Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 08 Mei 2016)
TIGA bulan setelah kematian Benedict Richard O’Gorman Anderson di Batu, dan jasadnya sempat di semayamkan di Surabaya, barulah Palrus mengetahuinya dari selembar koran bekas yang ia pungut untuk membungkus sepatu. Laki-laki ceking yang berprofesi sebagai pengamen jalanan itu tercekat membaca berita singkat di halaman dua koran lokal tersebut. Ia yakinkan dirinya bahwa foto laki-laki bule berangkat tua tapi dengan sorot mata tajam itu benar Om Ben, orang yang pernah ia temani keliling Jogja.
Pelan ia lipat koran itu, urung ia gunakan membungkus sepatu. Kekagetannya mendapat berita hari itu—yang sangat terlambat!—sama kagetnya dengan ketika ia secara cepat menerima kedatangan Si Bule beberapa tahun lalu. Kalau tidak salah pertengahan 2008. Jika pertemuan merupakan awal pertemanannya, maka kabar kematian adalah akhir segalanya.
Palrus sedikit menyesal karena lama tak ngamen. Oktober 2015, ia pulang ke Samigaluh, Kulon Progo, karena rumah orang tuanya—tempat ia menitipkan istri beserta dua anaknya—diterjang longsor Pegunungan Menoreh. Terpaksalah ia dan keluarga memindahkan kerangka rumah ke tanah yang lebih aman, dan sejak itu Palrus pamit ngamen. Sambil pelan-pelan membantu membetulkan rumah, ia merintis warung kopi ala kampung. Setengah tahun Palrus seolah putus hubungan dengan dunia luar. Dan ketika warungnya tak menunjukkan harapan, ia kembali ke kota, bersiap ngamen lagi. Tapi lalu menjumpai berita tak tepermanai ini.
Palrus sadar, ketika Om Ben meninggal, tak ada yang akan memberinya kabar. Maklum tak seorang pun tahu hubungan mereka. Dan memang tak ada hubungan apa-apa. Ia hanya orang yang punya informasi perihal “kuburan campur” yang membuat Om Ben tertarik. Si Om kemudian minta ditemani “ziarah” serta tetirah ke tempat lain di sudut-sudut Jogja. Meskipun ada sopir yang mengantar, tapi tak lebih sopir rental—mereka sempat berkenalan, lalu melupakan. Si sopir pun mungkin tak tahu kalau abu orang yang pernah ia antar sudah menyatu dengan lautan. Tidak juga Si Gimbal, penyair yang sekilas Palrus kenal di sebuah kafe saat jumpa Om Ben. Mungkin sekali si penyair yang menggelegak seperti Merapi itu telah lebih dulu melupakan Si Bule karena menganggapnya keterlaluan.
***
BERSANDAR ke dinding mengatasi lungkrah raga, Palrus mengingat awal perjumpaan dengan Ben Anderson. Jumpa pertama yang tak menyenangkan. Malam itu, seperti biasa, ia ngamen di Prawirotaman. Setelah keliling dari kafe ke kafe, tibalah ia di kafe no. 30 yang berhias bambu-bambu panjang, ViaVia. Di sana, sudah ada rombongan Rujan ber-blues ria dengan petikan gitar mengalir ritmis kadang deras seperti curah hujan. Rujan beraksi di depan sekelompok orang yang menunggu kawan mereka—tampak dari cara mereka menyatukan dua meja.
Palrus pun menunggu rekan sesama pengamennya itu hingga selesai. Sesama pengamen adalah bus kota: dilarang saling salip! Jika Rujan selesai, ada jeda sebentar, lalu Palrus gantian memetik gitarnya membawakan tembang dolanan.
Tapi malam itu, saat rombongan Rujan memetik gitar, mendaras drum dan tetabuhan, Palrus menangkap kesan buruk; seolah angin santer di luar. Tepat ketika nomor Bob Dylan mengalir di awang-awang, serombongan orang—empat atau lima—muncul dari depan. Mereka langsung menuju meja yang disatukan itu. Seorang di antaranya bule berkacamata, tampak masam wajahnya. Sementara mereka yang menunggu berdiri menyambut, ditandai sapaan hangat laki-laki berambut gimbal ala pemuja regee Jamaika, “Hallo, Ben, senang berjumpa Anda!”
“Hi, Situmorang, penyair!” Ben balik menyapa laki-laki gimbal penuh tato itu.
“Ya, the next Chairil!” balas Si Gimbal, nyengir.
Laki-laki yang dipanggil Ben itu ikut nyengir, lantas memperkenalkan pasukannya. Situmorang pun memperkenalkan orang-orang yang duduk menunggu bersamanya seperti membaca daftar isi sebuah buku: seorang perempuan Jerman; seorang peneliti, seorang santri; serta pasangan penyair. Mereka saling bersalaman. Dan menuang bir.
“Cheers!”
“Ayo, Ben!”
“Ah, kupesan lemon tea saja. Sudah terlalu lelah untuk ngebir,” elak Ben.
Laki-laki di sisi Ben cekatan memanggil pelayan. Kemudian ia berkata seolah minta permakluman. “Dari Pacitan, kami langsung kemari, jadi memang agak lelah.”
Ben sendiri, sembari bersandar di kursi, masih merengut melihat aksi Si Rujan. Palrus paham pastilah ia benar-benar letih. Apalagi dari rambutnya yang putih seluruhnya dapat ditaksir usianya tak kurang di atas 70, meski posturnya besar berdegap. Jarak Pacitan-Jogja pun lumayan, sekitar empat jam melewati Pegunungan Sewu yang penuh tikungan tajam. Itu Palrus tahu. Tapi ketika Rujan selesai dan seorang rekannya berkeliling menyodorkan kantong kulit, Si Ben masih tak simpatik, barulah Palrus benar-benar merasa tak nyaman. Terlebih dari pojok ruangan, Palrus dengar celetukan Ben, “Bikin sumpek!”
Itu seperti penegasan bahwa Si Ben memang tak senang pada pengamen. Palrus sempat berpikir membatalkan penampilannya. Tapi, ah, peduli demit! Rasa kesal, juga solidaritas, membuatnya memutuskan harus tampil. Ya, sebagai pengamen yang pernah mengukur jalanan Jogja dan kota-kota di Jawa, Palrus punya solidaritas tinggi. Karena itulah dulu ia bergabung dengan Kelompok Tabaah—advokasi arus bawah yang memperjuangkan KTP untuk anak jalanan.
Tanpa pikir panjang, Palrus buat intro, “Permisi Sedulur, saya akan bawakan tembang dolanan dari Menoreh…” Dan, jreng, ia petik gitarnya. Di luar dugaan, Si Ben malah tampak tenang. Mungkin karena pengamennya sendirian atau lagu-lagunya eksotik, tak bikin ribut. Entah. Palrus menarik napas lega. Bahkan ketika bernyanyi (atau menembang?), ia sempat menguping orang-orang di sekeliling Ben. Beberapa ia ingat sampai sekarang.
“Kami menginap di rumah kritikus sastra.”
“Kritikus? Siapa?”
“Astrid. Astrid Wijaya.”
“Hmmm…” Si Gimbal bergumam.
“Hehhehe…” Si Santri mesam-mesem.
Kemudian terdengar kalimat pamungkas yang paling Palrus ingat:
“Di Pacitan kami tak mampir ke gua-guanya,” kata seorang laki-laki bertopi laken, seolah ia jadi penyambung lidah Ben. “Di pantai pun berendam sebentar. Kami terlalu asyik menyusuri sebuah kompleks pemakaman umum yang mencampurkan nisan orang Islam dan orang Kristen. Itu unik sekali. Si Om tergoda dibuatnya, padahal ia lagi kasak-kusuk nyusun otobiografi …”
“Bagaimanapun kuburan adalah ending otobiografi yang tak dituliskan,” sela Si Om seolah berdiplomasi. “Tapi Om kudu menulisken, setelah episode jumpa Tjamboek Berdoeri…”
Bertepatan dengan itu, Palrus selesai. Sambil mengelilingkan topinya, ia nekad berujar, “Kuburan campur, ya, Om, maaf lho, tak perlu jauh-jauh. Tuh, di Krapyak juga ada. Dekat pondok lagi! Terima kasih…”
Sesungguhnya dengan berkata begitu, Palrus ingin membalas perlakuan Si Ben kepada rekannya, Rujan. Orang-orang di meja melongo, tapi Palrus berlalu seperti aliran Kali Progo. Ia lanjutkan aksinya di kafe lain. Ketika kembali ke arah ViaVia, Palrus melihat rombongan Ben sudah pamit menuju mobil mereka. Palrus pun kembali ke tempatnya semula. Ia memang sering duduk di pojok ViaVia karena banyak kenal dengan karyawannya. Dari tempat duduknya, Palrus mendengar Si Gimbal meradang, begitu rombongan Ben hilang.
“Tak menduga, orang yang buku-bukunya keleen baca dan anggap dahsyat itu ternyata begitu. Dengar orang ngamen aja ia terganggu.” Rupanya bukan hanya Palrus yang menangkap ketaksenangan Si Ben tadi, si penyair juga. “Indonesianis itu mestinya tahu kayak apa kehidupan bawah bangsa rayuan pulau kelapa ini. Ngamen, anak jalanan, kenapa rupanya. Itu realitas kita.”
“Kali saja ia sudah tua, Bang,” sela si penyair muda, kalem.
“Justru itu! Kenyang pengalaman mestinya dia.”
“Apa ia terlalu lelah, Bang?” kata penyair perempuan yang lantas dipanggil Ida.
“Entahlah, Ida. Tapi peneliti dilarang capek. Begitu kan Poltak?”
Peneliti bernama Poltak mengangkat gelas tinggi-tinggi, “Horas, Lae!”
“Oya, tadi kudengar mereka nginap di rumah kritikus sastra… tak pernah kita dengar namanya. Siapa tadi?” bule Jerman mengerjap-ngerjapkan mata birunya.
“Astrid!” jawab Si Santri balas menepuk-nepuk sarungnya.
“Nah, Astrid kok kritikus!” sambar Si Gimbal. “Minum ajalah kita biar mampus…” Secara ironis ia teguk bir langsung dari botolnya, berlagak putus asa sekaligus menunjukkan cara menyerah yang elegan pada keadaan. “Oi, Mas, pinjam gitarnya bentar!”
Palrus bangkit melihat Si Gimbal melambainya. Ia ulurkan gitarnya tanda persahabatan. “Bagus tadi Mas-nya bilang ndak usah jauh-jauh ke Pacitan,” puji laki-laki itu sebelum akhirnya dengan nada sedih bernyanyi “Gereja Tua”. Palrus tersenyum, merasa telah bertindak tepat.
***
NAMUN di luar dugaan, selang sehari kemudian, Palrus mendapat telepon dari orang yang mengaku “sopir Om Ben selama di Jogja”. Ia minta ketemu. Palrus tak tahu dari mana orang itu dapat kontaknya. Ketika Palrus datang ke ViaVia—karena menyanggupi bertemu di sana—barulah ia tahu bahwa Darmadi, tukang parkir yang ia kenal, telah memberikan nomornya.
Di dalam kafe sudah menunggu laki-laki yang mengaku “sopir Om Ben” itu. Dan Om Ben telah ikut sekalian. Kali ini wajahnya cerah. Dalam stelan kemeja batik bergambar pesawat terbang dan celana pendek abu-abu polos, dia tampak segar-bugar. Rambut kapasnya yang rapi pantang terburai oleh kipas angin yang berputar di atasnya. Kantung mata lebar dan hidung besar pada parasnya mencuatkan kesan klasik para bangsawan.
Mereka bersalaman. “Saya Ben, you boleh panggil Om, Munyuk atau Si Bangsat.”
Palrus tertegun, merasa tak enak hati. Apa Si Bule tahu aksi solidaritasnya kemarin malam? Tapi sikap bersahabat laki-laki itu membuat Palrus jadi tenang. “Om saja deh.”
Om Ben tertawa. Ia gamit pundak Palrus dengan laku cepat akrab. “Mari sarapan dulu.”
“Kamsia, Om, saya sudah mampir di burjo,” Palrus mencoba berlagak enteng.
“Kalau gitu, kita ziarah sekarang?”
Palrus teringat kuburan campur yang pernah ia ucapkan, dan segera tahu inilah rupanya yang akan diteliti (atau ditagih?) Si Om. “Baik, Om, saya antar sekarang,” jawab Palrus cepat. Ia masih antara percaya dan tidak ketika mobil membawanya meluncur ke arah Krapyak.
Melewati Pondok Al-Munawwir, Om Ben minta berhenti sejenak. Dari kaca mobil yang dibuka, ia potret papan nama pesantren yang sudah tua itu.
“Semua bangunan pondok tampak baru, juga masjidnya yang diperbesar. Satu-satunya yang berani tua adalah plang namanya,” Om Ben seakan terharu. “Nah, itu ada yang lebih berani.” Ia menunjuk sebuah warung persis di depan pondok bertuliskan: Warung Sembako Buka Dikit Joss!
Klik! Itu pun dia sikat dengan kamera digital. Total jenderal tiga kali. Lantas mereka lanjutkan perjalanan. Lewat Kandang Menjangan, terloncat tanya Om Ben, “Bangunan apa ini?”
“Kandang Menjangan, Om, alias Panggung Krapyak. Tempat berburu Kanjeng Sultan.”
“O, seperti Monumen Arc de Triomphe, hanya lebih polos,” gumam Om Ben. Ia minta berhenti lagi, kali ini ia turun memotret dari beberapa sisi.
“Ini bagian sumbu imajiner, Om. Keraton-Tugu-Merapi-Panggung-Laut Selatan. Penghubungnya ya jalan ini, membentang lurus dari Keraton.”
“Jalan apa namanya?’’
“Jalan KH Ali Maksum, perintis pondok. Meskipun sudah melewati ringroad Selatan, namanya tetap sama sampai ke kampus ISI. Jadinya panjang sekali. Mungkin maksudnya supaya orang yang lewat selalu ingat ngaji.”
Om Ben tergelak. “Di mana ujungnya? Kok makin mengecil kayak ekor ular?”
“Begitulah, Om. Malah selepas ISI ujungnya belok ke kiri menyatu dengan Jalan Paris.”
“Nah, ternyata jalannya tidak lurus ke Laut Selatan!”
“Lurusnya kan imajiner, lewat sawah dan rumah-rumah,” gantian Palrus tergelak.
“O, betul juga! Memang kamu Menoreh Tjilik nan Tjerdik, MTT!” Om Ben ikut ngakak.
Tak lama sampailah mereka ke lokasi yang dituju: TPU Krapyak Wetan. Sebuah jalan tanah membentang di tengah kompleks yang luas. Berpagar setinggi separo badan, siapa saja yang lewat akan melihat deretan nisan dan salib bercampur tanpa batas di dalamnya. Selain nisan dan salib kecil-papa, yang tua hitam dikremus lumut atau patah digerus waktu, banyak pula kubah semi-raksasa dan tanda salib megah nangkring di bangunan porselin.
Palrus minta sopir menepi di jalan tanah, persis di tengah kompleks pemakaman. Aroma debu dan kembang setanggi berbaur di udara, merasuki rongga penciuman mereka.
“Waktu bujang saya tidur di sini,” Palrus menunjuk sebuah cungkup makam. “Rame. Ada yang bawa keluarga segala. Terang bulan kami bergitar di antara nisan. Latihan teater juga ada.”
Om Ben geleng-geleng kepala. Mimiknya jenaka. Di bawah sebatang kamboja ia menguarkan ketakjubannya. “Hmm, benar-benar ada, ya. Dekat pondok pesantren, ada kompleks makam isinya campuran palang dan bulan bintang…”
“Bukan hanya bulan-bintang, Om,” sahut Palrus. Ia mulai bisa mengikuti tingkah pola Om Ben yang nyeleneh, tapi dijamin cerdik cespleng. “Juga bumi yang diikat tali.”
“Ya, ya, tali wali songo. NU.”
“Juga matahari,” sahut si sopir pula, nimbrung.
“Hahaha, Muhammadiyah!”
“Tapi mangsud-ku menyebut bulan-bintang itu secara umum, ya, simbol Islam. Karena kalian anggap mozaik, maka bulan-bintang jadi Masyumi deh,” Om Ben tersenyum lebar. “It’s oke. Menarik. Sebuah kompleks makam diisi orang Masyumi, NU dan Muhammadiyah (“Moga Syiah juga,” gumamnya). Di sisi lain, ada Katolik dan Protestan. Intinya, di pemakaman umum, orang Indonesia justru bersatu!”
Tapi ia lalu tergelitik pertanyaan awam, “Apakah karena area makamnya sangat luas sehingga bebas berbaur? Kalau lokasinya sempit, apakah masih bisa berbagi?”
Dan Palrus, dari seorang awam kini mulai merasa sedang belajar, jadi tampak selalu siap. “Jangan khawatir, Om, kita lihat ke barat.”
Bertepatan dengan azan duhur yang mengalun melewati dahan kamboja, Palrus minta sopir memutari makam ke selatan, lalu berbelok ke barat. Tak lama mereka sampai di kompleks TPU Krapyak Kulon. Meski lokasinya sempit, tapi nisan dan tanda salibnya besar-besar seolah sayap yang akan membawa kompleks berpagar tembok itu terbang ke angkasa luar.
Om Ben puas. “MTT betul-betul top!” pujinya. Saking puasnya, Om Ben tak menolak diajak mampir ke angkringan. Mereka rayakan penemuan besar di warung wong cilik.
“Angkringan sekarang banyak buka siang,” ciloteh Si Sopir. Ia dan Palrus pesan kopi.
“Ya, ada pergeseran di mana-mana…” Om Ben maklum. Ia memesan teh tawar, setelah sedikit lagi berseloroh, “Toh tak ada wiski di sini.”
***
HABIS mengaso dengan sedap, siang itu juga tiga petualang tanggung itu meluncur ke makam Panembahan Senopati di Kota Gede. Di bawah rimbunan pohon sawo, mereka disambut juru kunci. Ada beberapa orang bersarung sedang duduk bisu di paseban, nglakoni lelaku. Setelah berbincang sebentar dengan juru kunci, Om Ben diizinkan masuk ke kompleks makam pendiri Mataram yang bertembok tebal itu. Apa yang membuat Om Ben nelangsa adalah melihat makam Ki Ageng Mangir yang separo kuburnya ada di luar, separo lagi di dalam. Itu karena jasadnya sebagian dianggap milik Mataram karena sudah menitiskan keturunan di rahim Putri Pembayun; namun bagaimanapun ia pemberontak yang berbahaya.
Ini mengingatkan Om Ben pada perjalanannya dulu ke makam raja-raja Imogiri. Waktu itu ia masih kuat menaiki ratusan anak tangga seakan menuju pintu langit. Sesampai di gerbang makam, seorang juru kunci memintanya dengan hormat supaya menginjak anak tangga terakhir yang ukurannya lebih lebar. “Silahkan injak, Tuan. Ini makam pengkhianat, Trunojoyo,” begitu kata Si Juru Kunci dingin.
Kini sekeluar dari makam Senopati, Om Ben pun berkeringat dingin. Palrus mengajaknya berhenti di teras Masjid Agung. Tapi mata Om Ben malah jelalatan ke mana-mana. Ia menyatakan senang pada arsitektur masjid yang tak berkubah, persis Masjid Demak berupa limasan Jawa. “Masjid Sultan Suriansyah di Banjarmasin juga begini, khas Nusantara,” katanya.
Tak lupa Om Ben meraba-raba kulit beduk. “Bayangkan kalau sapi hidup dicambuk tiap waktu salat, dijamin si sapi masuk surga,” canda Om Ben, kali ini sambil melongokkan kepala ke lubang beduk. Setelah agak lama clingak-clinguk, ia duduk lagi dengan wajah nyengir kuda. “Tahu ada apa di dalam? Corat-coret gundah, iseng, jatuh cintrong. Contohnya: I Love Kriwul.”
“Wah, itu mau diteliti juga? Dasar Si Om!” umpat sang sopir yang dari tadi banyak diam.
“Dasar Munyuk!” Om Ben membetulkan umpatan untuk dirinya sendiri.
Mereka tertawa bersama-sama.
“Ke mana kita sekarang?” tanya Om Ben akhirnya.
“Karena kadung lihat makam Ki Ageng, sekalian kita ke perdikannya, Om,” ajak Palrus.
Om Ben setuju. Mereka meluncur ke Mangir, di barat daya Bantul. Di sana mereka dapati petilasan Ki Ageng, hening sunyata di bawah pokok kepuh raksasa. Mangir memang ditumbuhi pohon-pohon tinggi menjulang seakan benteng tak bercelah. Tapi Om Ben menyebutnya, “Ini benteng tak bernama, hanya dapat ditembus oleh ketajaman tombak tjap lidah naga Baru Klenting. Artinya, hanya diplomasi yang membuat rombongan ledhek dari Kotagede diterima di Mangir. Dan kita tahu, di dalam rombongan itu ada Ki Juru Martani beserta Pembayun.”
Di belakang rumah penduduk mereka saksikan patung-patung berlumut, tergeletak kesepian. Di hutan bambu ada arca dan benda-benda purbakala dari kerasnya batu masa lalu. Pada sebuah arca Lingga-Yoni, Palrus diminta Om Ben memegang simbol terlarang itu, dan dipotretnya. Di tepi Kali Tempur—pertemuan Kali Progo, Gesikan dan Kalisoka—ada warung makan dengan menu khas Mangir, gudeg manggar. Itu gudeg berbahan mayang kelapa, konon resep warisan Putri Pembayun. Mereka santap dengan goreng ikan wader yang dijala langsung dari kali. Enak tenan. Uniknya, yang buka warung adalah suami istri asal Lamongan.
***
MASIH banyak yang ingin mereka kunjungi sebenarnya. Tapi kuasa Tuhan bekerja melalui waktu yang tak bisa ditawar. Tak terasa sudah rembang petang. Langit barat yang merendah telah memerah di seberang Kali Progo. Akhirnya Om Ben bilang kapan-kapan petualangan akan dimulai lagi. Palrus bahkan berniat mengajak Om Ben ke kampungnya di Pegunungan Menoreh, melihat jejak prajurit Diponegoro. Dan tak kalah penting: berburu durian. Om Ben tampak senang mendengar rencana itu, terlebih tawaran terakhir.
“Kalau soal durian, Om ini Munyuk-nya. Jangan dibantah lagi,” ia semangat. “Tapi, ya, apa bisa kita jumpa lagi? Saya sudah tua.” Semangat itu lalu dilonggarkannya sendiri, hati-hati.
“Kalau ada sumur di ladang pasti jumpa, Om. Dan di Menoreh banyak ladang dengan mata air melimpah melebihi sumur. Jangankan monyet, sapi pun bisa mandi di situ,” Palrus seperti bersyair, membuat Om Ben nyengir panjang makan angin.
Tak lama kemudian Om Ben berkata tenang, agak hikmat, “Yakinlah negara kalian negara besar, bukan hanya sejak dalam pikiran, bahkan sampai ke liang kubur. Buktinya, orang-orang dengan segala latar bisa damai dalam satu kompleks makam. Pastilah sedamai warga yang bisa sepakat menentukan tempat peristirahatan terakhir secara bersama-sama…”
Angin meriapkan pucuk-pucuk tebu. Om Ben mereguk semuanya dengan nikmat.
Lalu, dalam nada lirih ia seolah bicara pada dirinya sendiri, “Meski juga banyak soal dengan kuburan. Ki Ageng terkubur separo badan di luar, separo di dalam; Trunojoyo pahlawan bagi satu pihak, malah dimakamkan di bawah anak tangga oleh pihak lain; dan tak terhitung banyaknya kuburan masal 65 yang belum disentuh dan digali. Juga makam-makam lain yang tak bernama, dengan segala keasingannya.”
Tatapan Palrus dan Si Sopir menerawang lurus ke seberang.
“Tapi aneh, tiba-tiba Om ingin ikut terbaring dalam kuburan campur! Apa mungkin?” Kalimat itu menghambur bagai angin yang mendadak berhembus agak kencang.
Palrus tercengang. Tapi ia selalu siap. “Kenapa tidak, Om. Saya kenal kuncen-nya.”
“Tapi Om sudah teken pernyataan di depan notaris minta dilarung ke laut bila masanya tiba…” Nada itu bagai derit pilu pohon bambu digesek angin senjakala. Terasa suasana redup menyungkup seketika. Namun belum sempat kedua sahabat itu menyalakan kembali suasana ke sumbu riang-gembira, Om Ben sudah lebih dulu tertawa. “Sudah, jangan ambil pikir!”
Tapi Palrus tak bisa tidak memikirkannya. Bukan sekali ia mendengar ucapan demikian dari orang asing, baik spontan karena kagum, maupun sekadar guyon melepas penat perjalanan. Baginya, ucapan Om Ben terasa beda, dalam, tulus, terlihat dari rautnya yang tenang pasrah.
Dan itu benar adanya. Ketika Palrus dan Om Ben lama berpisah, Si Om mengiriminya kartu pos dengan bahasa (atau ejaan?) yang aneh:
“Menoreh Tjilik Tjerdik alias MTT, moga2 baik adanja. Dengen ini om sampaiken, djika usia om berachir, dan kontjo2 om di Djakarta enggan menanggapi permintaan om untuk berbaring dengen damai di makam tjampur—tampaknja akan begitu—bagaimana kalau Bung MTT sadja jang laksanaken maunya om? RIP di makam tjampur Krapyak Wetan, sedap nian.”
Palrus tak tahu ke mana mengirim balasan karena kartu pos itu tak beralamat. Maka ia menjawab dalam hati, sebagaimana ia bersiap memetik gitar setiap malam,”Jreng, siap, Om!”
***
SIAL! Om Ben sudah pergi. Palrus tercenung mendapati kenyataan bahwa abunya dilarung di Laut Jawa. Tiba-tiba ia ingat wasiat Om Ben. Wasiat? Apakah benar Ben Anderson telah berwasiat kepadanya? Palrus tak yakin. Tapi demi mengenang sepasang mata yang menyimpan sebuah keinginan, Palrus merasa ada pancaran redup yang tak kesampaian di sana.
Tapi, ah, sama saja, Palrus menghibur diri. Di Laut Jawa, di utara, atau tanah Krapyak di tepian Laut Selatan, ia sudah menyatu dengan negeri yang dicintainya. Negeri yang pernah disebut Om Ben, “Si Munyuk baik hati pengintip beduk dan pemburu durian” itu, sebagai “Bangsa yang tabah menerima segala tiba; dosa-dosa dan pahala merah-putihnya…” (*)
/Rumahlebah Jogjakarta, April 2016
Catatan:
Beberapa adegan, yakni melongok lubang beduk dan berfoto memegang lingga-yoni, serta opini tentang masjid tak berkubah, sesadar-sadarnya merujuk kenangan M. Iqbal, sobat muda Ben Anderson asal Banjarmasin, dalam sebuah catatan memorialnya.
RAUDAL TANJUNG BANUA, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, 19 Januari 1975. Tinggal di Jogjakarta. Bukunya, antara lain, Parang Tak Berulu (2005) dan Api Bawah Tanah (2013).
Leave a Reply