Cerpen Reni Asih Widiyastuti (Radar Kediri, 14 November 2021)
HUJAN yang turun sejak tadi membuat lelaki 40-an tahun itu makin resah.
“Entah mengapa air dari gumpalan awan di langit tak kunjung berhenti mengguyur bumi,” rutuk hatinya.
Lelaki itu berdiri di bawah Pohon Angsana yang bunga-bunganya telah jatuh ke tanah, tersapu air hujan. Matanya tak habis menatap hingga tergiring ke sebuah kali kecil. Sementara tangannya tak lepas menggenggam sebuah kotak kardus yang hendak diberikan kepada putra bungsunya.
Kotak kardus tersebut berisi sesuatu yang ia harap dapat menyenangkan hati putranya. Mengingat bahwa tempo hari, nilai ulangan putranya sangat memuaskan. Sebagai bukti janji kepada diri sendiri, ia akan memberikan sesuatu yang sangat berharga atas pencapaian putranya itu.
Lelaki itu telah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, supaya sesuatu itu dapat terbeli. Namun, apa mau dikata. Ketika wajahnya satu jam yang lalu telah semringah, mendadak harus keruh sekeruh air hujan yang menempa tanah di depannya. Sebab, langit terus saja menangis, membuat pertemuan dengan putranya tersendat di tengah jalan.
Dapat ia bayangkan wajah putra bungsunya yang tak sabar menanti kedatangannya sambil mengangkat kotak kardus itu ke udara. Pasti tangan mungil putranya itu akan berusaha menggapai. Lalu dengan secepat kilat ia akan semakin meninggikan kotak kardus itu.
Seperti yang sudah-sudah, ketika setiap kali ia membelikan sesuatu, putra bungsunya itu kelewat senang. Yang tentu juga diikuti wajah-wajah melengos dari kedua kakaknya. Kakaknya selalu iri jika Si Bungsu mendapatkan sesuatu yang baru.
“Terus saja Ayah belikan barang baru untuk dia! Sedangkan sepatu kita bahkan sampai butut tak pernah ganti!” seru kakaknya yang pertama.
“Ayah kan memang pilih kasih, Kak! Jadi percuma saja Kakak bilang begitu. Tidak ada pengaruhnya sama sekali!” imbuh kakaknya yang kedua.
Kedua kakaknya pasti berlalu setelah memaki dan berkata tidak sopan pada lelaki yang dipanggilnya ayah itu. Mata lelaki itu seketika mengembun, lalu ia mengusap lembut kepala Si Bungsu yang tengah meringkuk di pojok pintu. Berusaha menenangkan di sela-sela tangis Si Bungsu.
Bukan tanpa alasan kenapa ia terkesan lebih peduli dengan Si Bungsu. Sebab, beberapa tahun silam, ketika hujan deras menemaninya sepulang dari bekerja sebagai kuli bangunan, ia berutang nyawa dengan Si Bungsu.
Kala itu, langit tak henti-henti menangis. Namun, ia nekat menerjang hujan demi segera sampai di rumah. Terburu-buru, sampai ia terpeleset. Terpelanting cukup jauh dari sepeda ontelnya.
Berulang kali ia mengucap kata tolong, tapi tak ada seorang pun yang mendekat. Tiba-tiba, seorang anak kecil dengan tangan kanan memegang payung, datang untuk berusaha mengangkat tubuhnya. Tepat setelah itu, sebuah truk melintas dan hampir menyerempet kakinya.
Ia kemudian dipapah ke tepi jalan untuk berteduh. Beruntunglah ada halte bus. Ia duduk di sana. Sementara anak kecil itu kembali ke tengah jalan untuk mengambil sepeda ontel dan membawanya pula ke tepi jalan, di samping halte.
Ia berterima kasih pada Si Anak lantaran telah menyelamatkan nyawanya. Sambil menunggu hujan reda, ia bertanya pada Si Anak, kenapa sedang hujan lebat justru tidak berada di rumah?
Tak ada jawaban. Kepala Si Anak tiba-tiba menunduk. Namun, tak lama mulutnya berujar. Katanya, ia tidak memiliki keluarga dan bekerja sebagai tukang ojek payung. Memang, waktu itu sedang musim hujan.
Dari cerita itu, entah kenapa hatinya merasa iba. Ingin mengajaknya pulang ke rumah, hidup bersama dengan istri dan kedua anaknya. Padahal, sebenarnya ia hanya hidup mengontrak. Jika ada satu orang lagi, maka pengeluaran akan semakin bertambah, pikirnya. Setelah menimbang kembali, ia mantap mengangkat anak itu sebagai anak.
Sejak anak itu tinggal bersamanya, hanya satu kata yang terpikir di benak lelaki itu. Maka, ia pun memutuskan namanya adalah “Bungsu”. Bungsu segera menyesuaikan diri dan berusaha membaur dengan dua anaknya yang lain. Namun, perlakuan dua anaknya terhadap Bungsu sangat tidak baik. Apalagi jika ia telah berangkat kerja. Istrinya juga semena-mena.
Byuurr!
“Bangun! Jam berapa ini, hah? Sudah numpang, malah enak-enakan tidur!” ucap istrinya seraya mengguyur tubuh Bungsu dengan satu ember air.
Bungsu gelagapan, terbangun dan mengusap wajah beberapa kali.
“Cepat siapkan makanan! Anak-anakku mau berangkat sekolah!” lanjut istrinya lagi.
Bungsu segera beranjak dan menuju ke dapur. Sementara, dua anaknya yang lain sudah terlihat rapi dan duduk di meja makan. Mereka tertawa mengejek, tak menaruh iba sama sekali pada Bungsu. Air mata Bungsu perlahan menetes. Namun, ia berusaha kuat demi lelaki itu yang kini menjadi ayah angkatnya.
Mula-mula, semua terlihat baik-baik saja. Sampai suatu kali, lelaki itu melihat ada sesuatu yang aneh pada diri Bungsu. Sebab, di tengah kesibukan belajar, Bungsu berulang-ulang memegang pundak kanannya sambil meringis. Penasaran, lelaki itu pun menanyai Bungsu.
“Ada apa, Bungsu? Apa kamu sakit?”
“Ti-tidak, Yah. A-aku tidak apa-apa.”
“Sini, coba Ayah lihat.”
Lelaki itu segera menurunkan baju Bungsu sehingga pundak kanannya terlihat. Ia seketika kaget dan hendak menuju ke kamar. Namun, Bungsu lantas mencegah.
“Jangan, Yah. Biarkan ibu dan kakak-kakak istirahat. Bungsu tidak apa-apa.”
Ia memeluk Bungsu. Air matanya mengalir dengan deras.
***
Hari ini lelaki itu telah pergi berjam-jam. Ia ingin hujan segera berhenti, agar dapat menyelesaikan rindu yang masih tertunda jalannya.
Mata lelah itu menerawang ke atas. Putih bersih terlihat dan sesekali kilatan petir bergemuruh seakan menyayat langit. Apalagi hatinya. Hati penuh rindu itu kian tak sabar. Lalu, dengan mantap dikayuhnya sepeda ontel membelah jalan. Seolah ini adalah yang terakhir. Ia rela jarum-jarum hujan menusuk tubuhnya.
Tangan kirinya masih menggenggam kotak kardus itu. Suara-suara kendaraan umum dan lalu lalang orang yang melintas tak dihiraukannya. Terus saja. Maka itu akan membuatnya lekas tiba di rumah, pikirnya.
Senyum lelaki itu merekah setelah sampai di depan rumah, meski tubuhnya begitu kuyup. Terlebih ada Bungsu yang telah menyambutnya di depan pintu dengan mata sembap. Belum sempat ia menyapa, Bungsu buru-buru pergi dari hadapannya, meringkuk dan menangis di atas kursi.
Merasa aneh, ia berjalan dengan gesa, lalu menyibak tabir antara ruang tamu dan dapur. Mencari istri dan dua anaknya yang lain. Di meja makan sederhana, istri dan kedua anaknya menangis tersedu-sedu. Ada apa? Mungkinkah karena ia terlalu lama pergi, mereka bertengkar?
Namun, ia enggan bertanya. Biar nanti saja setelah suasana sedikit tenang. Sekarang, lebih baik segera memberikan barang itu. Sebab, hari ini tentu akan menjadi spesial bagi Bungsu.
Lelaki itu kembali ke ruang tamu. Ia hendak menyentuh pundak Bungsu, tapi urung. Sebab, matanya kini lebih tertarik pada berita di televisi bututnya. Seorang lelaki seusianya, tergeletak tak berdaya di samping sepeda ontel. Mobil ambulans datang, tubuh lelaki yang menggenggam kotak kardus di tangan kiri itu diletakkan di atas tandu. ***
.
.
Semarang, Juli 2021
Reni Asih Widiyastuti. Muktiharjo Kidul, Pedurungan, Semarang 50197. @reniasih17
.
Hujan Terakhir. Hujan Terakhir. Hujan Terakhir. Hujan Terakhir.
Leave a Reply