar baku tembak di perbatasan, roket-roket saling menyerang. Jenna melewati sarha-nya sendirian, tertembus peluru dan kali ini melintasi kematiannya dengan iringan sayap-sayap malaikat.
Othman menghilang, sempat muncul sejenak di sisi mayat Jenna. Kulihat tadi pemuda kecil itu bertayamum, lalu shalat berjamaah. Ia tak menyapaku, makin bungkam dan tenggelam dalam hafalan Alquran untuk menguatkan kepedihannya akan kehilangan seorang teman lagi.
Aku mengelus kepala anak-anak yang tertidur saling berpelukan.
Mereka tak lagi bisa seperti masa kecilku dulu, menikmati dataran subur Marj Ibn Amr yang melintasi pengunungan Carmel ke Jenin. Mendaki perbukitan Ramallah, memetik zaitun atau tiin dalam rasa aman. Anak-anak Palestina kini tak lagi menikmati sarha seperti dulu. Sarha mereka jauh lebih panjang, mungkin tak akan selesai hanya dalam sepekan dua pekan. Tidak ada kepastian yang membawa perjalanan mereka kembali ke rumah. Apa pun sarha yang dipilih, semua memiliki tujuan sama, meretas jiwa pengelana menjalani naluri keberanian. (*)
Sinta Yudisia, Pegiat FLP, Penulis.
Kosakata
Syai : teh
Isy : roti yang terbuat dari gandum
Suq : pasar
Wadi : lembah/jurang yang kering di gurun kecuali saat hujan
Qasr : bangunan dari batu, tempat petani menyimpan hasil panen
Sarha : berkelana
Leave a Reply