Cerpen, Ryan Rachman, Suara Merdeka

Miyangga

Miyangga - Cerpen Ryan Rachman

Miyangga ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka

4
(4)

Cerpen Ryan Rachman (Suara Merdeka, 31 Oktober 2021)

KONON, di sungai ini ada penghuninya. Makhluk gaib. Seekor siluman ular.

Sisiknya keras seperti batu kali dan berkilauan seperti permukaan air yang terpapar sinar matahari. Kepalanya seorang perempuan. Dia tidak cantik seperti Medusa, perempuan berambut ular dalam mitologi Yunani yang membuat laki-laki menjadi batu saat menatap matanya. Wajahnya menyeramkan coklat tua. Matanya bulat kemerahan, di sekitar matanya tampak hitam kebiruan seperti habis kena pukul preman pasar. Hidungnya pesek selalu mendengus seperti sapi mau kawin. Bibirnya juga hitam pekat seperti hitamnya kecap di iklan televisi. Dari mulutnya keluar gadil atau taring ke bawah yang tajamnya seperti welad atau irisan kulit bambu dan ujungnya runcing seperti duri pohon randu. Dari bagian bawah tubuhnya, sekitar satu rentangan jari, terdapat lengan berdaging tipis dan berisik seperti cakar ayam. Di ujung lengan itu ada tangan dengan empat jari berkuku runcing seruncing gadil di mulutya.

Jenis lelembut ini disebut Miyangga.

Konon, siluman ular itu suka berkeliaran. Kata para dukun, siluman itu menjaga wilayah sungai ini dari serangan makhluk sejenis dari wilayah lain. Ia berkeliaran dari hulu di daerah pegunungan Plana hingga ke hilir di daerah Congot, pertemuan antara Sungai Klawing dan Sungai Serayu. Siluman ini katanya tak berani masuk ke Sungai Serayu. Alasannya, penghuni Serayu banyak. Mereka memiliki kesaktian lebih dibandingkan dengan Miyangga. Para penghuni Serayu berdatangan dari Dieng dan Segara Kidul.

Konon, Miyangga suka meminta tumbal. Biasanya orang-orang galau yang dijadikannya korban. Orang yang pikirannya sedang melompong. Katanya pula, Miyangga ini akan muncul ke permukaan pada saat sandekala atau saat-saat tertentu seperti malam purnama, gerhana bulan, gerhana matahari dan malam Tahun Baru Satu Sura. Katanya, selain untuk refreshing menghirup udara segar, juga untuk meminta tumbal nyawa.

Baca juga  Keteguhan Hati Suadji

Kalau orang yang percaya, mungkin akan meyakini di Sungai Klawing ini ada siluman itu. Apalagi beberapa waktu lalu, salah satu televisi swasta datang ke sungai ini untuk syuting reality show tentang mistis. Acara yang dipandu oleh host fenomenal yang berkumis seperti lele. Ada paranormalnya yang matanya ditutup, lalu tangannya bergerak seperti pendekar silat, kemudian berguling-guling seperti digebuki orang sekampung. Paranormal itu lalu melukis di kanvas putih. Hasil lukisannya ya siluman ular itu.

Aku sendiri ya percaya tidak percaya. Sebab itu kan hanya mitos yang belum tentu kebenarannya. Lagi pula sekarang kan zamannya gawai dan internet 4G. Hal-hal mitos seperti itu ya hanya tinggal mitos saja.

Yang aku tahu, memang ada mahluk gaib ciptaan Tuhan. Bangsa jin namanya. Dan setahuku, dari literatur yang kubaca, jin memang menggoda manusia, tapi tidak meminta tumbal.

Dan aku pun cuek saja. Toh sampai saat ini aku belum pernah melihat atau dilihatin makhluk gaib seperti hantu, demit, tuyul, genderuwo dan sejenisnya. Praktis aku tahu jenis-jenis makhluk gaib ya hanya dari buku, film dan internet.

Dan itu pun aku tidak percaya-percaya amat. Apalagi siluman. Yang kutahu, siluman dan berbagai jenisnya, hanya di sinetron Kera Sakti.

Sudahlah, dari pada membahas hal-hal yang gaib dan tidak nyata, mendingan membahas hal yang realis saja. Lebih baik aku menghabiskan akhir pekan ini berekreasi. Tidak usah ke luar kota atau luar pulau, apalagi ke luar negeri. Anggarannya yang memang tidak ada. Toh di daerahku sekarang banyak tempat rekreasi yang bermunculan.

Oh ya, ngomong-ngomong Congot, yang kata mitos tadi jadi kekuasaannya Miyangga, daerah ini juga sedang dikembangkan jadi tempat wisata. Congot ini istimewa, karena ada dua aliran sungai yang warnanya berbeda. Sungai Klawing warna airnya biru kehijauan, Sungai Serayu airnya berwarna coklat. Ada dermaga kecil di situ. Beberapa perahu mesin tertambat.

Baca juga  Kaiju di Tokyo

Plesir di sini, hitung-hitung menyukseskan program pemerintah, mengunjungi desa wisata di daerah sendiri. Nanti setelah berkeliling sungai berkendara perahu kecil, kita bisa makan siang nasi pecel, kupat landan alias ketupat berwarna merah, dengan lauk lembutan atau gorengan ikan sungai yang kecil-kecil plus segelas besar es teh. Pasti nikmat.

Ayo, sekarang berperahu dulu. Setelah memakai pelampung, aku bersama lima turis lokal lainnya pun turun ke perahu. Mari berpetualang menyusuri sungai. Begitu mesin menyala, perahu perlahan berjalan melawan arah arus Sungai Klawing. Perahu melitasi bawah Jembatan Linggamas. Arus air memang cukup deras karena tak jauh dari situ ada kedung yang airnya berputar-putar.

Tiba-tiba mesin perahu berhenti. Ah ternyata pengemudinya lupa mengisi bensin. Akhirnya dengan terpaksa, perahu diputar balik memakai dayung, lalu ngeli mengikuti arus kembali ke dermaga. Para penumpang pun saling menggerutu. Namun aku tetap cuek, malah mencoba mengabadikan momen ini dengan berswafoto ria dengan kamera gawai. Kan keren, naik perahu, setelah jepret, diunggah di instagram dan menunggu netizen berkomentar.

Saking asyiknya ber-selfie, tetiba perahu oleng karena masuk ke kedung yang arusnya berputar-putar. Tak sempat berpegangan, gawai aku pun terjatuh ke sungai. Aku yang berusaha meraihnya, namun gagal, malah ikut tercebur. Aku pun berteriak minta tolong. Karena masih memakai pelampung, aku masih mengambang di permukaan air. Tololnya, aku memang tak dapat berenang. Praktis hanya bisa berteriak minta tolong.

Tubuhku berputar-putar mengikuti arus hingga akhirnya menuju ke akar pohon yang menjulur ke sungai. Tanganku mencoba meraihnya, tapi tiba-tiba ujung akar yang cukup lancip itu menusuk baju pelampung yang kukenakan.

Buzzz….

Udara pun keluar dari lubang bekas tusukan itu, seperti ban bocor. Dan tubuhku terasa lebih berat. Seolah-olah dari dasar sungai yang dalam ada tangan yang menarik kakiku.

Baca juga  Kyai Sepuh

Aku pun tenggelam, dan samar-samar mataku melihat sesosok perempuan yang cantik parasnya. Wajah tercantik yang pernah kulihat. Dia berenang mendekatiku, meraih tanganku dan memelukku erat. Nyaman sekali. Aku dibawa berenang menjauh. Sekilas, aku melihat tubuhnya panjang seperti seekor ular.

Setelah itu, aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi. ***

.

.

Kaki Gunung Slamet, Purbalingga, 2021

RYAN RACHMAN, lahir di Kebumen, 12 Januari 1985. Saat ini tinggal di kaki Gunung Slamet, Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga. Pengelola kanal Youtube Jurnalis Kampung.

.

.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!