Cerpen, Polanco S Achri, Radar Madiun

Prose: Seorang Gadis Manis…

Prose Seorang Gadis Manis yang Ingin Jadi Novelis - Cerpen Polanco S Achr

Prose Seorang Gadis Manis yang Ingin Jadi Novelis ilustrasi Dani Erwanto/Radar Madiun

4.6
(7)

Cerpen Polanco S Achri (Radar Madiun, 31 Oktober 2021)

PAGI selepas hujan—

Suara pintu diketuk. Dengan masih terkantuk, kau membuka pintu teruntuk; dan betapa terkejutnya kau kala mendapati siapa yang datang: salah seorang muridmu, seorang gadis manis yang pernah berkata kepadamu bahwa dirinya hendak menjadi seorang novelis.

“Boleh saya masuk, Pak?” tanyanya sopan.

Dengan wajah yang masih terlihat mengantuk, sebab semalaman mengerjakan pekerjaan sekolah dan baru tidur selepas masuk subuh, kau pun mengiyakannya. Dan kau pun mempersilakan gadis itu untuk duduk senyamannya, duduk di tempat yang seadanya, serta tak lupa bertanya kepadanya mau minum apa. Dan sebagai suatu bentuk kesopanan, gadis itu berkata tidaklah perlu; dan sebagai suatu bentuk kesopanan pula, kau berkata tak apa.

“Teh panas?”

Gadis itu mengiyakan.

“Baik. Tunggu sebentar. Aku juga mau ganti baju dulu.”

Dan kau pun ke belakang.

Didorong suatu ketertarikan, gadis itu bangkit dari duduknya dan melihat-lihat koleksi buku-bukumu: buku-buku yang sebagian besar adalah buku sastra, budaya, seni, juga filsafat. Dan, dari buku-buku itu, hampir sebagian besar adalah buku lama, sehingga sudahlah terlampau wajar bila memiliki suatu aroma yang khas. Gadis itu pun mengambil sebuah buku dan hanyut ke dalamnya, dan tak sadar kalau kau datang dari belakang dengan membawa secangkir teh dan secangkir kopi.

Ziarah, karya Iwan Simatupang,” ucapmu sambil meletakkan minuman di atas meja.

“Tiap orang mati adalah sarjana kehidupan,” ucap gadis itu mengutip isi buku di bagian akhir lantas mengembalikannya dan kembali duduk.

“Silakan.”

Gadis itu pun mengangguk dan meminumnya—selepas dua-tiga kali meniup.

Kau menyeruput kopi, dan meletakkannya kembali.

“Ada keperluan apa?” tanyamu sambil melihat cara gadis itu meletakkan cangkir berisi teh. Pagi di hari libur, setelah hujan deras pula, pastilah sesuatu yang penting, bukan?

Gadis itu segera mengeluarkan sebuah manuskrip novel dari dalam tasnya dan segera menyerahkannya kepadamu. Kau pun menerimanya: terdiam kala membaca judul.

“Hendak kau ikutkan sayembara ibu kota?”

Baca juga  Para Pendaki

“Ya, akan saya ikutkan,” ucap gadis itu mantap. “Jadi, tolong Pak Guru baca dan berikan tanggapan.”

“Butuh waktu agak lama. Tak apa?”

“Tak apa, asal tidak merepotkan Bapak.”

“Aku sudah menyelesaikan beberapa urusan, jadi kupikir bukan masalah.”

“Terima kasih, Pak.”

“Kau tak apa menunggu?”

“Tak apa,” jawab gadis itu.

“Dan, kalau diizinkan, saya mau baca koleksi Bapak.”

“Ya, baca saja. Pilih yang kau suka.”

Dan kalian pun mulai membaca; kau membaca naskah novel gadis itu, dan gadis itu membaca Kering karya Iwan Simatupang.

Sambil membaca, sesekali, kau lirik gadis itu yang begitu hanyut membaca; dan sesudahnya, kau kembali hanyut pula membaca naskah gadis manis itu. Sambil membaca, dirimu terasa terbagi menjadi dua: diri yang hanyut membaca dan diri yang hanyut pada semacam masa silam—

Kau teringat, pada suatu hari, saat hendak pulang sekolah, gadis itu bertanya tentang kenapa kau berhenti mengarang; dan saat itu, kau hanya bisa berkata bahwa ada beberapa hal yang begitu sulit dan tak perlu dibilang. Gadis manis itu berkata bahwa dia begitu menyukai tiga novelmu yang mana semuanya masuk daftar pendek nominasi buku pilihan Majalah T di tiga tahun berturut-turut; dan gadis itu juga tidaklah lupa terpukau pada cerpen maupun fiksi pendekmu. Usiamu yang saat itu belum genap mencapai seperempat abad, di samping tulisan yang memang menarik, telah membuatnya menjadi penggemarmu. Tentulah menjadi suatu tamparan keras pada dirinya yang ingin menjadi novelis, sebab membaca apa-apa yang kau tulis selama ini.

Kau meletakkan naskah itu dan menyeruput kopi. Gadis yang menyadarimu telah selesai membaca naskah segera meletakkan buku yang dibacanya.

“Mau teh lagi?” tanyamu yang mendapati minuman di gelasnya tinggal sedikit.

“Tidak, Pak. Terima kasih.”

Kau menyeruput kopimu kembali dan mulai berkata:

“Aku tahu, kau tak kan puas atau merasa cukup dengan hanya ungkapan ‘bagus’; dan karenanya, mungkin, aku akan berpanjang-lebar”—

Gadis itu begitu dalam menaruh perhatian.

“Pertama, judul yang kau berikan berhasil membuatku mau membaca ceritamu dan membuatku merasa masuk ke dalam sebuah dunia yang terasa begitu asing tetapi sekaligus terasa begitu karib; dan judul itu berhasil mengikat bangunan cerita yang kau bangun.

Baca juga  Lelaki Tua Pejalan Kaki

Kedua, caramu menyampaikan cerita dengan memakai dua narator, yang keduanya bukanlah genap manusia, menurutku, adalah sesuatu yang menarik. Apalagi, tiap narator punya kekhasannya sendiri: narator pertama dengan penyampaian yang liris dan imajis, sedang narator kedua seperti pelantun dongeng yang berhasil membawa dan menunjukkan pembaca pada ketragisan. Dan betapa menyenangkannya mendapati tokoh-tokoh, bahkan kedua narator yang meski bukan genap manusia, tampil dan hadir begitu teramat hidup dan berdarah-daging: memiliki kepenuhan atas tiga dimensi ketokohan.

Ketiga, secara plot dan alur, bahkan semacam tangga dramatik, kau mengolahnya secara apik; serta ada banyak kejutan di dalam cerita, kejutan di titik-titik yang pas sehingga kian membangun suatu jagat dunia fiksional.”

Gadis itu masih menaruh perhatian dalam; dan kau paham gadis itu tak puas, paham bahwa kau belum berkata semuanya.

Kau mengangguk-angguk pelan, perlahan. Lantas, kau pun melanjutkan:

“Ya. Selalu ada tetapi, dan kurasa kau sendiri sudahlah tahu, tapi berharap agar aku yang mengatakannya, ya, kan?—baiklah. Sederhananya: Apakah novel, atau calon novel ini, bisa dibaca lebih dari sekali? Dan kau, serta aku, agaknya tahu, jawabannya adalah tidak bisa. Akan terlampau lain rasanya.”

Gadis itu tersenyum dan berterima kasih.

Gadis itu mengambil naskahnya lagi, menghabiskan minuman, dan berkata hendak pulang. Dan kau pun mempersilakan, mengantarkannya hingga jalan depan.

“Pak…,” ucap gadis itu pelan. “Dibanding menjadi guru pelajaran bahasa, Anda tetap lebih cocok menjadi seorang pengarang”—

Kau teringat ucapan itu, teringat gadis itu pernah mengucapkan pernyataan demikian, dahulu, di perjumpaan pertama selepas kau memperkenalkan namamu di depan kelas sebagai guru pengganti.

“Mana ada guru yang sepulang sekolah terdiam lama di perpustakaan dan terpukau pada apa-apa yang ada di luar jendela.”

Kau tersenyum, tertawa pelan.

“Apa kau tahu, meski ceritamu bagus, tetapi kau hanya akan jadi juara ketiga nantinya?”

Baca juga  Mawar Ungu Aulia Sulhani

“Saya tahu bahwa ada rumor yang mengatakan bahwa pengarang perempuan itu, pengarang yang menulis novel Obituari bagi Penulis Obituari itu mengikuti sayembara dan digadang-gadang akan menjadi menang. Akan tetapi, meski belum tentu juga benar, kenapa malah juara tiga, dan bukannya dua?”

Kau tertawa pelan.

“Juara duanya adalah aku.”

Gadis itu terkejut, menyadari sesuatu, dan tertawa pelan sembari menutupi mulutnya yang lembut dengan sebelah tangan.

“Bapak yakin cerita Bapak lebih bagus daripada cerita saya?”

Kau hendak menjawab, tapi kau terdiam seketika, sebab mendapati sebuah ciuman lembut darinya di pipi sebelah kananmu.

Ia mundur beberapa langkah, lantas berlari menjauh perlahan.

“Kalau saya jadi juara satu, Bapak harus keluar dari sekolah dan mendatangi Ayah saya! Oke?” ucapnya mantap.

“Kalau aku yang juara satu?”

“Saya akan memberi hadiah ke Bapak!”

Gadis itu pun tersenyum dan berpamitan lagi. Ia berlari tak terlalu kencang, menjauh. Pandang matamu mengikutinya sebelum hilang pada sebuah belokan. Kau terpukau pada pantul kota yang ada di genangan sisa hujan di depan sana. Dan angin berembus, beberapa daun terbawa, beberapa jatuh ke genangan sisa hujan, dan dingin.

Dan kau berkata pelan—pada dirimu sendiri:

Ada beberapa hal yang begitu sulit dan tak perlu dibilang. Kekasih telah berpulang dan hilang alasan guna mengarang. Akan tetapi, selalu ada yang datang dan berhasil menjadi suatu alasan yang lain agar diri ini kembali menulis-mengarang. ***

.

.

(2021)

POLANCO S ACHRI. Lahir dan tinggal di Jogjakarta. Seorang lulusan jurusan sastra yang kini menjadi pengajar di sebuah sekolah menengah kejuruan di Sleman.

.

Catatan:

Judul cerpen selengkapnya adalah Prose: Seorang Gadis Manis yang Ingin Jadi Novelis

Prose: Seorang Gadis Manis yang Ingin Jadi Novelis. Prose: Seorang Gadis Manis yang Ingin Jadi Novelis. Prose: Seorang Gadis Manis yang Ingin Jadi Novelis.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!