Cerpen Mutia A Nst (Waspada, 14 November 2021)
KATAMU kita tak akan terpisahkan. Katamu kita utuh satu, lantas mengapa kau tega pergi dan tak kan pernah kembali lagi? Itulah kau, begitu takabur kepada Tuhan. Enak betul kau mencicipi surga duluan.
***
Dokter berambut tipis itu menggelengkan kepala.
“Maaf, Pak, Bu. Mungkin lain kali jangan menyerah ya!” Ucapnya memberi semangat.
Segaris senyuman tergambar di wajah Arka namun tidak dengan istri tercintanya Zivania. Wajah perempuan bertubuh kurus itu layu sekali.
Arka mendekap erat bahu Zivania yang lemah itu.
“Semangat, Sayang, kita pasti bisa!” Ujar Arka memotivasi sang istri.
“Kami pamit ya, Dok.” Arka memapah istrinya keluar ruangan dokter langganan mereka spesialis kandungan itu.
Suami istri itu tidak langsung keluar. Mereka duduk sejenak di bangku sudut rumah sakit.
Air mata Ziva panggilan akrab wanita berkulit putih itu perlahan menetes di pipi.
“Sebenarnya Tuhan hendak menguji kita sampai mana sih mas?” Tangis Ziva terisak-isak.
“Hus. Tidak baik berkata demikian, nanti Tuhan marah dan menegur kita,” tegur Arka.
“Bukankah kita memang sedang ditegur ini? Kita sok-sokan mau menunda dulu dengan alasan karir. Alhasil Tuhan benar-benar menunda sampai saat kita benar-benar siap dan ingin punya momongan.”
Arka membelai rambut wanita yang sudah membersamainya dari nol itu.
“Jangan pernah sekalipun menghakimi apalagi berprasangka buruk kepada sang Maha Pencipta, Sayang. Kita tidak tahu kejutan apa yang tengah disiapkan untuk kita di masa yang akan datang. Tugas kita hanya berdoa dan berusaha.”
Ziva menghapus air matanya. Untungnya wanita ini mudah diberi motivasi semangat meskipun mudah juga untuk bersedih.
Pasangan suami istri itu bangkit dari tempat duduknya. Mereka beranjak meninggalkan rumah sakit menuju rumah mereka.
Keesokan paginya di kantor.
Sebagai seorang pimpinan di kantor, Ziva selalu berusaha memberi contoh teladan kepada para anggotanya salah satunya yaitu dengan datang tepat waktu ke kantor.
“Selamat pagi, Bu.” Sapa salah seorang pegawai.
Ziva menganggukkan kepala. “Pagi!”
Seorang pegawai wanita datang dengan nafas terengah-engah. Keringat bercucuran dari wajahnya.
Ziva melirik jam tangannya, sedang sang pegawai gemetar ketakutan akan di sidang oleh pimpinannya yang tegas itu.
“Se… selamat pagi, Bu. Maaf saya terlambat.” Wanita itu terus menunduk tak berani menatap Ziva.
“Pagi. Kamu tahu ini jam berapa? Mengapa kamu terlambat?”
Seketika ruangan menjadi hening. Beberapa pegawai saling curi-curi pandang tidak berani berkomentar dan tak mungkin bisa menolong teman mereka yang tengah di sidang oleh pimpinan mereka.
“Maafkan saya, Bu. Tadi saya harus menyiapkan stok asi buat bayi saya, makanya terlambat. Bayi saya pun tadi rewel sekali seperti enggan saya tinggal.”
Raut wajah Ziva semakin dingin. Wanita bertubuh langsing itu membalikkan badannya.
“Sesuai peraturan kamu tetap harus diproses. Lain kali jangan terlambat.” Derap langkah Ziva meninggalkan pegawainya yang terlambat.
Setelah Ziva melangkah jauh, salah seorang pegawai wanita mendekat.
“Hei kenapa bayimu kau jadikan alasan? Kau tahu persis kan Bu Ziva sangat ingin punya anak. Kau tidak memikirkan perasaannya?”
Wanita yang datang terlambat itu diam dengan tanpa merasa bersalah melangkah cantik ke meja kerjanya dan dengan santai berkata.
“Loh aku kan tidak berbohong. Bayiku memang rewel sekali tadi dan bukan salahku lah Bu Ziva belum punya anak. Biar dia tahu bahwa jadi Ibu itu sangat repot pagi-pagi, kalau dia punya perasaan pasti dia akan memaafkanku.”
Pegawai wanita yang memperingatkan temannya itu hanya terdiam dan menggelengkan kepala. Sementara di kejauhan air mata Ziva menetes lagi mendengar ucapan pedas bawahannya itu.
Malam harinya di rumah.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam sementara Ziva masih sibuk dengan laporannya.
“Sayang, istirahatlah tidak baik untuk kesehatanmu,” pinta Arka.
Ziva merenggangkan lengannya menutup laptopnya dan bangkit dari kursi. Namun ketika Ziva berdiri tiba-tiba kepalanya pusing. Seisi kamar berputar di kepalanya. Ia tidak kuat kemudian pingsan. Arka yang panik membawa Ziva ke rumah sakit.
Ziva masih memegangi kepalanya yang sakit saat dokter menyalami tangan suaminya.
“Selamat ya, Pak, Bu. Kalian akan menjadi orangtua.” Dokter itu memberikan hasil pemeriksaan Ziva.
Seolah tak percaya Arka dan Ziva membaca selembar kertas putih itu dan mendapati tulisan bahwa Ziva dinyatakan hamil.
Arka dan Ziva berurai air mata bahagia. Keduanya saling berpelukan dan sujud syukur di lantai rumah sakit berterimakasih karena akhirnya Allah memberikan mereka kesempatan untuk menjadi orang tua.
Minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tak terasa Zivania sudah melahirkan putri mereka yang begitu cantik dan lucu. Ziva tetap bekerja seperti biasa dan hebatnya ia bisa datang tepat waktu. Hal ini membuat pegawainya yang dulu ia tegur sangat malu dan minta maaf.
“Bu, maafkan saya. Maafkan keterlambatan saya ke kantor dan menjadikan anak sebagai alasan. Saya salut sama Ibu bisa datang tepat waktu padahal sudah punya bayi,” ujar sang pegawai dengan penuh sesal.
Ziva menepuk hangat bahu pegawainya itu.
“Tidak apa-apa. Ini semua hanya soal management waktu saja. Pandai-pandailah membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga.”
Tak berapa lama ponsel Ziva berdering. Sebuah nomor yang tidak dikenal masuk.
“Halo selamat siang.”
“Siang ini dari rumah sakit Cahaya. Suami Ibu mengalami kecelakaan dan sekarang sedang sekarat. Tolong segera kemari.”
Bak disambar petir di siang bolong, Ziva terkejut dan segera berlari ke rumah sakit.
Sesampainya di sana ia melihat banyak tenaga kesehatan tengah berjuang menyelamatkan nyawa Arka. Segala macam peralatan juga dipasangi di tubuh lelaki yang baru saja menjadi seorang Ayah itu.
Di kejauhan Ziva menangis histeris berdoa agar Arka selamat.
Tak berapa lama para tenaga kesehatan berhenti melakukan tindakan. Mereka mencopoti segala peralatan dari tubuh Arka. Ziva yang melihat hal tersebut semakin histeris dan menerobos masuk ke dalam.
Ziva memeluk tubuh Arka dan memegangi tangan suaminya yang mulai dingin itu.
“Jangan pergi, Sayang, jangan! Jangan tinggalkan aku dan putri kita sendiri. Kita sudah berjuang sampai sejauh ini. Jangan ke surga tanpa aku!”
Tangan Ziva tak henti memegangi jemari Arka. Tangan kanan Arka perlahan bergerak mengelap air mata Ziva. Ziva tersontak dan menatap wajah suami tercintanya itu. Sebuah senyuman mengembang di wajah Arka kemudian satu per satu nafas Arka mulai habis.
Dengan berat dan masih dengan penuh tangisan Ziva memandu lafaz La ila illaulah ke telinga Arka diikuti Arka dengan nafasnya yang tinggal satu-satu.
Tangan Arka pun terkapar tak berdaya menandakan ia telah pergi untuk selamanya. Sontak Ziva histeris kencang mendapati suaminya telah pergi setelah perjuangan dan cita-cita mereka untuk punya anak telah tercapai. Ternyata kejutan yang pernah Arka katakan adalah kepergiannya untuk selamanya dengan putri kecil mereka sebagai penggantinya. ***
.
.Kejutan Berupa Kepergian. Kejutan Berupa Kepergian. Kejutan Berupa Kepergian. Kejutan Berupa Kepergian.
Leave a Reply