Cerpen Amelia Zelene (Pontianak Post, 31 Oktober 2021)
SEPIT berwarna kuning hijau itu tertambat di tepi waterfront city, gelombang kecil datang membuat badan sepit ukuran dua koma lima meter itu bergoyang pelan. Suara cicit burung layang yang terbang rendah menyatu dengan angin sore, awan di langit sedikit mendung, akan tetapi semburat cahaya putih begitu terang dan memberikan kepercayaan di hati para pedagang bahwa cuaca begitu cerah, tandanya akan ramai pengunjung bersantai.
Satu-satu para pedagang menggelar lapak, tak ketinggalan penawar jasa sewa mobil mini berbahan bakar aki, sepeda listrik, skuter, motor mainan anak, becak mini warna warni sampai mainan mobil anak yang bisa didorong oleh orang tua mereka. Aneka jajanan anak mulai dari gulali rambut nyonya, sosis bakar, pentol goreng, aneka snack dan lain-lain. Tak ketinggalan pula pedagang mainan yang menggelar dagangan di atas badan waterfront city itu, benar-benar syurga bagi anak-anak dan entah bagi orang tua yang harus mempersiapkan dompet cukup tebal apabila bersantai di sana.
Sore jelang pukul lima, Rahmat, mahasiswa salah satu Universitas Islam di Pontianak berdiri mematung di gerbang masuk seluas kurang lebih empat meter itu, dia menapaki tangga beton bewarna abu-abu karena lapisan semen halus di atasnya, suasana keramaian itu agaknya tidak dia sukai.
Rahmat berperawakan tinggi berisi, pipinya bulat dengan mata belo dan bulu mata lentik, hidung rahmat mancung dan rambutnya lurus setelinga, disisir menyamping lalu dibubuhkan sedikit minyak agar tetap kaku tidak berantakan. Dia mengenakan kemeja bewarna coklat dan celana kain di atas mata kaki. Di punggungnya ada tas ransel lusuh dengan buku agama dan ponsel serta kitap suci di dalamnya. Tujuan dia datang ke waterfront city ini adalah untuk menikmati pemandangan sungai yang dia puja dan cintai.
Rahmat memandang ke kakinya yang berbalut sneaker warna putih hitam yang penuh debu. Rahmat ingin sendiri, merenung kuasa ilahi, menikmati sepi dan panorama suguhan Tuhan yang Maha Kuasa. Mengisi kembali energinya yang hampir saja kosong. Melepaskan kemelut pikiran dengan ribuan pujian kepada Tuhan atas sketsa alam di langit sore ini, sebentar lagi semburat mentari menghantarkan cahaya bewarna jingga. Dia akan menikmati itu semua kemudian mendirikan salat di Masjid yang tersedia di sini. Begitulah rencananya.
Rahmat sudah memutuskan, bahwa dia akan menikmati senja kali ini.Dia melangkahkan kaki memasuki area waterfront city, beberapa kali dia harus berhenti karena ada mobil mini yang dikendarai anak kecil tiba-tiba mengerem. Dia menoleh karena mendengar suara tawa bapak-bapak yang berlari kecil mengiringi anak mereka berskuter, matanya juga menangkap beberapa remaja tanggung yang ikut mengendarai becak mini tertawa gembira karena telah melepas kangen satu sama lain.
Suara music remik mengalun menambah semarak, beberapa keluarga berjalan beriringan dan ada pula pasangan paro baya yang bergandengan tangan berjalan pelan seolah berharap tak menemui ujung. Wajah Rahmat berseri merasa sedikit terhibur, dengan keramaian yang tak jemu dia jambangi.
Setelah itu, dia langsung menuju tepi waterfront yang pagarnya sudah dimodifikasi, bisa terbuka dan tertutup. Ada tangga yang menghubungkan agar pengunjung bisa naik ke sepit ataupun kapal hias dua tingkat yang berlabuh di tepian. Dia menangkap ada sepit bewarna kuning hijau yang bersih dan kelihatan masih baru. Rahmat memutuskan untuk naik ke sepit itu setelah beberapa kali juru kemudinya tersenyum ramah dan melambai ke arahnya.
“Assalamualaikum, Pak,” Rahmat tersenyum kepada bapak itu.
“Walaikumsalam, Anak Muda. Wah, kamu sendirian saja? Bearti saya harus menunggu penumpang lain jika ingin jalan,” kata bapak dengan suara bersahabat.
“Kalau saya sendiri saja bagaimana, Pak? Saya ingin menikmati alam ciptaan Tuhan ini. Langit sore yang begitu bagus, dan suasana ini. Aroma sungai Kapuas,” tawar Rahmat sopan.
“Apa kau bersedia membayar dua kali lipat?”
Rahmat menggeleng. Dia tidak punya cukup uang. Dia anak perantauan. Bapak itu mengamati sekilas penampilan Rahmat, dia memegang dagu dan terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu. Agaknya dia bergulat dengan pikiran sendiri, haruskah memenuhi keinginan anak muda ini ataukah menolak dan menyuruhnya naik sepit lain. Ada banyak penumpang sore ini, satu kali perjalanan dia bisa meraup empat kali lipat rupiah.
“Saya akan memberikan Alqur’an untuk bapak. Saya ada dua,” kata Rahmat penuh percaya diri. Bapak itu tersenyum lagi. Dia sudah memutuskan.
“Baiklah, Anak muda. Cukup kamu bayar saya satu kali perjalanan dan Al Qur’an untuk saya,” jawab bapak itu. Dia berencana memenuhi permintaan anak muda di depannya. Hati nuraninya entah mengapa tergiur mendengar tawaran Al Qur’an. Kitab suci agamanya yang sudah jarang dia lihat.
“Saya sangat berterima kasih, Pak. Semoga rejeki bapak semakin lancar. Hati Bapak begitu mulia.”
Pujian dan doa itu berhasil mengembang di hati kuli sepit sepertinya.
“Aamiin, baiklah, mari kita jalan.”
Bapak itu menghidupkan mesin sepitnya dan melepaskan tambatan. Dia lalu duduk di bagian kemudi. Memegang kendali lalu mulai mengatur kecepatan. Beberapa menit berlalu keduanya sudah berada di tengah sungai Kapuas.
Rahmat duduk menghadap Bapak juru sepit. “Maaf, Pak. Bisa dimatikan mesinnya?” tanya Rahmat terdengar seperti permintaan.
Kedua mata Bapak itu membulat, alisnya berkerut. Sejenak dia terdiam lalu mematikan mesin. Kini arus air membawa sepit itu ke hulu sungai. Angin berhembus sepoi-sepoi, burung layang-layang terbang rendah dan terkadang bersuara rendah, agaknya mereka akan mengucap salam perpisahan kepada sore dan selamat datang kepada malam lalu di sana di cakrawala yang membentang, awan-awan diam termangu diselimuti jingga terang yang malu-malu muncul untuk memberi kabar bahwa senja sudah datang.
Rahmat membiarkan kedua matanya merekam keindahan itu, sedikitpun dia tidak berpikir untuk berpaling. Perlahan bibirnya mengucap kalimat pujian akan kekuasaan Tuhan. Apa yang dia lihat merupakan mahakarya dari Sang Pencipta.
Bapak di depannya mengikuti arah pandang Rahmat, kedua matanya memutar dan bibirnya membentuk garis lurus. Dia mengangguk dan mengerti maksud perkataan Rahmat tadi. Pemandangan indah ini yang sering menemani harinya menyepit namun luput menyentuh hatinya.
Rahmat mengusap air mata, dia bergeser ke sisi kanan sepit dan kedua tangannya menggapai air sungai. Rahmat membasuh wajahnya dan seketika hatinya menjadi lapang. Perasaan ini sama, dia merasa seperti di desanya. Air sungai Kapuas juga mengalir dan melewati kampung halaman Rahmat.
“Terima kasih, ya, Pak. Sekarang mari kita pulang.”
Bapak itu tersenyum dia lalu menghidupkan mesin sepit, dan bergerak menuju tepian.
“Nak, kalau boleh tahu, apa yang kau lakukan?” Akhirnya bapak itu bertanya.
Rahmat menegakkan badannya dan menatap lurus bapak juru sepit di hadapannya.
“Saya senang melihat langit pas sore begini, Pak. Sangat indah dan buat saya jadi banyak memuji Tuhan,” jawab Rahmat lugas.
Bapak itu mengangguk.
“Nak sudah sampai, mau kemana setelah dari sini?” tanya Bapak itu lalu mematikan mesin.
Rahmat bangkit membantu menambatkan tali sepit ke undukan batu tebal di tangga.
“Insya Allah Masjid itu, Pak,” jawabnya dengan mengangkat tangan kanan ke arah masjid.
Rahmat menyerahkan uang dan mengambil Al Qur’an hitam kucel miliknya. Sejenak dia meringis dan mengambil Al Qur’an yang baru dia beli. Dengan sopan Rahmat memberikan Al Qur’an itu. Bapak itu diam dan menerimanya. Rahmat berlalu setelah mengucapkan salam dan doa tulus agar bapak juru sepit sehat dan bahagia.
Bapak itu melihat beberapa pengunjung yang menyerbu sepitnya. Pembicaraan itu terputus. Di sela-sela mengarahkan penumpang yang terdiri dari keluarga dan beberapa remaja. Bapak itu melihat Rahmat yang naik tangga dan berhenti untuk melihatnya.
“Hati-hati, Pak!” serunya sembari menganggat tangan kanan. Rahmat tersenyum dengan matanya yang berbinar terang.
Suara azan berkumandang, wajah Bapak itu sendu. Sudah berapa lama dia tidak memenuhi panggilan Tuhan? Usianya lebih tua dari si anak muda. Dia mungkin sudah bau kuburan.
Matanya melihat beberapa pengunjung yang duduk rapi di sepitnya. Mereka tertawa riang. Suara azan masih memanggil, dan bapak itu berjanji setelah dia mengantarkan penumpang ini, dia akan memenuhi panggilan Tuhan. Panggilan Sang Pencipta alam dan seisinya, termasuk dirinya. ***
.
Tersenyum Bersama Senja. Tersenyum Bersama Senja. Tersenyum Bersama Senja. Tersenyum Bersama Senja.
Leave a Reply