Cerpen, Denpost, Haryo Pamungkas

Alenia dan Ikan-ikan di Akuarium

Alenia dan Ikan-ikan di Akuarium ilustrasi Mustapa/Denpost

4
(1)

Cerpen Haryo Pamungkas (Denpost, 23 Juni 2019)

MESKI berulang kali ditampar, atau dipukul, dan dikunci di luar rumah, aku masih tidak kapok mengobok-obok akuarium milik ibu. Mungkin sama halnya dengan ibu—yang terlihat senang ketika melihatku sempoyongan sehabis ditampar—aku juga senang melihat ikan-ikan itu klenger mabuk selepas kuobok-obok. Mereka terlihat linglung, panik berenang ke sana-ke mari tanpa arah. Dan aku melihat itu semua menyenangkan adanya.

Ikan-ikan itu, barangkali bisa bicara seperti manusia, pasti bakal mengutuk keras perlakuanku. Tapi, toh mereka cuma ikan. Apalagi dunia mereka cuma sebatas akuarium, tak akan bisa apa-apa. Mungkin ikan-ikan itu cuma bisa bersembunyi di antara hiasan-hiasan akuarium. Tapi ikan, berusaha bersembunyi bagaimana pun, kamu tak akan bisa lari dari tanganku …

Sebenarnya antara ikan-ikan itu dan aku nyaris ada kesamaan: kami sama-sama tak bisa lari atau sembunyi dari “tangan”. Ikan itu tak akan bisa sembunyi dari tanganku, dan aku juga tak bisa sembunyi dari tangan ibuku. Sekeras apa pun aku mencoba dan mencari tempat persembunyian, tangan ibu pasti bakal melayang dan mendarat tepat di pipiku.

Plak!

“Alenia!” Mata ibu selalu melotot menyeramkan, “Kenapa masih bermain-main dengan ikan itu, hah!”

Nah. Ini bedanya, selain menampar dan memukul, mulut ibu juga pasti akan mengeluarkan sumpah serapah; semacam kesumat yang sudah lama terpendam.

“Kupingmu itu masih bisa dibuat mendengar tidak?!”

Plakkkk.

Dua kali, persis sama dengan jumlah tangan. Dan pasti tepat jatuh di pipi kanan-kiriku. Jika tidak begitu, mungkin ibu tak akan puas. Sesekali tentu aku akan terisak, memerlihatkan kesedihan sambil berusaha berdiri sempoyongan. Kadang, sehabis ditampar atau dipukul ibu, kepalaku menjadi sedikit pusing, benda-benda menjadi samar dan sedikit berputar-putar. Tapi mau bagaimana pun sakitnya, aku merasa menemukan kesenangan saat membuat ikan-ikan itu mabuk hingga klenger. Jadi aku tak akan berhenti melakukannya.

Ibu sepertinya sangat menyayangi ikan-ikan di dalam akuarium itu. Ibu tak pernah sekali pun lupa memberi makan ikan-ikan itu: tiga kali dalam sehari. Dan setiap tiga hari, akuarium itu pasti bakal dibersihkan. Tapi dalam pandanganku, sepertinya ikan-ikan itu tak kunjung tumbuh besar. Barangkali ini ada hubungannya denganku yang sering membuatnya mabuk dan klenger. Tapi tak apalah, di sisi lain ikan-ikan itu pasti cukup merasa bahagia bersama ibu; masih ada yang mau merawatnya dengan tulus meski juga ada yang sering membuatnya mabuk dan klenger di dalam akuarium.

Baca juga  Perihal Tanda-tanda

***

Pernah suatu hari, saat aku kedapatan mengobok-obok akuarium itu lagi, ibu tak hanya menamparku dua kali. Tapi berulang kali sampai kepalaku terasa benar-benar berat! Benda-benda sungguh terlihat samar dan badanku terasa sangat berat untuk digerakkan. Jadilah aku hanya bisa rebah dan terkapar. Aku masih bisa mendengar kata-kata yang keluar dari mulut ibu,

“Anak batu!” Ibu berkata sambil berkacak pinggang dan matanya itu, terlihat melotot-menyeramkan meskipun aku hanya bisa melihatnya dengan samar.

“Kalau sampai mati awas!” Mata ibu yang menyeramkan masih terus melotot ke arahku yang hanya bisa rebah dan terkapar sedari tadi.

Aku berusaha tidak menangis terlalu berlebihan, karena terakhir kali aku menangis berlebihan, ibu justru semakin memukul atau menamparku. Dan rasa-rasanya, tamparan ibu tadi sudah cukup; cukup untuk membuatku tak hanya sempoyongan atau menjadi linglung, tapi telak membuatku nyaris pingsan. Dan selepasnya, aku pasti juga bakal membuat ikan-ikan di akuarium itu mabuk dan klenger sampai nyaris pingsan. Ya, pasti kulakukan saat badanku sudah tak lagi berat.

Maka hari ini, aku bakal mengobok-obok akuarium itu sampai membuat ikan-ikan di dalamnya mabuk dan klenger berat. Ibu terlihat masih tidur di ruang tengah, mungkin baru tidur pagi tadi. Memang hampir setiap hari ibu selalu tidur larut. Napas ibu juga seringkali tak sedap, dan banyak asap-asap di sekeliling ibu. Kadang, selain mata melototnya yang menyeramkan itu, mata ibu juga sering terlihat berwarna merah. Sangat menyeramkan. Seperti orang kerasukan setan yang sering kulihat di televisi dulu.

Kali ini aku mesti lebih hati-hati, setidaknya sebelum kedapatan oleh ibu, aku harus  selesai membuat ikan-ikan itu mabuk berat. Karena terakhir kali, ibu bilang akan memotong tanganku jika masih kedapatan mengobok-obok ikan di dalam akuarium itu. Aku berjalan mengendap-endap, sangat hati-hati. Akuarium itu berada di ruang depan, jaraknya mungkin hanya sepuluh langkah dari tempat ibu tidur di ruang tengah. Jadi aku mesti melewati tempat ruang tengah dulu, lalu baru bisa sampai ke tempat akuarium dan ikanikan kecil itu.

Baca juga  Mencuri Matahari

Pagi ini sepertinya aku sangat beruntung. Aku melewati tempat ibu terlelap di ruang tengah dengan mudah, dan sampai di tempat ikan-ikan ini dengan selamat. Mungkin ibu terlalu letih sampaisampai tak merasakan langkahku, atau barangkali semalam juga ada yang membuat ibu mabuk dan klenger. Aku memang sering membayangkan, setiap malam ada tangan besar yang juga menampar atau memukul ibu hingga membuatnya sempoyongan. Itu memang pernah terjadi dulu, saat ayah masih juga tinggal bersama kami. Tapi sepertinya sekarang sudah tak bisa lagi. Jadi aku membayangkan mungkin tangan yang membuat ibu mabuk hingga pingsan itu adalah tangan setan.

Meski begitu, saat aku berjalan mengendapendap di ruang tengah, masih saja kudapati aroma menyengat yang sering membuatku pusing—selain tamparan ibu tentunya. Aroma itu entah berasal dari mana, atau barangkali memang berasal dari napas ibu. Baunya menyengat dan bahkan nyaris seperti bau busuk. Bekas rokok juga berserakan tak karuan; ada di mana-mana. Kenapa ibu bisa begitu aku juga tidak terlalu mengerti.

Aku mengintip sesekali untuk memastikan bahwa ibu masih terlelap. Bisa bahaya jika aku kedapatan berada di sini. Telinga ibu sungguh sangat tajam, jika mendengar suara akuarium yang diobok, pasti ibu langsung terjaga dan berlari mencariku, sambil meneriakkan namaku, “Aleniaaa!!”

Sebelumnya aku sudah meyakinkan diri, dan semalam aku sudah membayangkan berapa kali ibu akan menamparku. Mungkin kali ini ibu akan menamparku sampai aku benar-benar pingsan. Tapi tak apa, demi melihat ikan-ikan itu mabuk dan klenger, aku akan tetap melakukannya. Karena bagiku itu menyenangkan; melihat ikan-ikan itu terlihat bingung dan berenang tanpa arah. Atau melihat ikan-ikan itu berusaha mencari tempat persembunyian dan berusaha menghindar dari tanganku meski itu semua hanya akan menjadi sia-sia.

“Mau lari ke mana kamu ikan kecil?”

Tanganku mengobok-obok akuarium itu dengan cepat. Aku mesti benar-benar cepat, sebelum ibu mendengar dan berlari kemari.

Baca juga  Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati

Beberapa ikan-ikan itu tampak kebingungan berenang mencari tempat sembunyi. Tapi tanganku terus saja mengobok-obok seisi akuarium, dan memburu sisa ikan yang belum terlihat mabuk dan klenger. Beberapa ikan terlihat sudah kepayahan, dan beberapa lagi mengambang, pasrah. Dan satu di antara ikanikan itu siripnya terlihat lepas. Tentu melihat itu aku benar-benar kegirangan. Aku tersenyum sambil menari dan berputar-putar, sebelum kemudian aku merasa ada yang menghempas tubuhku. Keras sekali. Ternyata itu tangan ibu. Aku melihat sekilas, mata ibu merah melotot ke arahku yang tersungkur. Lalu tampa ampun tangan itu mendarat—entah berapa kali—di pipi dan sekujur tubuhku.

Badanku sudah terasa sangat berat, pandanganku sudah samar, dan kepalaku benar-benar pusing, tapi tangan ibu tak henti-hentinya mendarat di tubuhku. Dan mendadak semua menjadi gelap.

Aku nyaris tak ingat sepenuhnya apa yang terjadi, namun saat bangun aku melihat ibu berada di sampingku. Ibu terus memandangku, tapi kali ini tanpa melotot, meski matanya masih merah, namun tak semerah tadi. Sepertinya ibu menyesal.

Sejurus kemudian ibu membelai kepalaku, lalu berkata,

“Alenia sayang, sekarang kamu tak akan lagi bisa mengobok-obok akuarium itu.”

Kemudian ibu tersenyum.

Aku mencoba bangun, tapi tubuhku benar-benar terasa berat. Aku mencoba memandang sekeliling; benda-benda masih terlihat agak samar dan kepalaku teramat sakit. Di sisi lain, aku merasa ada yang aneh dari tubuhku, semacam ada yang tanggal. Terutama pada tanganku.

Dan ibu masih terus membelai kepalaku, tersenyum, sambil terus mengulang-ulang,

“Alenia sayang, sekarang kamu tak akan lagi bisa mengobok-obok akuarium itu.”

Aku masih terkapar dan rebah, sambil berusaha mengingat bagaimana ikan-ikan di akuarium itu kepayahan, mabuk dan klenger, hingga satu ikan yang siripnya lepas. ***

.

.

Haryo Pamungkas lahir di Jember. Cerpen-cerpen mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unej ini dimuat di berbagai media cetak dan daring.

.

.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!