Cerpen Moh Rofqil Bazikh (Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2021)
HANYA juru cerita biasa, begitu kira-kira ketika kamu menciptakanku. Di tengah-tengah kepul rokok yang tetap menyala. Di tengah bunyi ritmis komputer di tempatmu bekerja. Kamu berkali-kali memukul meja dan sekali dua kali pula menyulut rokok kembali. Kamu tidak suka rokok dengan api yang kecil, makanya kamu terus-terusan melolosnya.
Semenit sesudah aku diciptakan, aku berhak penuh mengambil alih cerita ini dari tangan siapa pun, termasuk kamu. Artinya, kamu tidak lagi punya andil dalam cerita ini. Semua ada di tanganku—bahkan dimuat atau tidaknya cerita ini tergantung caraku bercerita. Seperti ini.
Harusnya kamu percaya kepada ibumu ketika ia melarangmu bekerja di kantor kecamatan. Ibumu lebih gembira semisal kau menjadi guru meski tidak duduk di depan komputer. Tetapi, penolakan-penolakanmu terhadap pendapat ibu dan ngotot untuk berada di ruangan yang sempit seperti ini. Ruangan yang belakangan kerap membuatmu seperti pesakitan. Kamu merasa umpama babi yang dikurung di sebuah rumah yang sama sekali tidak menemukan celah masuknya cahaya.
Dalam hatimu—sedikit banyak aku yakin—pasti menyesal. Sudah sepatutnya kamu menuruti apa kata ibumu waktu itu.
“Tidak usah jauh-jauh, sekolah swasta di sini kekurangan tenaga kerja.”
“Tetapi honor mengajar di swasta tidak menyenangkan.”
Kamu tahu honor di sekolah swasta mirip seokor ayam yang dimasukkan ke kandang musang. Pikiranmu sudah paham sejak jauh bagaimana seorang guru diperlakukan di negara ini. Harusnya ibumu tidak kaget ketika kamu memutuskan untuk tidak menjadi guru. Tidak ada untungnya, pikirmu.
Ibumu kembali ngotot dengan mengatakan bahwa keuntungan tidak bisa diukur dengan uang. Kata beliau, di dunia boleh saja mendapat honor yang sedikit, tapi imbalan akhirat tidak akan salah sasaran. Kau bersikukuh, bahwa masuk kantor dan menjadi pegawai di kecamatan lebih dari sekadar cukup. Pada mulanya seperti itu.
Semua berubah tatkala pekerjaan mencatat di depan komputer menjadi semakin berat. Atasanmu meminta agar terus-terusan lembur sepanjang hari. Sampai-sampai rambutmu tidak terawat, hanya bau badanmu yang tetap terjaga. Berangkat subuh dan pulang pukul dua belas malam menurutmu sudah tidak menyenangkan.
Makanya, di sela-sela kenyerian dalam kepalamu yang terus meningkat, kamu membuka komputer dan mulai menciptakanku. Aku hanya juru cerita biasa, yang diciptakan di tengah kesibukanmu bekerja.
Meski semua cerita berada di tanganku, di bawah kendaliku, kamu bisa saja langsung membuatku mati. Dengan banyak cara kamu bisa membuatku tidak lagi punya hak untuk bercerita.
Semisal, dengan cara aku dibuat sebagai korban kebakaran yang sebelumnya terjebak di tengah gedung puluhan lantai. Hanya demikian cara yang bisa dibuat agar aku tidak banyak mengomel dan menjadi cerewet.
Bahkan, ketika aku dimatikan, jelas kamu akan kembali fokus ke pekerjaanmu yang tidak lagi menyenangkan. Bergelut dengan tumpukan-tumpukan map kertas dan karet tidak membuat kepalamu menjadi tenang.
Ketika seorang lelaki muda masuk ke ruanganmu, segera kamu mengucek ujung rokok ke perut asbak. Setahuku setiap lelaki itu masuk, ia tidak ingin melihat nyala rokok atau asap yang mengepul.
Ia tidak banyak berbicara kepadamu selain memberi tahu bahwa kamu harus menghadap atasan detik itu juga.
Kamu buru-buru menggeser mouse mencari fitur untuk mematikan komputer. Asap dari asbak sudah berhenti mengepul dan sepuluh detik kemudian komputer tidak lagi menyala.
Maaf, ceritaku sampai di sini saja. ***
.
.
Moh Rofqil Bazikh, menulis puisi dan cerpen yang sudah dimuat media massa. Sekarang tinggal di Bantul.
.
.
Leave a Reply