Cerpen Novi Chadjin (Lampung Post, 07 November 2021)
SHINTA, teman baikku sejak kecil. Kami selalu menghabiskan waktu bersama untuk bermain. Walaupun kami beda gender, dia bisa mengikuti permainan yang biasa dimainkan anak laki-laki. Ya, dia tomboi. Bahkan, aku melihatnya sebagai sosok laki-laki yang terperangkap pada tubuh seorang anak perempuan. Haha….
Tak hanya teman bermain, aku dan Shinta selalu saja memasuki sekolah yang sama. Padahal di tempat kami tinggal banyak pilihan sekolah yang bisa dijadikan rekomendasi. Daerah kami memang bisa dibilang kota, sehingga banyak sekolah megah dan bergengsi.
Saat SD, Shinta satu-satunya teman dekatku. Itu berlangsung hingga kami lulus SMP. Memasuki SMA, ada satu lagi teman yang akhirnya masuk dalam kufu kami. Namanya Angga. Jadilah geng kami diisi oleh tiga orang. Aku, Shinta dan Angga. Kami tiga sejoli yang ke mana-mana selalu bersama.
Hingga pada suatu hari….
“Ma, kalau gue nembak Shinta, gimana?”
Aku seperti mendengar petir yang bersahutan.
“Elu suka sama Shinta? Astagaaa! Hahaha…”
Tawaku lepas, tapi hatiku panas.
***
Perasaan Angga ternyata disambut oleh Shinta. Aku cemburu? Hah, terlalu naif rasanya untuk cemburu pada mereka. Justru aku merasa dikhianati. Bagaimana mungkin sahabat menjadi kekasih?
Aku tak ingin berlama-lama memikirkan mereka. Ini hanya membuat mood-ku makin buruk. Saat itu, kuakui aku jadi terpuruk. Dan sejak itu juga, aku memilih untuk mencari pengisi kekosongan hati. Kubiarkan hatiku berkelana. Aku mendekati banyak wanita. Kalau ada yang menyambut, syukur alhamdulillah. Tak disambut pun tak masalah. Aku sadar, hidupku menjadi kacau. Ah, pecundang! Aku sering memaki diriku sendiri.
Tapi pada dunia, aku selalu bersikap baik-baik saja. Biar aku saja yang menyimpan perasaan tak berdaya.
Persahabatanku dengan dua sejoli itu tetap berlangsung seperti biasa. Kami tertawa bersama, melewati suka duka, hanya bagiku semuanya berupa duka. Mungkin bagi mereka beda.
Suatu hari aku mendengar keluh kesah dari Shinta tentang Angga. Yang menurut Shinta, Angga yang sekarang tak lagi sama. Dia posesif, mengekang. Dan Anehnya, Angga menuduh akulah sumber keretakan hubungannya dengan Shinta karena kami sering menghabiskan waktu bersama. Aneh!
Bagaimana bisa? Bahkan sebelum ada Angga, akulah yang paling dekat dengan Shinta. Suatu hal yang sangat wajar jika kami sering bersama, bukan?
***
Pagi itu mungkin hari yang indah bagiku. Saat Shinta mengatakan dia telah memutuskan hubungan dengan Angga. Lalu ada harapan muncul dalam dada. Tapi….
“Rama, aku janji. Enggak akan pernah pacaran lagi sama temen sendiri. Maafin aku sudah merusak persahabatan dengan jadian sama Angga. Kamu mau kan maafin aku?” Mata Shinta terlihat berkaca-kaca. Aku malah tertawa.
“Gak papa lagi, nikmat aja. Ok, kita sahabat. Selamanya.”
Sesaat aku merasa bodoh sekali. Kenapa harus mengatakan itu? Sahabat? Selamanya? Hah, sahabat macam apa yang tak rela sahabatnya bahagia dengan orang lain? Bodoh!
Aku tak bisa lari dari ucapanku sendiri. Aku tetap bersahabat dengan Shinta, hingga kami wisuda.
Setelah wisuda, akhirnya kami bekerja. Kali ini, tempat kerja kami berbeda. Setahun kami jarang punya waktu bersama. Tapi tetap berkomunikasi meskipun lewat maya.
[Ma, hari ini ada waktu gak?]
Aku tatap layar ponselku setelah ada notif pesan masuk. Shinta. Dia menyapaku lewat WhatsApp.
[Gue sibuk sih, paling ada waktu 1 jam pas jam istirahat nanti]
Sebaris kalimat sok sibuk aku kirim dengan diiringi perasaan bahagia. Hatiku bersorak. Sungguh ini yang aku tunggu. Menunggu untuk bertemu.
***
“Ma, dateng ya. Elu sahabat gue dari kecil, harus dateng di hari bahagia gue. Jangan lupa, dandan yang ganteng.”
Shinta tertawa dan aku terpana. Dia makin cantik. Tapi wanita cantik ini akan segera melabuhkan hatinya dengan pria pilihannya. Tentu saja itu bukan aku.
Undangan pernikahannya aku terima dengan pilu.
“Wooow… surprise yang luar biasa. Gue pikir setelah jarang ketemu elu sibuk kerja, eee… ternyata diem-diem sibuk nyari jodoh. Selamat ya, akhirnya elu nikah.”
Setelahnya, di tanggal yang tertera dalam undangan, Shinta benar-benar menikah. Sakit. Tentu saja, hatiku sakit.
Ucapan salah satu teman yang bilang kalau aku hanya bersembunyi di balik kata sahabat itu nyatanya memang benar. Shinta telah menjadi milik orang lain. Biarkan kukunci rapat perasaan ini agar tak ada seorang pun bisa membukanya kembali.
***
Shinta termangu sendiri. Mencoba percaya dengan yang terjadi. Meski rasanya sulit dimengerti.
Batu nisan yang bertuliskan nama sahabat kecilnya itu, dia usap berkali-kali. Hatinya sesak, amat sesak.
Diletakkannya di atas gundukan tanah, sebuah buket bunga yang tadi dia beli. Ada cairan bening yang mengalir di pipi. Masih jelas dalam ingatan Shinta, saat-saat bersama dengan Rama. Dan kini orang itu sudah tiada.
“Mama, kenapa nangis? Ini kuburan siapa?” Pertanyaan gadis kecil di samping Shinta membuat Shinta segera mengahapus air matanya.
Hati Shinta perih, seperti luka yang disiram cuka.
***
“Rama, aku sudah tahu semua dari Maya adikmu. Kenapa kamu enggak pernah bilang kalau kamu suka padaku? Kamu tahu, sulitnya aku menepis perasaan untukmu, hanya karena demi kata sahabat. Demi janjiku yang tidak ingin jatuh cinta pada sahabat. Rama, ada ruang kosong yang selalu aku sisakan di hatiku. Dan hanya kamu yang bisa mengisi ruangan itu. Ya, hanya kamu.” ***
.
Friendzone. Friendzone. Friendzone. Friendzone.
Leave a Reply