Cerpen Lintang Alit Wetan (Suara Merdeka, 04 Oktober 2020)
KUTEMUKAN seekor kambing jantan tergolek di pinggir sungai. Kambing jantan atau bandot itu melemparkan diri ke arus air setelah kesulitan makan rumput di pelataran pasir Sungai Serayu. Momen itu masih lekat dalam ingatan; aku tak mau insiden serupa terjadi untuk kali kedua.
Semenjak istri tercinta pergi, aku sering menghabiskan hari di hutan, mencari kayu bakar. Jarang sekali aku duduk-duduk di amben depan rumah, walau sekadar menikmati segelas kopi panas uthuk-uthuk in the morning, sambil menyaksikan anak-anak sekolah bergerombol berangkat sekolah.
Tidak pernah kulakukan hal-hal yang biasa lelaki di desa lakukan. Lebih baik melakukan sesuatu daripada sekadar duduk-duduk, santai, atau leha-leha menginjang gadis-gadis yang lewat dari balik bilik bambu. Menyaksikan kibaran jarik, sehingga jelas transparan warna celana dalam yang mereka kenakan. Cuma warna. Tidak sampai baunya. Bau aneh, entah pesing atau anyir.
Tidak! Tidak biasa kulakukan hal-hal seperti itu. Aku benci kemalasan. Pengangguran hanya merepotkan.
Dengan sebilah golok, tanganku luwes membabat ranting-ranting kering dari dahan yang meranggas ke bawah atau ke samping sampai menghalangi orang lewat di jalan setapak. Di perkebunan cengkih itu, kupotong dahan tempat bebungaan merekah. Sementara dahan-dahan pohon cengkih berserakan di atas rerumputan liar, tidak ada dedaunan menutupi tubuh pohon cengkih yang telanjang. Tidak peduli itu pohon cengkih milik siapa, kebun siapa, tanah milik siapa. Tidak ada yang khawatir.
Dengan penuh keyakinan, kupotong dahan-dahan sampai-sampai burung yang bersarang di pepohonan menjerit-jerit seperti orang teraniaya memohon pertolongan. Lalu terbang membubung tinggi ke udara, meninggalkan tiga telur kecil nan mungil. Seekor burung tampak belum lama menetas bersama seekor cacing kecil, menggeliat di sarang burung. Sambil memanggul kayu bakar, aku pulang menyusuri jalan setapak menuju rumah.
Keesokan hari, seseorang akan terperangah mendapati pohon-pohon cengkihnya tidak lagi berbuah. Makian dan sumpah serapah keluar dari mulutnya.
“Jika ketemu, kugorok batang lehernya,” ucap pemilik kebun cengkih sambil mengacung-acungkan golok dengan darah naik ke wajah. Jengkel.
Tubuhnya gemuk. Sehat. Setelah memperhatikan satu demi satu pohon cengkih yang daunnya ditebas, ia pulang sambil bersungut-sungut.
Seorang petani yang baru pulang dari sawah menatap tajam. Sama persis tatapan mata burung elang. Sorot mata aneh. Barangkali lapar, perut sembelit tak dirasakan.
Hari ini, aku berpindah tempat menggembala kambing. Duduk di pinggir sungai, di atas batu sebesar kepala gajah. Lelah menombak ikan. Sekian banyak ikan yang berenang di depan mata, aku hanya mampu menombak seekor ikan. Ikan sebesar betis. Itu pun karena terjebak di sela-sela bebatuan, sehingga tidak mampu menghindari tusukan tombak. Namunku lega, mampu mendapat ikan sebesar itu.
Aku tersenyum menatap awan-gemawan melayang bagai kapas di langit biru. Matahari tertutup rimbun pohon, melindungi batu yang kududuki, menaungi ikan yang menggelepar-gelepar di samping.
***
Sukilah, wanita muda cantik mengenakan daster; tonjolan dua gunung di dadanya amat besar. Sepenglihatanku, Sukilah tanpa beha. Berjalan terseok-seok dengan perut buncit. Menangis. Langkah kakinya goyah menginjak tanah di jalan setapak mengarah ke sungai.
“Gemuruh arus air terdengar, hanya beberapa meter lagi.”
Kicau burung-burung di dahan. Angin mengibas dedaunan. Ranting dedaunan kering. Jatuh. Sehelai daun kuning gugur, melayang-layang ditiup angin. Tepat mendarat di rambut wanita yang sepunggung.Wanita itu terus berjalan menyusuri rimbun pepohonan cengkih dengan rimbun perdu ilalang dan semak-semak sambil acap kali berpegangan pada batang pohon dan ranting-ranting menjulur di hadapannya. Sesekali menyandarkan punggung ke batang pohon cengkih.
Kepala dan batin menyimpan gejolak dendam dan amarah. Sembilan bulan lalu, suatu malam ketika terdengar lolongan serigala, serombongan garong dalam truk siklun datang menjarah kampungnya. Orang-orang di dalam truk siklun itu membawa parang dan celurit yang tersembunyi di balik jaket hitam. Pinggang. Sebagian membungkus celurit dengan sarung.
“Hai! Neng! Apa yang kamu lakukan?” teriakku dari kejauhan.
Wanita itu menoleh ke arahku. Sepasang matanya sama sekali tidak menampakkan kesedihan. Justru seolah ada kebahagiaan terpancar dari sepasang mata itu.
“Aku akan menolongmu,” ucapku. Namun dalam hati, ingin kuremuk-remuk tulang belulang wanita itu.
Tanganku bergerak mengusap wajah Sukilah. Matanya terpejam.
Dia mungkin mengkhayalkan aku sosok malaikat turun dari langit untuk menyelamatkan dari kesusahan hidup. Sukilah hanya bisa pasrah atas perlakuanku. Ia tidak punya daya dan upaya melawan. Segera kuangkat tubuh lemah wanita itu. Dan, nafsu binatang sudah memenuhi ubun-ubun kepalaku. Aku pusing migrain dadakan. Kuperkosa habis-habisan wanita tak berdaya itu. Serasa menggagahi seorang gadis: penuh dan perawan! Aku menyeringai mirip serigala buas usai menyantap daging segar nan lezat.
***
Sukilah merasa tubuhnya melayang-layang di udara. Seperti ada sepasang sayap di punggungnya, mengembang untuk segera mengepak terbang. Ia tersadar, sedang benar-benar melayang-layang seorang diri. Dia dengar arus kali, gesekan angin di dahan-dahan. Sukilah jatuh ke dalam pusaran arus. Permukaan sungai pun pecah.
***
Di dekat sungai orang-orang proyek sudah berkumpul. Sebagian berpencar mengukur luas tanah. Lima alat berat: buldozer dan bego, bergerak meratakan dan membuang permukaan tanah dari bebatuan. Satu bego mengeruk tanah, lalu menguruk tepian sungai. Berisik suara kelima mesin alat berat itu. Seperti hendak merobek-robek telinga. Tidak jauh dari hadapan, sudah dipatok plang bertuliskan “PEMBANGUNAN HOTEL”.
Terbelalak mata menyaksikan alat-alat berat merendam sungai dengan tanah dan bebatuan besar. Sebagian kebun cengkih telah rata; pohon-pohon cengkih digergaji dan ditumbangkan. Kalang-kabut. Sepasang mata merah menyala-nyala. Lelaki kampung yang menggantungkan rasa lapar pada sungai dan perkebunan cengkih geram. Berlari ke hadapan buldozer yang bergerak. Nyaris ditabrak jika seorang mandor tidak berteriak lewat handy talky dalam genggaman. “Stop! Stop! Stop!”
“Hei, kau. Minggir dari situ! Minggir sana! Pergi!”
Orang-orang terdiam. Semua buldozer dan bego terhenti. Tidak ada raungan mesin. Mati. Seorang mandor bukan main kesal. Sumpah-serapah. Naik pitam.
Diam-diam, mandor menelepon polisi. Tak berapa lama polisi-polisi itu pun datang dengan laras-laras senapan teracung ke tubuhku.
“Angkat kedua tangan. Anda kami tahan!” ucap komandan polisi penuh keyakinan.
Namun aku tidak gentar sedikit pun. Angin menggoyang-goyang rambut dan mengelus wajah. Jika semua ini tetap berlanjut, aku tidak akan lagi menikmati ikan-ikan di kali ini. Aku nekat. Tanpa berpikir seribu bahasa, kuceburkan tubuh ini ke palung Sungai Serayu; di dalamnya ada lorong rahasia, jalur air yang tembus ke Pantai Selatan.
Seorang polisi telah lebih dulu menarik pelatuk pistol. “Dor!” Peluru melesat keluar dari senapan, menerjang udara, merobek angin, dan meleset mengenai burung sikatan yang beterbangan di permukaan air. Peluru menghunjam ke dalam sungai. Bercipratan kecipak air.
Hari ini, sebatang pohon cengkih terakhir di sekitar tepian Sungai Serayu tumbang. Di angkasa, bergelayut awan kelabu. ***
.
.
Purbalingga, 2020
– Lintang Alit Wetan adalah nama pena Agustinus Andoyo Sulyantoro, lahir di Kalialang, Kemangkon, Purbalingga, 13 Mei 1973. Cerpen dan puisi alumnus Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia FPBS IKIP Yogyakarta (1997) ini diterbitkan sejumlah media dan dibukukan. Buku puisinya Lingkar Mata di Pintu Gerbang (2015) dan menyunting Perjamuan Cinta (2015).
.
.
Leave a Reply