Mardi Luhung

Kunjungan

0
(0)

Cerpen Mardi Luhung (Jawa Pos, 05 Juni 2016)

Kunjungan ilustrasi Bagus

Kunjungan ilustrasi Bagus

Setiap malam dia mengunjungi rumahku. Rumah jejaka yang berumur 30 tahun ini. Dan saat mengunjungi, dia melompati pagar belakang. Masuk lewat jendela. Terus ke dapur. Di dapur, seperti biasa, dia membuka kulkas. Apa yang ingin diambilnya? Tak ada. Dia hanya menghitung-hitung, dan memilah-milah. Jika ada yang tertarik, dia pun mengambil terus menciuminya. Menimang-nimang. Sambil terpejam seperti orang berdoa. Berdoa untuk apel, sirsak, ikan, bayam, sawi, kangkung, dan juga segelas jus wortel yang selalu aku minum setiap pagi. Jus wortel yang berwarna merah tua. Jus wortel yang segar, sebab aku tambahi susu dan gula.

Lalu setelah puas, dia pun menuju kamar mandi. Gebyar-gebyur, gosok gigi, keramas, dan bersiul-siul. Gemericik air membuncah. Juga pancuran keran yang aku pasang agak tinggian menyemprot. Jika begini, rasanya, dia seperti pengembara yang tersesat selama berminggu-minggu. Pengembara yang ketika ketemu kamar mandi menjelma monster yang kerjanya mengaduk dan mengaduk air. Akibatnya, kamar mandi pun jadi berantakan. Seperti kapal oleng di tengah laut yang berbadai. Kapal oleng yang berwarna kelabu. Sebab terus-menerus dihantam ombak.

“Jangan berpaling!”

“Selamatkan apa yang bisa diselamatkan!”

“Awas, ada yang terseret lagi!”

“Apa dipikir, jika kapal sudah begini, kita menyerah?!”

“Tidak!”

“Ya, tidak, kita tidak boleh menyerah!”

“Sebab, kita adalah keturunan hiu campur kura-kura.”

“Jadi, mesti berumur panjang sekaligus nekat!”

“Tetap bertahan!”

Bla-bla-bla, begitu teriaknya dari dalam kamar mandi. Teriakan yang penuh semangat. Penuh perjuangan. Dan rasanya, saat ini, tak ada yang bisa aku lakukan, kecuali menunggu, dan menunggunya. Sambil sesekali tersenyum. Terus menduga, apa saat menyelamatkan kapal oleng itu dia tak merasa gugup. Jangan-jangan dia dulu bekas kapten kapal yang berpengalaman. Kapten kapal yang telah mengarungi tujuh lautan. Kapten kapal yang begitu mencintai kapal dan para awaknya. Dan kapten kapal yang setiap memasuki kedai minum di pelabuhan selalu disambut dengan yel-yel. Yel-yel para pelaut yang keras. Para pelaut yang tak pernah mundur, meski dihadang ombak setinggi gunung:

 

Kami datang dan segeralah minggir

Sebab kami adalah penguasa samudra

Kami berlayar dan terus berlayar

Ayo, tertawa sambil sedikit berdebar

 

***

 

“Bagaimana, puas?” sapaku ketika dia (seperti malam-malam kemarin) sudah duduk di depanku. Matanya sedikit digerak-gerakkan. Lalu tersenyum. Dan kami pun memulai percakapan. Tentu saja percakapan yang ada adalah percakapan yang setiap malam kami ulang-ulang. Dimulai dari uniknya permainan sekak, cuaca yang tak menentu, jalanan yang makin padat, berita kota yang simpang-siur, sampai pada pengalaman masing-masing yang telah terjalani. O ya, ketika menyinggung pengalamannya, terutama masalah percintaan, dia pasti menangis. Menangis sesunggukan.

Baca juga  Dimakan Si Kalap

“Aku tak pernah jatuh cinta. Aku tak pernah jatuh cinta. Aku ingin jatuh cinta,” begitu katanya. Dan seperti biasanya, dia pun menambah: “Kau tahu, seumur hidup, aku hanya begini. Masuk rumah orang. Keluar rumah orang. Sampai tak ada waktu untuk mengenal apa itu cinta.” Dia terus menutupi wajahnya dengan penuh kecewa. Aku cuma menatapnya. Sebab, aku tahu, sebentar lagi dia pasti akan melompat. Tap! Nemplok di jendela. Tap! Nemplok di pojok. Bahkan, sebelum kembali duduk, dia akan berjalan di sudut ruangan dengan cara yang tak lazim. Seperti berjalan miring di tembok. Atau berjalan terbalik dengan kaki menempel di langit-langit. Dan sambil berjalan seperti itu, dia tak lupa untuk bernyanyi. Nyanyian yang sudah aku kenal.

 

Oh, hidup tanpa cinta, tanpa cinta

Serasa kebun tak mengenal kembang

Segalanya begitu kosong dan sepi

Sesepi kuburan yang tak terawat

 

Nyanyian yang sengau sekaligus mengiris. Nyanyian yang hanya bisa dinyanyikan oleh siapa saja yang begitu kesepian dan terluka. Nyanyian yang membuat setiap pendengarnya jadi tercekat. Dan terlempar ke sebuah hamparan padang yang luas. Yang saking luasnya, tak akan diketahui mana titik akhirnya. Yang jelas, di hamparan padang itu, siapa saja akan menjadi tawanan. Tawanan yang membuat tatapan menjadi tanpa batas. Mana utara, barat, selatan, dan timur jadi mengabur. Dan mana awal, mana akhir, tumpang-tindih. Magis!

***

“Bolehkan aku besok berkunjung lagi?” Itu tanyanya ketika dirasa kunjungannya akan tuntas. Aku tersenyum. Dan kami pun berpelukan. Saat berpelukan ini, aku merasa bukan memeluk tubuh yang berdarah dan berdaging. Tapi semacam spons yang bisa aku tekuk sesukanya. Dan ini mengingatkanku pada masa kanakku. Pada masa ketika aku tidur selalu memeluk guling. Dan lewat guling itulah aku bisa memanjakan semua khayalku. Menjadikan guling sebagai kuda-kudaan atau pohon-pohonan, atau juga sansak-sansakan. Terserah. Dan lewat semua khayalku itu aku berbahagia. Sampai-sampai aku tak mau keluar kamar.

Semua ketukan dan panggilan aku abaikan. Sedangkan makanan dan minuman untukku aku pinta agar diletakkan di depan pintu kamar. Lalu diam-diam aku akan mengambilnya. Dan anehnya, untuk urusan buang air (baik besar atau kecil), hanya aku lakukan di tengah malam. Ketika ayah-ibuku sudah tidur. Dan ketika, dengan menekuk guling seperti kudakudaan, aku pergi ke kamar mandi. Sambil membayangkan, jika saat itu aku adalah ksatria kecil yang sedang memasuki benteng musuh. Musuh yang jahat. Musuh yang hanya dapat dikalahkan oleh pukulan tangan kiri. Pukulan yang mampu mengeluarkan sinar laser. Yang dapat untuk aku liuk-liukkan.

Baca juga  Di Rumah Jagal, Sitinjau Laut, Ketika Rinai Sakit, dan Lainnya

“Lihat ini, hai, makhluk jahat.”

“Ciat, zlub, bug.”

“Wah, kau tak menyerah.”

“Apa? Mengelak. Tidak, lihat ini.”

“Ciat, zlub, bug.”

“Qrtsce?”

“Qrzstrqraz555zzzz!”

“He he he, mampuslah kau. Eit, bangkit lagi.”

“Qrzstrqraz555zzzz!”

“He he he…”

Tapi, anehnya, kebahagianku itu malah membuat ayah-ibuku kelabakan. Lalu mengajak aku ke seorang dokter. Dokter yang wajahnya serius. Wajah yang mengingatkanku pada wajah bajak laut di komik-komik. Wajah bajak laut yang punya mata picek sebelah. Atau kaki buntung sebelah. Dan ada burung betet yang bertengger di bahu kirinya. Aku ngeri. Ingin lari tapi ayah-ibuku menahan. Kata ibuku: “Hayo, Nak, mau ke mana, itu Pak Dokter, beri salam…”

Hiii, sekali lagi aku ngeri. Keringatku menderas. Antara sadar dan tidak, aku merasa itu adalah peristiwa yang paling menancap di pikiran. Sebab, sejak itu, tiap sebulan sekali aku mesti berkunjung ke Pak Dokter. Dan kunjungan baru habis ketika aku menginjak kelas 3 SD.

***

“Hei, bolehkan aku besok berkunjung lagi?” Itu tanyanya lagi. Memang, setiap kami bertemu, selalu saja dia mengulang pertanyaan itu dua kali. Lalu melepaskan pelukannya. Dan seperti makhluk-jejadian yang tak terduga, dia pun mengubah wujud tubuhnya. “Lihat ini,” katanya. Dan wujud tubuhnya yang semula manusia, berubah menjadi pohon ungu. Pohon ungu dengan daun-daun dan buah-buah yang juga ungu. “Atau ini,” katanya kembali. Dan kembali pula wujud tubuhnya (yang pohon itu), berubah menjadi sapi berbelalai, lalu menjadi burung hantu berkepala dua, roti tambun yang bisa ngomong, sepeda yang bisa berjalan sendiri, orang jompo yang berbulu lebat, panci raksasa yang berdenyut… Ya, banyak sekali perubahan wujud tubuhnya.

Dan itu memang dilakukannya agar aku bisa tertawa. Tertawa terpingkal-pingkal. Yang saking terpingkalnya sampai terlentang sambil memegangi perut. Seperti terlentangnya si badut yang pernah aku tonton di sebuah sirkus kampung. Si badut yang bersepatu gede dengan riasan wajah yang menor. Si badut, yang ketika di suatu pagi (yang celakanya masih bersepatu dan berias), ditemukan menggelosor di sebelah tenda sirkus. Kata orang, si badut mabuk. Dan ini terjadi karena istri dan anak semata wayangnya telah meninggalkan dirinya. Padahal, si badut rindu pada keduanya. Rindu setengah mampus. Tapi apa daya, segalanya tak mungkin untuk kembali lagi.

Baca juga  Membaca Almanak

“Oke, silakan, besok berkunjung lagi, ya,” jawabku enteng. Jawaban yang juga selalu aku ulang setiap malam. Nah, pada saat jawaban ini aku lontarkan, aku melihat dia tersenyum. Tersenyum rupawan. Dan wujud tubuhnya yang sudah kembali ke manusia itu tiba-tiba melesat. Hup! Dia menerobos genting rumahku. Genting rumahku bobol. Aku menatapnya. Terus memburunya keluar. Di atas rumah aku melihat dia kini melayang. Subuh yang akan menjelang, pun membayang di belakang punggungnya. “Tunggulah, besok malam kita bertemu lagi,” teriaknya, terus meluncur ke ketinggian. Dan aku cuma menatap, menatap, dan menatapnya sampai lenyap. Sampai aku kembali terjaga.

Seperti biasanya (seperti malam-malam kemarin), rumahku pun kembali sediakala. Tak ada kamar mandi yang berantakan. Tak ada genting yang bobol. Dan tak ada ini-itu yang bertebaran. Semuanya berada di tempatnya. Rapi dan bersih. Lalu, aku pun memasuki kamarku. Menuju meja. Menyeret kursi. Terus duduk. Apa yang akan aku lakukan? Apakah seperti yang aku rencanakan, menulis apa yang aku alami selama ini? Menulis kisah tentang kunjungannya yang aneh itu? Tapi jika aku tulis, apa dia tidak marah? Padahal, selama ini, di sela-sela percakapan, selalu dikatakannya: “Jangan kau tulis apa pun, jangan kau tulis apa pun tentang kunjunganku ini.” Kunjungan yang sudah hampir setahun. Sejak kematian mendadak ayah-ibuku. Dan sejak aku hidup dalam kesendirian. Tanpa sanak-saudara. (*)

 

 

MARDI LUHUNG lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Buku puisi tunggalnya Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007), Buwun (2010), Belajar Bersepeda (2012), Musim, Jarum dan Baskom (2015), dan Teras Mardi (2015). Mengikuti Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dalam Bidang Puisi (2002), Cakrawala Sastra Indonesia (2004), International Literary Biennale di Salihara (2005 dan 2013), serta diundang dalam Festival Kesenian Yogyakarta XVIII/2006. Tahun 2010 mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award. Sedangkan kumpulan cerpen pertamanya: Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011).

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Azad avairst

    Ah dasar mardiluhung… Ngayalnya kemana2… Tp asik…. :p

Leave a Reply

error: Content is protected !!