Cerpen Y Agusta Akhir (Koran Tempo, 14 November 2021)
EMPAT puluh hari sebelum melihat dua gumpal cahaya aneh saling serang itu, setelah melakukan ritual persetubuhan yang gaduh sebagaimana biasa, yang sesekali terdengar lenguh dan dengus babi liar, Kalakanji berkata kepada perempuan itu, “Setelah ini, tak akan ada lagi diriku menemuimu, Nyai!”
Perempuan itu tersentak, dan seketika wajahnya yang semula semringah, mendadak berubah penuh amarah. Matanya yang bening menjelma keruh, lalu merah menyala. Belum pernah Kalakanji melihat yang serupa itu.
“Maka tunggulah empat puluh hari lagi, Kalakanji!” kata perempuan itu, “Kematianmu akan tiba, dan kau akan menjadi abdiku selamanya!”
Betapa suara itu menggelegar, lalu terdengar dengus panjang yang menggetarkan. Tetapi bukan itu yang membuatnya risau. Bukan pula perihal kematiannya, melainkan kalimat terakhir yang diucapkan perempuan itu. Aku tak akan pernah sudi mengabdi kepada bangsa siluman! Ia berkata dalam hati.
Wajah perempuan itu perlahan-lahan berubah. Mula-mula hidung dan mulutnya memanjang, lalu keluar dua taring, juga kedua mata yang masih merah menyala itu, kemudian bentuk kepalanya, telinganya memanjang, melebar, dan lancip di ujung. Sempurna menjadi kepala seekor babi. Selanjutnya adalah tubuhnya, yang menggelembung perlahan, menghitam, dan tumbuh bulu-bulu mirip ijuk. Juga tangan dan kakinya, telah berubah menjadi kaki-kaki babi. Kali ini Kalakanji bergidik campur jijik. “Beginilah wujud sesungguhnya perempuan yang kusetubuhi selama ini!” Setengah mati Kalakanji menahan dorongan ingin muntah.
Mata merah babi sebesar kerbau itu menatap tajam pada Kalakanji. Itu adalah tatapan ancaman, pikirnya. Sesaat kemudian, babi siluman tersebut berpaling dan kemudian berjalan menjauh sebelum akhirnya perlahan menghilang dalam kegelapan.
Kalakanji pulang dengan sisa risau perihal kematiannya kelak, lantaran arwahnya bakal jadi pengikut siluman babi tersebut. Namun, sejak itu, ia tak melakukan ngepet lagi. Tak ingin ambil harta milik orang dengan jalan menjelma babi.
***
Sekarang sudah hari ke-27. Itu berarti tiga belas hari lagi, dirinya bakal menghadapi kematian. Setidaknya, itulah ancaman siluman babi. Ia tak tahu, bagaimana siluman laknat itu akan merenggut nyawanya. “Apakah mungkin seperti anakku, yang celaka tak seberapa, tetapi kematiannya begitu tragis?”
Anak semata wayangnya memang mati, dan Kalakanji menduga itu ulah siluman babi. Pendeknya, bocah malang itu menjadi tumbal. Itu terjadi di satu sore, sebelas hari sebelum Kalakanji datang ke makam di bawah pohon besar untuk melakukan ritual persetubuhan dengan perempuan jelmaan siluman babi. Kepala anak itu remuk dan beberapa tulang patah setelah sepeda yang ditungganginya menabrak tembok rumah milik tetangga. Kalakanji nyaris semaput melihat kejadian tersebut. Berhari-hari setelahnya, ia banyak merenungi kematian anaknya. Ia merasa kematian itu tak wajar. Anakku tak mungkin mati dengan keadaan semengerikan itu hanya karena menabrak dinding. Toh, sepeda itu melaju pelan, pikirnya. Ia sangat yakin kalau anaknya dijadikan tumbal siluman yang bahkan dipujanya selama ini. Itulah yang sangat disesalinya.
Itu terjadi sekitar tiga tahun lalu, di masa-masa sengsara menderanya tanpa ampun, nyaris membuatnya putus asa. Ia sering bepergian tanpa tujuan demi menyamarkan dirinya yang lebih sering nganggur. Hingga pada suatu hari, ia menemukan kuburan tak bertuan, tanpa nama, tak terawat, di bawah pohon besar dan rindang yang juga tak ia ketahui namanya. Tempat itu, begitu wingit, tetapi Kalakanji merasa senang berada di sana. Dan jadilah ia sering mengunjunginya, sekadar tetirah, berdiam diri berjam-jam, dan tak jarang sampai pulas tertidur.
Suatu hari, ia mendengar seseorang seperti membisik di dekat telinganya: “Bangunlah, buka matamu. Apa yang kau kehendaki?”
Ia terkejut, tetapi sesaat kemudian menyahut dengan suara terbata, “Aku ingin kaya!” Tiga kali ia mengatakan itu, seolah tak mendengar kata-katanya sendiri.
Perempuan itu tertawa. Lalu mengatakan kalau dia bisa membantunya dengan syarat meminum darah segar serta menyetubuhinya setiap empat puluh hari sekali.
“Baik, Nyai!” katanya tanpa pikir panjang. “Demi mengubah hidupku, saya bersedia memenuhi syarat itu, Nyai!”
Itu bukan syarat yang berat, pikir Kalakanji. Meminum darah, seumur hidup belum pernah dilakukannya. Tetapi itu bukan hal yang sulit demi keberlimpahan harta. Demi anak dan istrinya. Mengenai menyetubuhi perempuan itu, dengan senang hati ia menerimanya.
Tetapi tebersit di benak perihal tumbal. Ia pernah mendengar bahwa urusan macam begitu selalu membutuhkan tumbal. Itulah kenapa ia menanyakannya kepada perempuan yang dipanggilnya “Nyai” itu.
“Tidak ada, Kalakanji. Kau hanya akan berubah menjadi babi setiap hendak mengambil harta-harta itu. Ambil harta yang kau kehendaki di malam hari. Gesek-gesekkan tubuhmu di tembok rumah orang itu, dan kau akan mendapat apa yang kau inginkan!”
Kalakanji mengangguk. Ia pulang dengan hati bungah, karena segera terbayang hidupnya dilimpahi kekayaan.
Dan sejak ia menjalankan lelaku minum semangkuk darah dan menyetubuhi perempuan itu, perlahan hidupnya berubah. Kekayaan mulai mendatanginya seiring dengan berjalannya waktu. Tentu setelah ia menjelma seekor babi di hampir setiap malam, lalu mengambil harta benda orang-orang kaya dengan cara sebagaimana yang diberitahukan perempuan itu kepadanya.
Anehnya, setiap beraksi, Kalakanji tak merasa seperti babi. Namun tidak bagi orang lain yang melihatnya. Mereka melihatnya sebagai seekor babi dan segera mencurigainya babi ngepet. Itulah kenapa, setiap melakukan aksinya, ia harus bersembunyi menghindari perjumpaan dengan orang lain. Namun tak jarang ia kepergok, diteriaki sebagai babi ngepet. Tetapi ia selalu saja bisa lolos dari kejaran mereka.
Sekarang Kalakanji menyesal. Ia merasa dibohongi perempuan jelmaan siluman babi itu. Sekarang pikirannya diusik oleh bayangan kematiannya yang mungkin terkutuk. Dan arwahnya menjadi pengikut siluman babi. Ia tak mau jadi pengikut siluman babi. Satu-satunya jalan adalah menemui Kiai Kasan, pikir Kalakanji.
Sudah lama Kalakanji mendengar kalau Kiai Kasan memiliki karomah. Sebagaimana sering dibincangkan banyak orang, Kiai Kasan pergi ke Mekah hanya dengan sekejap mata, pernah berjalan di tengah rel, padahal di belakangnya melaju kereta api dengan kecepatan tinggi, namun ajaibnya kereta tersebut tak juga bisa mendahului Kiai Kasan yang hanya berjalan pelan.
Selepas isya, Kalakanji menemui Kiai Kasan. Tetapi, demi melihat dirinya, orang tua itu sedikit kaget lantaran yang dilihatnya adalah seseorang berkepala babi. Tetapi kaget yang sempat menggurat di wajahnya segera sirna disapu senyum yang ramah dan meneduhkan. Ada perasaan adem menyelinap ke dalam hati Kalakanji.
Mereka berbincang di ruang tamu. Dan setelah bercerita perihal dirinya dan siluman babi, Kalakanji bertanya, “Apakah Tuhan bersedia mengampuni dosa-dosaku, Kiai?”
Lelaki yang seluruh rambutnya putih, namun wajahnya yang semringah senantiasa itu, hanya menyungging senyum, kemudian berkata, “Tuhan Maha Pengampun. Tak ada alasan Tuhan tak memberi ampun kepada hambanya yang bertaubat!”
Tubuh Kalakanji mendadak gemetar hebat. Butiran keringat keluar dan menetes dari sela pori-porinya. Ia ambruk dan bersimpuh di kaki Kiai Kasan. Orang tua itu kemudian mengusap kepala Kalakanji, dan mulutnya merapal doa. Wujud babi yang sempat terlihat tadi perlahan sirna.
“Bangkitlah!”
Kalakanji bangkit dan kembali duduk seperti semula.
Kiai Kasan memungkasi perbincangan tersebut dengan bercerita perihal berandal yang sudah membunuh seratus orang, tetapi masih mendapat kesempatan masuk surga, lantaran menyesali perbuatannya dan ingin bertaubat. Namun, di tengah perjalanan saat hendak menemui seorang alim ulama yang sedianya bakal memberinya pencerahan, ternyata dia sudah lebih dulu dijemput maut.
Kalakanji mengangguk, mengerti.
Sebelum mohon diri, ia sempat mengatakan bahwa beberapa hari lagi dirinya akan mati dan arwahnya menjadi pengikut siluman babi.
Kiai Kasan tersenyum, lalu berkata, “Hidup dan mati itu urusan Tuhan. Kalau memang pada hari itu kau sudah ditetapkan Tuhan bakal mati, tak ada satu kekuatan pun yang mampu mencegahnya. Sebaliknya, kalau Tuhan tak menakdirkanmu mati di hari itu, kau tak akan mati, walaupun ada kekuatan yang dahsyat hendak merenggut nyawamu!”
“Tapi, seandainya saya ditakdirkan mati, bagaimana dengan arwah saya yang bakal menjadi pengikut siluman itu, Kiai?”
Kiai Kasan menderaikan tawa lirih. Lalu meyakinkan Kalakanji kalau tak ada yang perlu dikhawatirkan perihal arwah. “Serahkan kepada Gustiallah!”
Kalakanji mengangguk-anggukkan kepala. Ia mencium tangan Kiai Kasan sebelum akhirnya mohon diri dengan hati yang jauh lebih tenang.
***
Di hari keempat puluh sejak persetubuhannya dengan siluman babi yang terakhir itu, ia merasa aneh lantaran melihat dua gumpal cahaya melayang-layang di langit-langit rumahnya. Satu cahaya berwarna putih, dan yang lainnya berwarna hitam. Agaknya kedua cahaya itu sedang bertarung, saling menerjang, saling menikam. Ia mendengar suara riuh dan gaduh. Dengus yang menggetarkan. Lenguh yang panjang. Gumpalan cahaya hitam semakin kentara menyerupai bayangan babi sebelum berpendaran dan sirna. Cahaya putih menjelma sosok Kiai Kasan, yang kemudian duduk di antara orang-orang yang sudah dikenalnya. Kalakanji heran, ternyata ada banyak orang di rumahnya. Tetapi yang membuatnya tersentak adalah sosok yang terbaring tepat di tengah-tengah mereka. Ia merasa sangat mengenalinya. Tentu saja, sosok itu tak lain adalah dirinya sendiri. Saat itulah ia menyadari, tubuhnya begitu ringan, melayang-layang di atap rumahnya. ***
.
.
Y Agusta Akhir aktif di komunitas sastra Kawan Semua Solo dan sekitarnya. Ia menulis puisi, cerpen, dan novel. Beberapa karyanya pernah dimuat di media, baik lokal maupun nasional. Novel pertamanya, Requiem Musim Gugur (Grasindo, 2013). Novel Kita Tak Pernah Tahu ke Manakah Burung-burung Itu Terbang terpilih sebagai pemenang ketiga sayembara novel yang diadakan penerbit UNSA Press pada 2017.
.
.
Leave a Reply