Cerpen Joni Hendri (Tanjungpinang Pos, 30 Oktober 2021)
HUJAN turun dari langit, membasahi jalan raya. Kenderaan-kenderaan lalu-lalang dengan cepat, Ramli singgah di kedai kopi menunggu hujan reda, sambil mengingat seseorang, yang benama Uswatun Hasanah. Selalu Ramli ingat dalam hidupnya. Bahkan Ramli pernah menikahinya. Perempuan tersebut merupakan seseorang yang sangat dipercayai sebagai perempuan yang berprilaku baik di kampung, wajahnya tidak pernah berbohong.
“Mengapa orang begitu percaya kepadanya? Padahal ia pendusta di atas pendusta. Aku sebagai orang yang dianggap soleh di kampung, tidak pernah dipercaya apabila bercerita tentang prilaku perempuan itu!”
Ramli menggerutu dalam hati, sambil memesan kopi di kedai itu. Apabila ia melihat perempuan, pasti ia merasa ada getaran hatinya atau teringat kepada perempuan yang bernama Uswatun Hasanah mantan istrinya itu.
Ramli orang pertama kenal dengan perempuan yang bernama Uswatun Hanasah tersebut. Ia kenal lewat suara yang keluar dari handpone. Perkenalan itu bermula dari salah sambung. Kejadian itu selalu menjadi buah butir pemikiran, ketika ia duduk sendiri. Dengan rasa penasaran yang panjang. Rasa ingin tahu yang kuat. Ia langsung meminta kepada imam Masjid untuk melamar hingga sampai ke jenjang pernikahan selama dua tahun.
Selama itu jugalah terlihat segala keburukan dan kebenaran tentang prilaku perempuan yang dipuja-puja orang kampung. Setelah terjadi perceraian, Ramli terus memata-matai perempuan yang pernah dicintai dan yang paling ia benci. Memang perasaan kedua-duanya itu berlawanan pada dirinya. Hanya saja rasa cinta, tidak mudah terhapus begitu saja. Apalagi dengan rasa benci yang tak begitu mendalam. Sebab perempuan yang bernama Uswatun Hasanah merupakan kekasih pertama dalam hidupnya. Cinta pertama sangat sulit untuk dilupakan walaupun sering menyakitkan.
“Perbuatannya tidak sesuai dengan nama, jauh dari pemaknaan nama yang telah diberikan oleh orang tuanya.” Ramli berbicara dalam hati, pada malam itu ia terus mengingat-ingat tentang mantan istrinya tersebut.
***
“Kenapa orang menyukai aku?”
Perempuan bernama Uswatun Hasanah itu berbicara kepada diri sendiri, sambil menyisir rambut di depan pintu rumahnya dengan memegang cermin kecil. Tiada hari tanpa cermin, sebab cermin merupakan ritual bagi Uswatun Hasanah. Bisa dikatakan makanan sehari-hari baginya. Ia hanya tinggal sendiri di rumah kontrakan. Setelah bercerai dengan Ramli.
Banyak laki-laki yang suka lalu-lalang di depan kontrakannya. Demi melihat lekuk tubuh yang seksi. Ia sangat gemar berpakaian yang mencolok dan duduk di muka pintu. Sambil memainkan cermin untuk melihat rambut berwarna merahnya. Kebiasaan itu sangat mengundang kegelisahan masyarakat sekitaran kontrakannya. Bahkan orang tua-tua sekitaran kontrakan tersebut mengatakan ia sebagai wanita malam. Padahal sebelum ia bercerai dengan Ramli, ia sangat dihormati. Layaknya seorang wanita yang patut dicontoh. Seorang wanita muslimah yang menjaga auratnya.
“Kenapa aku sekarang lebih senang berbuat dosa? Terutama dosa-dosa mata kepada yang melihat diri ini.”
Perempuan itu merasa dirinya sudah banyak sekali dosa yang dilakukannya. Bahkan setiap hari. Tapi keinginan itu tidak bisa dihentikan oleh siapa pun. Memang tutur sapa dengan orang yang lebih tua dari dirinya, sangat sopan. Walaupun itu hanya sebagai topengnya. Barangkali sudah lumrahnya perempuan yang bernama Uswatun Hasanah tersebut melakukan hal demikian.
***
Ramli tak pernah menduga perceraian ini membuat hatinya bergejolak kembali. Perasaannya menggempar setelah menduda, walaupun ia sudah mengetahui pribadi perempuan tersebut. Perasaan itu begitu asing, hal yang tak pernah diharapkannya untuk datang kembali.
“Perempuan pembohong!!!!!!”
Ramli geram dengan dirinya, hingga ia mengambil batu lalu melepar ke arah binner yang berdiri di depan kantor DPR. Entah mengapa ketika ia marah selalu melempar batu ke arah yang sama. Hampir setiap kali melempar batu, ia pasti diburu oleh Satpol PP.
Setiap hatinya sedang marah, pasti Ramli pergi ke kantor tersebut. Ia tidak bisa ke tempat lain untuk melepas marahnya. Sampai-sampai orang menganggap ia gila. Ia sering mendengar perkataan orang yang menyebut ia gila. Tapi ia tidak pernah marah kembali atau melepar batu ke arah orang tersebut dan ia sedikit pun tak mengeluarkan perkataan kotor.
Memang akhlak yang baik itu ia cerminakan pada mata-mata yang melihat. Ia hanya marah apabila perkara yang berhubungan dengan mantan istrinya, itu pun ia marah dengan dirinya sendiri. Salah satu cara melampiaskan kemarahannya dengan cara melempar binner.
Ramli memang seorang laki-laki yang sabar dalam menghadapi cacian, makian, serta hujatan yang datang pada dirinya selagi hal itu tidak berkaitan dengan perkara matan istrinya. Kehidupanya penuh dengan hal kecemasan, sejak mulai lahir ia sudah ditinggalkan oleh ke dua orang tuanya.
Saat berusia 15 Tahun ia sudah mulai hidup mandiri, mentalnya menjadi keras. Hal itu membentuk dirinya sebagai jalan dan tempat bersandar. Padahal saudara dari ibunya banyak sekali di kota itu.
Dengan kepercayaan diri, Ramli selalu membayangkan masa depan yang masih panjang. Dan mempunyai cita-cita untuk menjadi dirinya sebagai tempat bersandar keluarganya yang ada di kota itu. Ingin sekali membuktikan kesuksesnya. Walaupun kini hidupnya sangat miris. Mata pencarian semakin sulit, lapangan kerja buntu disebabkan adanya wabah Covid-19.
“Banyak para pekerja asing yang masuk ke kota ini. Sedangkan aku hanya jadi penonton. Gawat!” Ramli menggerutu dengan dirinya sendiri.
***
Pada sore yang ganjil hujan turun kembali di halaman rumah perempuan yang bernama Uswatun Hasanah itu. Ia baru saja bangun dari tidur siang, memang tidurnya selalu begitu. Sore dijadikan pagi, sedangkan pagi dijadikan malam.
Pada sore itu ia sangat senang sekali melihat hujan turun deras, membuat tubuhnya segar. Rasa senangnya terpancar di raut wajahnya, lalu ia lemparkan pandangan ke langit dan ke arah pohon-pohon yang basah. Disertai burung-burung yang riang dengan kicaunya.
Hujan sore itu menjadi pemandangan yang sangat indah untuk alam sekitarnya, tumbuh[1]tumbuhan seperti kehausan dilanda kemarau panjang. Selama ini hujan yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Hujan tidak hanya membuat ia kedinginan, tapi membuat ia bisa melupakan kejadian-kejadian masa lalunya terhapus. Memang hujan ini, sesuatu yang sangat berharga baginya. Sebab ia sudah lama menunggu gumpalan awan hitam untuk bisa menurunkan hujan.
Tiba-tiba sosok laki-laki muncul di hadapannya, tubuhnya basah. Laki-laki itu tidak asing baginya, yaitu Ramli mantan suaminya dulu.
“Kenapa kau tiba-tiba muncul?”
Perempuan itu kaget.
“Karena ada rasa yang datang dalam diriku.” Jawab Ramli.
“Apa urusan denganku!”
“Urusan cinta!” Sambil menggigil.
“Ah, laki-laki selalu begitu.”
“Tidak semua laki-laki sama.”
“Kalau tidak sama, kenapa pernikahan kita tidak bertahan lama?”
Perempuan itu berkata sedikit sinis. Ramli hanya diam ketika perkataan itu keluar dari mulut mantan istrinya.
Ramli hanya menagung dingin, sedikit pun matan istrinya tak ada perhatian. Malah perempuan itu meninggalkan dirinya di halaman, lalu menutup semua jendela dan pintu.
“Aku tak menyangka sikapmu masih seperti kemarin.” Kata Ramli dengan suara agak lantang.
“Jangan disangka hujan ini, sebagai penghapus masa lalu kita. Pulanglah!” Jawaban perempuan itu dari dalam kontrakannya.
Dalam keadaan hati yang kesal, Ramli melangkahkan kaki dengan pelan menuju motornya. Dingin masih saja mengusik tubuhnya. Basah tak lagi menjadi indah, suasana hujan tak menjadikan hal yang romantis bagi Ramli. Sore itu tak lagi indah. Hari yang tak lagi bercahaya pada pandangan matanya.
Jiwa Ramli meronta-ronta tak bisa menahan kesal yang ia rasakan, maka ia pun berteriak-teriak dalam hujan yang semakin deras itu:
“Perempuan paling pandai berbohong! Kenapa orang percaya dengan dia? Kenapa? Ahhhhhhhhhhhhhhhhhh!”
Setelah mengeluarkan perkataan itu, ia bergegas mempercapat langkah menuju motornya, lalu mengegas kenderaan tersebut dengan laju menuju ke depan kantor DPR. Sesampainya di sana, langsung melempar batu ke arah binner di depan kantor DPR. Persis seperti yang ia lakukan setiap hatinya marah dengan mantan istrinya. Dan ia tak menganggap lagi perempuan yang bernama Uswatun Hasanah itu sebagai mantan istrinya, untuk selama-lamanya.
“Jangan kau mengaku aku sebagai mantan suamimu!!!” ***
.
.
JONI HENDRI, kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Bergiat di Rumah Kreatif Suku Seni Riau dan di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru.
.
.
Leave a Reply